Oleh: ENTANG SASTRAATMADJA
UNDANG-UNDANG No. 7/1996 tentang Pangan menjelaskan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran bilogis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pengertian ini cukup luas dan menyeluruh. Keamanan pangan, perlu ditangani secara serius. Kita wajib bersungguh-sungguh dalam menerapkan Peraturan Pemerintah No 28/2004 tentang Keamanan dan Mutu Pangan. Kita pun memiliki kewajiban untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi, khususnya yang menya ngkut keamanan pangan secara sistemik.
Keamanan pangan, akan terkait secara langsung dengan pengkondisian yang dilakukan. Upaya menciptakan suasana yang kondusif terhadap keamanan pangan, memang bukan hanya tugas dan kewajiban pemerintah, namun yang namanya dunia usaha dan masyarakat pun memiliki tanggungjawab yang sama dalam mengkondisikan terciptanya keamanan pangan. Sebagai regulator, pemerintah mestinya tetap berada di baris depan menyiapkan regulasi yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Malah akan lebih "cantik" apabila pemerintah mampu menjadikan dirinya sebagai prime mover dalam pengembangan ketahanan pangan di masyarakat.
Sebagai penggerak utama, pemerintah dapat berkolaborasi dengan kalangan universitas, tenaga peneliti, pegiat pangan, pers, organisasi profesi, LSM dan lain sebagainya dalam menyusun, membahas, merumuskan sekaligus membuat grand desain keamanan pangan di negeri ini. Langkah ini penting disikapi, karena berdasarkan pengalaman, pembahasan tentang keamanan pangan jauh tertinggal dibandingkan dengan kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ketahanan pangan.
Pentingnya keamanan pangan, mestinya sudah kita wujudkan dalam kiprah sehari-hari dan mendapat perhatian ekstra dari para pengambil kebijakan di negeri ini. Sayang, hal yang demikian masih belum mengena di hati para penguasa di tanah merdeka ini. Contoh kita cermati saja bab, pasal, dan ayat yang tertuang dalam RUU Pangan sebagai hasil inisiasi DPR, keamanan pangan kalah kharisma oleh cadangan pangan. Keamanan pangan terkesan kurang penting untuk dirumuskan ulang dalam UU Pangan yang disempurnakan. Padahal, apalah artinya ketersediaan pangan yang melimpah jika mutu dan kualitas pangannya tidak aman untuk dikonsumsi. Apalah artinya distribusi bahan pangan yang dapat menyebar secara merata ke pelosok daerah sekiranya pangan yang dihasilkan itu mengandung zat-zat kimia atau racun radio aktif lainnya .
Itu sebabnya, mumpung masih ada kesempatan untuk berbenah diri, ada baiknya RUU Pangan yang kini sedang marak diperdebatkan itu, kembali ditinjau dan dicari hal-hal apa saja yang sebaiknya masuk dalam bab, pasal, dan ayatnya. Selain itu, kita juga harus berani mendrop bab, pasal, dan ayat mana saja yang dinilai tidak perlu. Yang jelas, jika RUU tentang Pangan yang kita susun mau lebih menapak bumi dan mau memberi nilai tambah bagi kehidupan manusia, maka kita harus berani menawarkan beberapa terobosan cerdas.
Kesan keamanan pangan yang dianak-tirikan, harusnya mampu dijawab dalam oleh RUU Pangan yang kini sedang dibahas secara inten, baik oleh kalangan DPR atau pun pemerintah dalam rajutan lebih berkualitas. Ini perlu dipahami, karena selama ini kita telah memberi proporsi yang berimbang diantara ke dua subsistem perpanganan ini. Buktinya , turunan dari UU No 7/1996 tentang Pangan, menetapkan Ketahanan Pangan ke dalam PP NO 68/2002 dan Keamanan dan Mutu Pangan ke dalam PP NO 28/2004. Pertanyaannya adalah apakah dalam RUU Pangan sekarang proporsi ini masih seperti itu? Atau ada semangat lain yang ingin digoalkan dengan RUU Pangan yang baru ini. Cuma, betapa kelirunya apabila makna keamanan pangan ditinggalkan dalam penanganan regulasinya.
