Oleh: HABIB ALWI ASSAGAF
MANUSIA telah diciptakan Allah swt untuk beribadah kepada-Nya, sedangkan tujuan utama dari ibadah untuk menyucikan diri (tazkiyyatun nafs), sebab hanya dengan pensucian diri inilah manusia akan memperoleh kebahagiaan yang asli dan mampu mencapai kesempurnaan sejati. Allah swt berfirman, "Sungguh, berbahagialah orang yang mensucikan diri" (QS.Al-A'laa:14).
Para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah swt untuk mensucikan umat manusia dari segala kekotoran dirinya dan mengembalikan mereka pada fitrahnya yang suci. Begitu juga Syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad saww dengan semua bentuk ibadah dan ritualnya mengajarkan kita untuk melakukan pensucian diri yang tidak mengenal batas dan waktu.
Puasa merupakan ibadah khusus dan menjadi sarana terpenting dalam proses penyucian diri manusia, baik lahir maupun batinnya. Puasa yang hakiki yaitu membunuh hasrat diri dari nafsu keserakahan. Maka, dari situ akan timbul kesucian hati, kebersihan organ-organ tubuh, pengolahan jiwa dan raga, rasa syukur atas segala rahmat dan nikmat yang telah diberikan, kepedulian terhadap saudaranya yang kesusahan dan kelaparan, sedekah untuk kaum fakir miskin dan anak-anak yatim, meningkatnya permohonan dan doa yang benar-benar lahir dari kesadaran dan kerendahan hati, penyesalan diri dan selalu berupaya dengan gigih untuk mencari perlindungan kepada Allah swt. Nabi saww bersabda, "Puasa merupakan perlindungan dari bencana dunia dan selubung dari bencana akhirat".
Tatkala kita mulai puasa, niyatkanlah dalam batin kita untuk menahan diri dari nafsu-nafsu jasmaniyah atau bahkan hewaniyah dan memutuskan hasrat-hasrat duniawi yang muncul dari gagasan-gagasan setan dan bala tentaranya. Posisikan diri kita seperti seseorang yang sedang menderita sakit, yang tidak menginginkan makanan atau minuman apapun, ia hanya berharap akan kesembuhan dirinya setiap saat dari berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh perbuatan dosa dan maksiyatnya. Sucikan jiwa kita dari segala kesombongan, kebohongan, kecerobohan dan kegelapan yang mungkin telah memutuskan kita dari makna ketulusan terhadap Allah; karena sebagaimana yang dikatakan puteri Nabi saww, Fatimah az-Zahra ra bahwa "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan puasa untuk memantapkan keikhlashan".
Nabi saww bersabda, "Jika engkau ingin berpuasa (dengan sungguh-sungguh), maka hendaklah lisanmu, pendengaranmu, penglihatanmu, kulitmu dan organ-organ tubuhmu yang lain juga ikut berpuasa". Siapa yang berpuasa dengan niyat ikhlas hanya untuk Allah semata; menjaga organ-organ tubuhnya dari makanan, minuman dan pakaian yang haram; membersihkan dirinya dari perbuatan dosa; memperbaiki perilakunya dengan akhlak mulia; menjaga ibadah-ibadah fardhu dan melaksanakan amalan-amalan sunnah yang dianjurkan di bulan suci ini, maka ia berhak mendapatkan ampunan Allah swt dan terbebas dari azab dunia maupun akhirat. (Penulis adalah Ketua Mejelis Habib, Jln. Kembar VI No. 8 Bandung)**
MANUSIA telah diciptakan Allah swt untuk beribadah kepada-Nya, sedangkan tujuan utama dari ibadah untuk menyucikan diri (tazkiyyatun nafs), sebab hanya dengan pensucian diri inilah manusia akan memperoleh kebahagiaan yang asli dan mampu mencapai kesempurnaan sejati. Allah swt berfirman, "Sungguh, berbahagialah orang yang mensucikan diri" (QS.Al-A'laa:14).
Para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah swt untuk mensucikan umat manusia dari segala kekotoran dirinya dan mengembalikan mereka pada fitrahnya yang suci. Begitu juga Syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad saww dengan semua bentuk ibadah dan ritualnya mengajarkan kita untuk melakukan pensucian diri yang tidak mengenal batas dan waktu.
Puasa merupakan ibadah khusus dan menjadi sarana terpenting dalam proses penyucian diri manusia, baik lahir maupun batinnya. Puasa yang hakiki yaitu membunuh hasrat diri dari nafsu keserakahan. Maka, dari situ akan timbul kesucian hati, kebersihan organ-organ tubuh, pengolahan jiwa dan raga, rasa syukur atas segala rahmat dan nikmat yang telah diberikan, kepedulian terhadap saudaranya yang kesusahan dan kelaparan, sedekah untuk kaum fakir miskin dan anak-anak yatim, meningkatnya permohonan dan doa yang benar-benar lahir dari kesadaran dan kerendahan hati, penyesalan diri dan selalu berupaya dengan gigih untuk mencari perlindungan kepada Allah swt. Nabi saww bersabda, "Puasa merupakan perlindungan dari bencana dunia dan selubung dari bencana akhirat".
Tatkala kita mulai puasa, niyatkanlah dalam batin kita untuk menahan diri dari nafsu-nafsu jasmaniyah atau bahkan hewaniyah dan memutuskan hasrat-hasrat duniawi yang muncul dari gagasan-gagasan setan dan bala tentaranya. Posisikan diri kita seperti seseorang yang sedang menderita sakit, yang tidak menginginkan makanan atau minuman apapun, ia hanya berharap akan kesembuhan dirinya setiap saat dari berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh perbuatan dosa dan maksiyatnya. Sucikan jiwa kita dari segala kesombongan, kebohongan, kecerobohan dan kegelapan yang mungkin telah memutuskan kita dari makna ketulusan terhadap Allah; karena sebagaimana yang dikatakan puteri Nabi saww, Fatimah az-Zahra ra bahwa "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan puasa untuk memantapkan keikhlashan".
Nabi saww bersabda, "Jika engkau ingin berpuasa (dengan sungguh-sungguh), maka hendaklah lisanmu, pendengaranmu, penglihatanmu, kulitmu dan organ-organ tubuhmu yang lain juga ikut berpuasa". Siapa yang berpuasa dengan niyat ikhlas hanya untuk Allah semata; menjaga organ-organ tubuhnya dari makanan, minuman dan pakaian yang haram; membersihkan dirinya dari perbuatan dosa; memperbaiki perilakunya dengan akhlak mulia; menjaga ibadah-ibadah fardhu dan melaksanakan amalan-amalan sunnah yang dianjurkan di bulan suci ini, maka ia berhak mendapatkan ampunan Allah swt dan terbebas dari azab dunia maupun akhirat. (Penulis adalah Ketua Mejelis Habib, Jln. Kembar VI No. 8 Bandung)**