KISAH ini dialami dan ditulis oleh Ujang Rohana warga Kp. Kebonkapas, Ds. Waluya, Kec. Cicalengka. Kab. Bandung. Ia bekerja sebagai tukang jam. Ia harus banting tulang untuk menghidupi anak dan istrinya serta menyekolahkan anaknya. Namun, di tengah jalan istrinya meninggal. Setelah sang istri tiada, ia barlah tahu istrinya meninggalkan banyak hutang. Bekas modal usahanya. Apa yang Ujang lakukan? Inilah kisahnya.**
NAMAKU Ujang Rohama. Tapi, orang biasa memanggilku dengan sebutan Ujang Jam karena aku sehari-hai mangkal di emper toko sebagai PKL yang berjualan jam. Kendati hanya berprofesi sebagai penjual jam kecil-kecilan dengan penghasilan yang tidak seberapa, namun istriku yang sudah kunikahi selama 22 tahun sangat menyayangiku.
Dia selalu setia mendampingiku siang dan malam hingga kami dikaruniai dua putra yang sekarang sudah tumbuh dewasa. Penghasilanku yang serba pas-pasan membuat aku hanya bisa menyekolahkan anak-anakku hingga tamat SMA. Kendati demikian, aku merasa bangga, sebab putraku yang sulung itu sudah bekerja meski hanya sebagai buruh pabrik. Bahkan, si cikal sudah berumah tangga.
Selama kurun waktu itu, rumah tangga kami tentram dan damai. Istriku tak pernah merajuk meminta sesuatu di luar kemampuanku. Mungkin, dia sangat maklum, penghasilanku selama itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tak hanya itu, istriku juga sangat penyayang dan penyabar. Dalam suka dan duka, dia tak pernah berpaling dariku.
Satu hal yang sangat terkesan, istriku pandai mengelola keuangan atau menurut orang Sunda, pinter ngajeujeuhkeun duit. Sehingga, meski penghasilan pas-pasan, namun kami sudah memiliki tempat tinggal sendiri di pinggiran Kec. Cicalengka, Kab. Bandung. Di gubuk kecil itulah, kami hidup dengan rukun.
Akan tetapi, pada suatu waktu aku ditimpa prahara besar. Istriku secara tiba-tiba jatuh sakit. Padahal sebelumnya dia tampak segar bugar tidak ada keluhan apa-apa. Bahkan, pada pagi hari dia sempat pergi ke pasar untuk berbelanja dilanjutkan dengan memasak. Siang hari, dia bermaksud mengirimkan pasakan itu untuk makan siangku.
Namun, baru beberapa meter dari rumah, langkahnya terhenti. Tiba-tiba saja perutnya terasa sakit. Diapun mengurungkan niatnya untuk pergi ke tempat ku mangkal yang jaraknya cukup jauh. Dia memilih kembali ke rumah. Setibanya di rumah dia meronta-ronta menahan sakit yang teramat sangat. Hal itu mengundang tetangga berdatangan menengoknya, tak kecuali tetangga baikku yang selama ini sudah kuanggap sebagai kakak kandung.
Mendengar kabat istriku sakit, aku segera pulang. Betapa sedihnya hati ini saat melihat kondisinya yang mengkhawatirkan. Istriku mengerang-erang sambil memegangi perutnya. Sebelumnya, aku mencoba mengobatinya dengan segala cara. Tapi, keadaannya bukannya bertambah baik, melainkan semakin mengkhawatirkan. Akhirnya, kami putuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
Rupanya, perjalanan ke rumah sakit menjadi perjalanan terakhir bagi istriku. Di rumah sakit itu, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Keadaan itu membuat dunia ini seakan gelap gulita. Kepalaku terasa pusing tujuh keliling. Tubuhku terasa lemah lunglai laksana tak bertulang. Saat itu, harapanku terasa kandas di tepian. Aku merasa bingung, bagaimana hidup ini tanpa kehadiran dia di sisiku. Apalagi putraku yang bungsu, meski sudah menginjak remaja, namun masih memerlukan perhatian seorang ibu.
Begitupun dengan putra sulungku yang tidak lama lagi akan menikah. Sedih rasanya, melaksanakan resepsi pernikahan sebagai langkah awal mengarungi bahtera rumah tangga tanpa disaksikan seorang ibu yang selama ini menyayanginya.
Aku sangat heran, mengapa istriku dipanggil yang Mahakuasa secara mendadak? Rasanya bagaikan diheulang. Sebelumnya sehat, tiba-tiba sakit hingga meninggal dunia. Aku teringat sesuatu. Sebelum tragedi itu menimpa keluargaku, di rumah kami beberapa kali menemukan ular hitam. Bahkan, lantaran takut menggangu, ular itu aku bunuh. Namun, saat di rumahku kembali ditemukan ular, sesuai anjuran tetangga baiku, ular itu dibiarkan hidup dan ku usir dari dalam rumah.
Kini, aku harus mengawasi anak-anaku terutama yang bungsu tanpa bantuan istri. Tegasnya, aku merangkap ayah juga ibu. Hingga saat ini, aku sangat merasa kehilangan. Sulit rasanya mencari pengganti istri yang setia pada suami.
