Oleh: ASEP SALAHUDIN
TIDAK pernah ada yang mengelompokkan bahwa puisi atau novel yang dibuat penyair Sunda, Godi Suwarna, yang baru saja pulang dari Jerman adalah karya sastra religius. Religiositas dalam karya sastra Sunda biasanya dinisbahkan kepada pengarang yang berangkat dari latar belakang dunia pesantren dan atau tema yang diangkat seputar kehidupan keagamaan.
Kalau religiosotas kita maknai sebagai aspek terdalam iman transendental yang dimiliki seseorang atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai yang bersifat religi, maka sesungguhnya karya Godi itu sangat religious.
Religiositas yang diusung Godi diacukan pada haluan hasrat untuk menjadikan agama sebagai nafas kehidupan tanpa digaduhkan oleh aktivitas keagamaan yang bersifat formalistik permukaan apalagi tafsir agama yang telah dibajak para politisi tengik untuk kepentingan dangkal syahwat kuasanya, untuk menunjukan seolah melakukan pembelaan terhadap syariat Islam padahal motif tersembunyi di belakangnya tak lebih adalah meraup keuntungan suara mayoritas dan selepas itu tak ada bedanya dengan "partai sekuler".
Cinta dan tautan keinsafan akan purwadakasi, wiwitan dan wekasan sebagai mataholang agama yang menjadi pangkal religiositasnya. Religiositas yang dijangkarkan pada semangat mewujudkan hidup yang santun sekaligus kesigapan yang penuh gairah dalam berhadap-hadapan dengan kematian. Nampak kita dapati dalam Jagat Alit, Surat-surat Kaliwat, bahkan juga dalam Blues Kere Lauk seperti dalam salah satu puisinya Grand Prix:
Nincak gas sataker kebek mobil sport ngagerung mangprung rek ngudag jorelat waktu da startna kapandeurian. Ah, tangtu kasusud tapakna, cek hate anjeun harita... Jalan lempeng, jalan nanjak, pungkal-pengkol kenca katuhueun jungkrang. Sakiceup demi sakiceup tihang bulan tihang tahun diliwatan... Dina hiji mangsa: anjog anjeun jeung nu sejen meh bareng ka garis finish; persis di jero kuburan tuluy nampa piala tetengger batu.
Melampaui diksi puasa
Walaupun diksi yang digunakan bukan puasa, "Petingan Romdon", "Laelatul Kodar", "Sajadah", "Tasbe", "Kiblat", "Dikir", "Lebaran", dan sebagainya, justru di sinilah titik menariknya. Bagaimana Godi dengan "Blues Kere Lauk", "Gatotgaca Gandrung", "Grand Prix", dan "Rolling Stones" mampu menghampiri Tuhan, minimal menanamkan kesadaran tentang pentingnya mengingat kuburan untuk menerima piala: tetengger batu! (batu nisan).
Bahkan haluan religiositas yang dihayati Godi, bukanlah religiositas yang bersifat ekslusif namun religiositas yang melintasi fromalitas agama malah menusuk langsung ke jantung iman. Religiositas yang tidak lagi dikerangkeng pura, gereja dan masjid namun justru melampaui semua tempat ibadah itu. Kita simak misalnya dalam "Rolling Stones":
...Tah, di lengkob nu burak-barik, tina batu demi batu, anjeun anteng nyipta pura-pura anyar, nyipta gereja-gereja anyar, nyipta masjid-masjid anyar, bari melak binih kembang dina kalbu balarea, bari nyatet aksara hanacaraka mapag balebat munggaran nu geus lawas jadi panyileukan anjeun!
