AKU ingin menikah saat gerimis. Saat itulah aku bersenandung sendiri. Sementara, orang-orang yang mengasihiku tengah mengangkat gaunnya tinggi-tinggi. Mereka berhati-hati saat melalui jalan basah. Lalu mereka sedikit meloncat saat melewati genangan air. Tentu saja air keruh itu tak mau mereka setubuhi. Bisa malu mereka saat tiba di acaraku. Bisa habis juga masa pakai gaunnya karena noda yang takbisa terhapus deterjen.
Aku bersiul. Begitu bahagia aku hari ini. Tak lagi sendiri hidupku nanti. Ada sang terkasih di sampingku. Berjalan kami akan beriringan. Tertawa kami bersahutan. Berdendang kami seirama. Dan, aku terus bersiul. Lalu sedikit mendongakkan kepala menghadap cermin. Aku khawatir belum tampil secantik yang orang-orang inginkan. Dan tentu saja, khawatir belum secantik yang terkasihku inginkan.
Tuhan... aku teringat kala itu. Saat pandangan pertama yang menggoda. Saat bukan hanya mata, tapi hidung, telinga, dan hati pun tiba-tiba berbicara.
"Nona, kau tampaknya jatuh cinta."
Hatiku hanya berbisik. Tak mau ia berteriak, seolah kegirangan, seolah bahagia. Ia hanya tersenyum malu. Sambil memerahlah pipi ranumnya. Ah, betapa pemalunya kau ini.
Di sekolah menengah aku jatuh cinta. Sekali lagi kukatakan. Itulah pandangan pertama yang menggoda. Teman-temanku bilang itu bukan pandangan pertama. Pernah juga kuberjumpa di kala dulu. Tapi tak kurasakan gemuruh gempa itu. Mataku pun mungkin hanya selintas saja melihatnya kala itu.
Aku jatuh cinta. Setiap hari aku bersenandung. Setiap menit aku bersyair. Setiap detik bibirku menyungging senyum. Tuhan... indahnya jatuh cinta. Sampai tiba di sore hari, saat itulah terkasihku menghampiri. Kusambut dengan dendang indah yang memukau. Hingga harapku semua orang kan ikut menyanyikan irama romantisme yang terdengar.
Oh, itu dia. Terkasihku datang. Aku mendekapnya. Aku jatuh di peluknya. Kulabuhkan tubuhku di gagahnya dirinya. Aku berayun. Aku menari. Dan aku terus berputar bersamanya. Lalu saat lagu itu terhenti, aku tersadar. Tak ada siapa pun di sekitarku. Orang-orang telah meninggalkanku. Hanya ada aku dan terkasihku. Aku menangis. Aku bersedih.
"Mengapa mereka tak menyukaimu hingga memilih untuk pergi?"
Mereka tak mau bernyanyi bersamaku dan terkasihku.
Mengapa?
Lalu aku pun pergi setelah terkasihku memilih untuk pergi. Aku pulang setelah terkasihku melepas tubuhku darinya. Dan ia pun menghilang. Tanpa pamit.
Lama aku merenung. Aku berdiam. Aku tengah berdebat dengan diriku sendiri. Lalu kuputuskan untuk tetap mencintanya. Akulah sang setia. Sesetia lili putih yang ranum. Ia pun tampaknya berbahagia dengan keputusanku. Dan ia datang pada bulan September tahun lalu. Ia tampak semakin menawan. Ia memesonakanku. Tampilannya, sosoknya, perawakannya, inilah kegagahan dan romantisme yang menyatu. Aku mencintainya.
Dan seperti dugaanku, orang-orang tetap tak menyukainya. Mereka tetap menghindar, meledek, mencaci maki. Hingga segera berlari mereka saat melihatnya datang. Tapi tetap kucintanya.
Hingga hari berbahagia ini menyambutku. Aku senang sampai-sampai tak sadar tengah tertawa lantang. Kupeluk dan kucumbu sang terkasihku. Betapa indah membayangkan aku dan dia duduk berdampingan. Di singgasana ratu dan raja sehari.
Sekali lagi kubercermin. Sekali lagi aku resah.
Aku menunggu sang pengantinku.
Dia belum datang.
Dan dia tak jua datang.
Dia tak datang.
....
Entah berapa lama aku menangis. Menangisku tak lagi sesenggukan. Tapi hingga tak terlihat lagi mataku saking sembabnya.
"Mengapa, Tuhan?"
....
Tiba-tiba di bulan September tahun ini, dia mengetuk pintu rumahku. Aku kaget. Dia membawa seorang wanita menyeramkan di sampingnya. Dia bilang dia telah menikah. Betapa menyeramkannya wanita itu. Hingga tak mau lagi kuberjumpa dengannya untuk kedua kalinya.
Dia dan kekasihnya pun pergi. Mereka bertolak dari rumahku. Mereka hilang bersama petir dan kilat yang menyertai mereka datang.
"Pergi sajalah kau, Gerimis. Bawa kekasihmu ikut serta."
Ternyata Gerimis, mantan terkasihku, telah menikahi Bencana. Satu hari di bulan Oktober, telah berlangsung pernikahan Gerimis dan Bencana.
Berbulan-bulan setelahnya, mereka berbulan madu yang panjang. Mereka pergi ke utara, lalu ke barat. Mereka ke gunung, lalu ke laut. Dan kemudian mereka pergi ke kota, membawa oleh-oleh sang malapetaka untuk aku, kakakku, ibuku, ayahku, adikku, pamanku, semua orang.