Beberapa hari kemudian setelah istriku meninggal, aku sering kedatangan tamu yang menanyakan uang miliknya. Katanya, uang mereka dijadikan modal untuk digolangkan istriku. Rupanya, mereka merupakan teman bisnisnya. Aku sendiri selama ini tidak tahu kalau istriku diam-diam melakukan usaha untuk membantu aku. Rupanya, uang-uang itu masih berceceran di luar dan tidak sempat ditagih. Aku kini berusaha sekuat tenaga untuk membayar htang istriku dan aku berdoa, semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahannya selama hidup. Ia adalah istri yang berbakti. Allah pasti mencatatnya. **
http://www.klik-galamedia.com/indexrubrik.php?wartakode=20110906022626&idkolom=kisah
NAMAKU Ujang Rohama. Tapi, orang biasa memanggilku dengan sebutan Ujang Jam karena aku sehari-hai mangkal di emper toko sebagai PKL yang berjualan jam. Kendati hanya berprofesi sebagai penjual jam kecil-kecilan dengan penghasilan yang tidak seberapa, namun istriku yang sudah kunikahi selama 22 tahun sangat menyayangiku.
Dia selalu setia mendampingiku siang dan malam hingga kami dikaruniai dua putra yang sekarang sudah tumbuh dewasa. Penghasilanku yang serba pas-pasan membuat aku hanya bisa menyekolahkan anak-anakku hingga tamat SMA. Kendati demikian, aku merasa bangga, sebab putraku yang sulung itu sudah bekerja meski hanya sebagai buruh pabrik. Bahkan, si cikal sudah berumah tangga.
Selama kurun waktu itu, rumah tangga kami tentram dan damai. Istriku tak pernah merajuk meminta sesuatu di luar kemampuanku. Mungkin, dia sangat maklum, penghasilanku selama itu hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tak hanya itu, istriku juga sangat penyayang dan penyabar. Dalam suka dan duka, dia tak pernah berpaling dariku.
Satu hal yang sangat terkesan, istriku pandai mengelola keuangan atau menurut orang Sunda, pinter ngajeujeuhkeun duit. Sehingga, meski penghasilan pas-pasan, namun kami sudah memiliki tempat tinggal sendiri di pinggiran Kec. Cicalengka, Kab. Bandung. Di gubuk kecil itulah, kami hidup dengan rukun.
Akan tetapi, pada suatu waktu aku ditimpa prahara besar. Istriku secara tiba-tiba jatuh sakit. Padahal sebelumnya dia tampak segar bugar tidak ada keluhan apa-apa. Bahkan, pada pagi hari dia sempat pergi ke pasar untuk berbelanja dilanjutkan dengan memasak. Siang hari, dia bermaksud mengirimkan pasakan itu untuk makan siangku.
Namun, baru beberapa meter dari rumah, langkahnya terhenti. Tiba-tiba saja perutnya terasa sakit. Diapun mengurungkan niatnya untuk pergi ke tempat ku mangkal yang jaraknya cukup jauh. Dia memilih kembali ke rumah. Setibanya di rumah dia meronta-ronta menahan sakit yang teramat sangat. Hal itu mengundang tetangga berdatangan menengoknya, tak kecuali tetangga baikku yang selama ini sudah kuanggap sebagai kakak kandung.
Mendengar kabat istriku sakit, aku segera pulang. Betapa sedihnya hati ini saat melihat kondisinya yang mengkhawatirkan. Istriku mengerang-erang sambil memegangi perutnya. Sebelumnya, aku mencoba mengobatinya dengan segala cara. Tapi, keadaannya bukannya bertambah baik, melainkan semakin mengkhawatirkan. Akhirnya, kami putuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
Rupanya, perjalanan ke rumah sakit menjadi perjalanan terakhir bagi istriku. Di rumah sakit itu, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Keadaan itu membuat dunia ini seakan gelap gulita. Kepalaku terasa pusing tujuh keliling. Tubuhku terasa lemah lunglai laksana tak bertulang. Saat itu, harapanku terasa kandas di tepian. Aku merasa bingung, bagaimana hidup ini tanpa kehadiran dia di sisiku. Apalagi putraku yang bungsu, meski sudah menginjak remaja, namun masih memerlukan perhatian seorang ibu.
Begitupun dengan putra sulungku yang tidak lama lagi akan menikah. Sedih rasanya, melaksanakan resepsi pernikahan sebagai langkah awal mengarungi bahtera rumah tangga tanpa disaksikan seorang ibu yang selama ini menyayanginya.
Aku sangat heran, mengapa istriku dipanggil yang Mahakuasa secara mendadak? Rasanya bagaikan diheulang. Sebelumnya sehat, tiba-tiba sakit hingga meninggal dunia. Aku teringat sesuatu. Sebelum tragedi itu menimpa keluargaku, di rumah kami beberapa kali menemukan ular hitam. Bahkan, lantaran takut menggangu, ular itu aku bunuh. Namun, saat di rumahku kembali ditemukan ular, sesuai anjuran tetangga baiku, ular itu dibiarkan hidup dan ku usir dari dalam rumah.
Kini, aku harus mengawasi anak-anaku terutama yang bungsu tanpa bantuan istri. Tegasnya, aku merangkap ayah juga ibu. Hingga saat ini, aku sangat merasa kehilangan. Sulit rasanya mencari pengganti istri yang setia pada suami.
Beberapa hari kemudian setelah istriku meninggal, aku sering kedatangan tamu yang menanyakan uang miliknya. Katanya, uang mereka dijadikan modal untuk digolangkan istriku. Rupanya, mereka merupakan teman bisnisnya. Aku sendiri selama ini tidak tahu kalau istriku diam-diam melakukan usaha untuk membantu aku. Rupanya, uang-uang itu masih berceceran di luar dan tidak sempat ditagih. Aku kini berusaha sekuat tenaga untuk membayar htang istriku dan aku berdoa, semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahannya selama hidup. Ia adalah istri yang berbakti. Allah pasti mencatatnya. **
http://www.klik-galamedia.com/indexrubrik.php?wartakode=20110906022626&idkolom=kisah