Oleh: H Roni Tabroni MSi
Salah satu janji Allah dalam Alquran bagi siapa saja yang melakukan puasa Ramadhan adalah derajat ketakwaan (al-Baqarah [2]: 183). Sebuah posisi yang sangat mulia. Dengan ketakwaan, manusia senantiasa menjadi makhluk yang selalu menjalankan perintah Allah dan tidak melanggar segala aturannya.
Tatanan kebangsaan kita akan senantiasa menuju ke arah yang lebih baik, jika memang derajat takwa itu senantiasa didapat, baik oleh rakyat maupun para pejabat. Sebulan penuh setiap Umat Islam menempa diri untuk menjadi makhluk yang terbaik, sehingga dapat melakukan transformasi kesalehannya dalam perilaku tidak hanya individu tetapi berimplikasi kepada kesalehan sosial.
Sedangkan problem kemungkaran yang menjadi salah satu agenda terberat di Indonesia saat ini adalah persoalan korupsi. Kita tentu patut berharap banyak bahwa setiap orang terutama para pejabat dapat mengubah sikap dan sistem yang korup menjadi lebih baik lagi. Jika saja setiap pasca-Ramadhan kita berharap menjadi suci dan kembali ke fitrah, maka senantiasa harapan kita menjadi bagian dari umat Nabi Muhammad yang kelak akan mendapat syafaatnya di akhirat.
Namun, jika kita tetap melakukan kemungkaran, maka kita akan tersingkir dari golongan Nabi Muhammad. Karenanya, Nabi SAW bersabda, "Barang siapa yang merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (yakni bukan dari umat Muhammad SAW)." (HR Thabrani dan al-Hakim).
Dalam keterangan yang lain Nabi Saw bersabda "Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga." Seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?' Rasulullah SAW menjawab, "Walaupun sekecil kayu siwak," (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik dalam al-Muwwatha).
Khusus bagi para pemimpin, konteks korupsi sebenarnya ada dua, selain menghindari perilaku korup, dia juga memiliki tugas untuk memberantasnya secara tegas. Dalam sebuah keterangan, Khalifah Umat bin Khattab telah memberikan contoh dalam pemberantasan korupsi ini.
Ibnu Sa'ad mengetengahkan kesaksian asy-Syi'bi yang mengatakan, "Setiap mengangkat pemimpin, Khalifah Umar selalu mencatat kekayaan orang tersebut. Selain itu, bila meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat, ia tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari kekayaan yang layak baginya, yang sesuai dengan gajinya." Umar bin Khattab dikenal dengan sikapnya yang tegas dalam memberantas korupsi. Proses pemberantasan tidak mesti menunggu pengaduan dari masyarakat, tetapi langsung turun tangan jika ditemukan pejabat yang melakukan korupsi.
Ramadhan tahun ini telah berlalu, kini waktu yang akan membuktikan, apakah para pemimpin kita telah benar-benar meraih ketakwaan atau tidak. Paling tidak dapat diukur dari dua hal apakah mereka dapat terhindar dari kasus-kasus korupsi atau tidak? Kemudian, seberapa serius proses pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh mereka terhadap orang lain yang melakukan korupsi? Jika ternyata kenyataannya kondisi bangsa ini tidak membaik, maka kita kembali menanti sampai datangnya bulan ramadhan tahun depan, dan begitulah seterusnya. Wallahu a'lam
sumber : www.republika.co.id