Banjir dan longsor di mana-mana.
Kedua mempelai itu menguasai dunia.
***
Anisa Ami lahir di Bandung, 28 Februari 1987. Penulis dan editor lepas serta bekerja di sebuah penerbitan.
Aku bersiul. Begitu bahagia aku hari ini. Tak lagi sendiri hidupku nanti. Ada sang terkasih di sampingku. Berjalan kami akan beriringan. Tertawa kami bersahutan. Berdendang kami seirama. Dan, aku terus bersiul. Lalu sedikit mendongakkan kepala menghadap cermin. Aku khawatir belum tampil secantik yang orang-orang inginkan. Dan tentu saja, khawatir belum secantik yang terkasihku inginkan.
Tuhan... aku teringat kala itu. Saat pandangan pertama yang menggoda. Saat bukan hanya mata, tapi hidung, telinga, dan hati pun tiba-tiba berbicara.
"Nona, kau tampaknya jatuh cinta."
Hatiku hanya berbisik. Tak mau ia berteriak, seolah kegirangan, seolah bahagia. Ia hanya tersenyum malu. Sambil memerahlah pipi ranumnya. Ah, betapa pemalunya kau ini.
Di sekolah menengah aku jatuh cinta. Sekali lagi kukatakan. Itulah pandangan pertama yang menggoda. Teman-temanku bilang itu bukan pandangan pertama. Pernah juga kuberjumpa di kala dulu. Tapi tak kurasakan gemuruh gempa itu. Mataku pun mungkin hanya selintas saja melihatnya kala itu.
Aku jatuh cinta. Setiap hari aku bersenandung. Setiap menit aku bersyair. Setiap detik bibirku menyungging senyum. Tuhan... indahnya jatuh cinta. Sampai tiba di sore hari, saat itulah terkasihku menghampiri. Kusambut dengan dendang indah yang memukau. Hingga harapku semua orang kan ikut menyanyikan irama romantisme yang terdengar.
Oh, itu dia. Terkasihku datang. Aku mendekapnya. Aku jatuh di peluknya. Kulabuhkan tubuhku di gagahnya dirinya. Aku berayun. Aku menari. Dan aku terus berputar bersamanya. Lalu saat lagu itu terhenti, aku tersadar. Tak ada siapa pun di sekitarku. Orang-orang telah meninggalkanku. Hanya ada aku dan terkasihku. Aku menangis. Aku bersedih.
"Mengapa mereka tak menyukaimu hingga memilih untuk pergi?"
Mereka tak mau bernyanyi bersamaku dan terkasihku.
Mengapa?
Lalu aku pun pergi setelah terkasihku memilih untuk pergi. Aku pulang setelah terkasihku melepas tubuhku darinya. Dan ia pun menghilang. Tanpa pamit.
Lama aku merenung. Aku berdiam. Aku tengah berdebat dengan diriku sendiri. Lalu kuputuskan untuk tetap mencintanya. Akulah sang setia. Sesetia lili putih yang ranum. Ia pun tampaknya berbahagia dengan keputusanku. Dan ia datang pada bulan September tahun lalu. Ia tampak semakin menawan. Ia memesonakanku. Tampilannya, sosoknya, perawakannya, inilah kegagahan dan romantisme yang menyatu. Aku mencintainya.
Dan seperti dugaanku, orang-orang tetap tak menyukainya. Mereka tetap menghindar, meledek, mencaci maki. Hingga segera berlari mereka saat melihatnya datang. Tapi tetap kucintanya.
Hingga hari berbahagia ini menyambutku. Aku senang sampai-sampai tak sadar tengah tertawa lantang. Kupeluk dan kucumbu sang terkasihku. Betapa indah membayangkan aku dan dia duduk berdampingan. Di singgasana ratu dan raja sehari.
Sekali lagi kubercermin. Sekali lagi aku resah.
Aku menunggu sang pengantinku.
Dia belum datang.
Dan dia tak jua datang.
Dia tak datang.
....
Entah berapa lama aku menangis. Menangisku tak lagi sesenggukan. Tapi hingga tak terlihat lagi mataku saking sembabnya.
"Mengapa, Tuhan?"
....
Tiba-tiba di bulan September tahun ini, dia mengetuk pintu rumahku. Aku kaget. Dia membawa seorang wanita menyeramkan di sampingnya. Dia bilang dia telah menikah. Betapa menyeramkannya wanita itu. Hingga tak mau lagi kuberjumpa dengannya untuk kedua kalinya.
Dia dan kekasihnya pun pergi. Mereka bertolak dari rumahku. Mereka hilang bersama petir dan kilat yang menyertai mereka datang.
"Pergi sajalah kau, Gerimis. Bawa kekasihmu ikut serta."
Ternyata Gerimis, mantan terkasihku, telah menikahi Bencana. Satu hari di bulan Oktober, telah berlangsung pernikahan Gerimis dan Bencana.
Berbulan-bulan setelahnya, mereka berbulan madu yang panjang. Mereka pergi ke utara, lalu ke barat. Mereka ke gunung, lalu ke laut. Dan kemudian mereka pergi ke kota, membawa oleh-oleh sang malapetaka untuk aku, kakakku, ibuku, ayahku, adikku, pamanku, semua orang.
Banjir dan longsor di mana-mana.
Kedua mempelai itu menguasai dunia.
***
Anisa Ami lahir di Bandung, 28 Februari 1987. Penulis dan editor lepas serta bekerja di sebuah penerbitan.