Literasi religius
Sesungguhnya kalau kita membaca khazanah sastra Sunda, akan dengan sangat mudah menemukan karya sastra dengan tendensi keagamaan. Sastra dengan sebuah "misi" walaupun tidak musti verbalistik. Kita baca misalnya dalam "Jiad Ajengan" dan "Ceurik Santri", "Paguneman jeung Firaon" karya Usep Romli H.M., "Dongeng Enteng ti Pasantren" karya R.A.F., "Siti Masyitoh" Ajip Rosidi, "Nu Nyusuk dina Sukma" Chye Retty Isnendes atau kalau kita tarik ke belakang akan ditemukan misalnya "Purnama Alam" dan yang sangat fenomenal adalah dalam sejumlah dangding dan guguritan Haji Hasan Mustapa.
Bahkan kalau kita membaca kasus Haji Hasan Mustapa, karya sastra yang dibuatnya itu tidaklah lahir dari imajinasi yang bersifat imajinal (khayalan) tapi benar-benar berangkat dari sejarah keseharian pengalaman ruhaniahnya sebagai penganut sebuah tarekat.
Kalau Godi mengangkat "Rolling Stones" dan "Blues Kere Lauk" sebagai term modernitas dalam religiositas sastranya, maka Haji Hasan Mustapa justru menempatkan dirinya sendiri (kaaingan) relasinya dengan Tuhan sebagai pusat estetika religiositasnya dalam sebuah pencarian kebeneran yang rusuh.
Kita simak misalnya: Jung nutur-nutur suhud//Kalangkang ti sanubari//Mapay talapakan sanubari//Di mana nya mukti sari//Di mana Alloh kaula//Bisi pahili papanggih//Kadungsang-dungsang kasandung//Manggih lain manggih lain//Rek nanya nanya ka saha//Keur pada ngalain-lain//Teu kaur asa pasia/ /Asa enya asa lain//Diburu da lain kitu//Dilain-lain da bukti//Dijaga-jaga ka saha//Disidik-sidik aringgis//Wantu mapay nu neangan//Kapanggih aringgis lain.
Mengapa sastra religious dengan subur tumbuh di alam kebatinan para sastrawan Sunda bahkan dalam roh Godi Suwarna atau dalam "Anak Jadah"-nya Cecep Burdnasyah yang kerap keduanya dituduh sebagai manusia "abangan"? Jawabannya tentu di samping karena persoalan religiositas adalah persoalan asasi primordial yang ada dalam setiap insan, juga karena secara sosiologis Sunda adalah tanah yang telah menanamkan dengan intens dalam layar bawah sadar memori kolektif penduduknya tentang pentingnya posisi rasa (agama) hal mana dibuktikan dengan banyaknya digunakan diksi rasa seperti dalam telaah Tini Kartini: 1) Rasa teu beunang ku beja (rasa tidak dapat diwadahi wacana); 2) Top elmu ngarah rasana (ambillah ilmu untuk direguk rasanya); 3) Ngawula nurutkeun rasa (berbakti mengacu kepada rasa); 4) Aya rasa moal sarasa (ada perasaan, akan tetapi selalu ada ketidaksamaan); 5) Rasa rumasa (rasa dan penuh perasaan) 6) Rasa dipalsu pangrasa (perasaan dipalsukan oleh perasaan orang lain); 7); Niat kumaha rasa (tekad itu tergantung kepada rasa); 8) Lamun geus ti balik rasa tangtuna tibalik basa (kalau sudah terbalik perasaan, bahasa pun akan menyimpang); 9) Sarasana sarasana (masing-masing perasaannya).
Tentu saja suburnya religiositas dalam pakumbuhan sastra Sunda baik yang menggunakan idiom moderen seperti dilakukan Godi, idiom pesantren serupa diretas Usep Romli HM, spiritualisme santai-nya Acep Zamzam Noor, semangat kebangkitan ruh Islamnya seumpama Chye Retty Isnendes atau pun jauh ke belakang dari Hasan Mustapa yang merupakan bocoran pengalaman tarekatnya seharusnya menjadi kekayaan batin manusia Sunda yang sebanding lurus dengan tata kelola Jawa Barat yang lebih baik dan mensejahterakan. Bukan kebalikannya: sarwa basilat tak ubahnya propinsi sarwa satwa! (Penulis, kandidat doktor UNPAD Bandung, wakil rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya)**
TIDAK pernah ada yang mengelompokkan bahwa puisi atau novel yang dibuat penyair Sunda, Godi Suwarna, yang baru saja pulang dari Jerman adalah karya sastra religius. Religiositas dalam karya sastra Sunda biasanya dinisbahkan kepada pengarang yang berangkat dari latar belakang dunia pesantren dan atau tema yang diangkat seputar kehidupan keagamaan.
Kalau religiosotas kita maknai sebagai aspek terdalam iman transendental yang dimiliki seseorang atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai yang bersifat religi, maka sesungguhnya karya Godi itu sangat religious.
Religiositas yang diusung Godi diacukan pada haluan hasrat untuk menjadikan agama sebagai nafas kehidupan tanpa digaduhkan oleh aktivitas keagamaan yang bersifat formalistik permukaan apalagi tafsir agama yang telah dibajak para politisi tengik untuk kepentingan dangkal syahwat kuasanya, untuk menunjukan seolah melakukan pembelaan terhadap syariat Islam padahal motif tersembunyi di belakangnya tak lebih adalah meraup keuntungan suara mayoritas dan selepas itu tak ada bedanya dengan "partai sekuler".
Cinta dan tautan keinsafan akan purwadakasi, wiwitan dan wekasan sebagai mataholang agama yang menjadi pangkal religiositasnya. Religiositas yang dijangkarkan pada semangat mewujudkan hidup yang santun sekaligus kesigapan yang penuh gairah dalam berhadap-hadapan dengan kematian. Nampak kita dapati dalam Jagat Alit, Surat-surat Kaliwat, bahkan juga dalam Blues Kere Lauk seperti dalam salah satu puisinya Grand Prix:
Nincak gas sataker kebek mobil sport ngagerung mangprung rek ngudag jorelat waktu da startna kapandeurian. Ah, tangtu kasusud tapakna, cek hate anjeun harita... Jalan lempeng, jalan nanjak, pungkal-pengkol kenca katuhueun jungkrang. Sakiceup demi sakiceup tihang bulan tihang tahun diliwatan... Dina hiji mangsa: anjog anjeun jeung nu sejen meh bareng ka garis finish; persis di jero kuburan tuluy nampa piala tetengger batu.
Melampaui diksi puasa
Walaupun diksi yang digunakan bukan puasa, "Petingan Romdon", "Laelatul Kodar", "Sajadah", "Tasbe", "Kiblat", "Dikir", "Lebaran", dan sebagainya, justru di sinilah titik menariknya. Bagaimana Godi dengan "Blues Kere Lauk", "Gatotgaca Gandrung", "Grand Prix", dan "Rolling Stones" mampu menghampiri Tuhan, minimal menanamkan kesadaran tentang pentingnya mengingat kuburan untuk menerima piala: tetengger batu! (batu nisan).
Bahkan haluan religiositas yang dihayati Godi, bukanlah religiositas yang bersifat ekslusif namun religiositas yang melintasi fromalitas agama malah menusuk langsung ke jantung iman. Religiositas yang tidak lagi dikerangkeng pura, gereja dan masjid namun justru melampaui semua tempat ibadah itu. Kita simak misalnya dalam "Rolling Stones":
...Tah, di lengkob nu burak-barik, tina batu demi batu, anjeun anteng nyipta pura-pura anyar, nyipta gereja-gereja anyar, nyipta masjid-masjid anyar, bari melak binih kembang dina kalbu balarea, bari nyatet aksara hanacaraka mapag balebat munggaran nu geus lawas jadi panyileukan anjeun!
Literasi religius
Sesungguhnya kalau kita membaca khazanah sastra Sunda, akan dengan sangat mudah menemukan karya sastra dengan tendensi keagamaan. Sastra dengan sebuah "misi" walaupun tidak musti verbalistik. Kita baca misalnya dalam "Jiad Ajengan" dan "Ceurik Santri", "Paguneman jeung Firaon" karya Usep Romli H.M., "Dongeng Enteng ti Pasantren" karya R.A.F., "Siti Masyitoh" Ajip Rosidi, "Nu Nyusuk dina Sukma" Chye Retty Isnendes atau kalau kita tarik ke belakang akan ditemukan misalnya "Purnama Alam" dan yang sangat fenomenal adalah dalam sejumlah dangding dan guguritan Haji Hasan Mustapa.
Bahkan kalau kita membaca kasus Haji Hasan Mustapa, karya sastra yang dibuatnya itu tidaklah lahir dari imajinasi yang bersifat imajinal (khayalan) tapi benar-benar berangkat dari sejarah keseharian pengalaman ruhaniahnya sebagai penganut sebuah tarekat.
Kalau Godi mengangkat "Rolling Stones" dan "Blues Kere Lauk" sebagai term modernitas dalam religiositas sastranya, maka Haji Hasan Mustapa justru menempatkan dirinya sendiri (kaaingan) relasinya dengan Tuhan sebagai pusat estetika religiositasnya dalam sebuah pencarian kebeneran yang rusuh.
Kita simak misalnya: Jung nutur-nutur suhud//Kalangkang ti sanubari//Mapay talapakan sanubari//Di mana nya mukti sari//Di mana Alloh kaula//Bisi pahili papanggih//Kadungsang-dungsang kasandung//Manggih lain manggih lain//Rek nanya nanya ka saha//Keur pada ngalain-lain//Teu kaur asa pasia/ /Asa enya asa lain//Diburu da lain kitu//Dilain-lain da bukti//Dijaga-jaga ka saha//Disidik-sidik aringgis//Wantu mapay nu neangan//Kapanggih aringgis lain.
Mengapa sastra religious dengan subur tumbuh di alam kebatinan para sastrawan Sunda bahkan dalam roh Godi Suwarna atau dalam "Anak Jadah"-nya Cecep Burdnasyah yang kerap keduanya dituduh sebagai manusia "abangan"? Jawabannya tentu di samping karena persoalan religiositas adalah persoalan asasi primordial yang ada dalam setiap insan, juga karena secara sosiologis Sunda adalah tanah yang telah menanamkan dengan intens dalam layar bawah sadar memori kolektif penduduknya tentang pentingnya posisi rasa (agama) hal mana dibuktikan dengan banyaknya digunakan diksi rasa seperti dalam telaah Tini Kartini: 1) Rasa teu beunang ku beja (rasa tidak dapat diwadahi wacana); 2) Top elmu ngarah rasana (ambillah ilmu untuk direguk rasanya); 3) Ngawula nurutkeun rasa (berbakti mengacu kepada rasa); 4) Aya rasa moal sarasa (ada perasaan, akan tetapi selalu ada ketidaksamaan); 5) Rasa rumasa (rasa dan penuh perasaan) 6) Rasa dipalsu pangrasa (perasaan dipalsukan oleh perasaan orang lain); 7); Niat kumaha rasa (tekad itu tergantung kepada rasa); 8) Lamun geus ti balik rasa tangtuna tibalik basa (kalau sudah terbalik perasaan, bahasa pun akan menyimpang); 9) Sarasana sarasana (masing-masing perasaannya).
Tentu saja suburnya religiositas dalam pakumbuhan sastra Sunda baik yang menggunakan idiom moderen seperti dilakukan Godi, idiom pesantren serupa diretas Usep Romli HM, spiritualisme santai-nya Acep Zamzam Noor, semangat kebangkitan ruh Islamnya seumpama Chye Retty Isnendes atau pun jauh ke belakang dari Hasan Mustapa yang merupakan bocoran pengalaman tarekatnya seharusnya menjadi kekayaan batin manusia Sunda yang sebanding lurus dengan tata kelola Jawa Barat yang lebih baik dan mensejahterakan. Bukan kebalikannya: sarwa basilat tak ubahnya propinsi sarwa satwa! (Penulis, kandidat doktor UNPAD Bandung, wakil rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya)**