Penajaman
Penerjemahan kalimat keamanan pangan, sebetulnya tidak terlepas dari pemahaman yang utuh terhadap makna pangan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Sekali pun Undang-undang No. 7/1996 tentang Pangan masih disempurnakan, namun sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, kita sudah memiliki beberapa Peraturan Pemerintah yang memperjelas pelaksanaan UU di atas. Paling tidak, ada yang berkaitan dengan PP Lebel Halal, PP Ketahanan Pangan, dan PP Keamanan dan Mutu Pangan.
Sayangnya, penajaman PP di atas, lebih didominasi oleh soal PP Ketahanan Pangan, sehingga PP tentang Lebel Pangan atau pun PP tentang Keamanan dan Mutu Pangan seolah-olah tidak terlampau pulgar untuk dibincangkan lebih lanjut. Malah yang kini mengedepan adalah soal Kemandirian Pangan atau Kedaulatan Pangan. Sebagaimana yang tersirat dalam UU No 7/1996 atau pun PP No 28/2004 tentang Keamanan dan Mutu Pangan, makna keamanan pangan umumnya tidak mungkin terlepas kaitannya dengan mutu atau kualitas pangan. Hal ini penting dipahami, karena pangan yang akan kita konsumsi mestilah mengikuti kaedah-kaedah kesehatan dan memenuhi kandungan gizi yang diperlukan. Pangan yang aman dan pangan yang berkualitas inilah yang harus kita konsumsi, agar kehendak untuk melahirkan generasi yang sehat dan cerdas itu dapat sesegera mungkin kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memilukannya, sekali pun kita sudah dihadapkan pada berbagai macam kasus, kelihatannya penanganan terhadap masalah keamanan dan mutu pangan, tidaklah segencar pemerintah mengatasi masalah ketahanan pangan. Sebut saja ketika cadangan pangan kita terancam, pemerintah segera mencari negeri pengekspor pangan. Kontrak impor pangan dilakukan, sekali pun kebijakan yang ditempuh ini menyebabkan luka mendalam di hati para petani di dalam negeri. Pemerintah terkesan lebih senang "menolong" petani luar negeri ketimbang membantu petani di dalam negeri. Ini menjadi isu yang cukup hangat di tengah-tengah kalangan petani.
Keamanan dan mutu pangan mestinya tidak kalah "heboh" oleh ketahanan pangan. Sebut saja soal jajanan anak-anak SD yang penuh dengan zat pewarna atau jenis baso tertentu yang dalam proses pembuatannya menggunakan boraks. Lebih sedih lagi manakala kita temukan juga adanya zat-zat pengawet yang digunakan dalam memproduksi ikan jambal, dan ikan asin.
Memang, dampak yang diciptakannya tidak langsung, berbeda dengan kebijakan imopor pangan. Soal keamanan pangan, boleh jadi baru akan bereaksi sekitar beberapa tahun kemudian. Tapi kalau soal impor pangan, rupanya sudah mendesak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Kita juga belum pernah mewndengar pemerintahan yang bubar jalan karena pangannya tidak aman, namun sejarah sudah sering mencatat adanya pemerintahan berantakan karena ketidak-mampuannya memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya.
Pengelolaan keamanan dan mutu pangan, rasanya sudah waktunya diperhatikan secara serius oleh semua pihak. Bukan saatnya kita berdebat soal skala prioritas. Yang perlu dibangun adalah sampai sejauh mana kita mampu merajut berbagai pemikiran yang lebih holistik dan komprehensif tentang pengembangan sistem pangan di negeri ini. Andai saja hal yang semacam ini dapat kita wujudkan, maka komitmen untuk menjadikan pangan sebagai kebutuhan bersama tidak akan menjadi bahan perdebatan yang tak tertuntaskan. Malah dalam pengelolaannya di lapangan, kita akan lebih mampu untuk meramunya secara sistemik. Justru pertanyaannya adalah sudah siapkah kita untuk memulainya? (Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)** Galamedia Senin, 02 Januari 2012
UNDANG-UNDANG No. 7/1996 tentang Pangan menjelaskan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran bilogis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pengertian ini cukup luas dan menyeluruh. Keamanan pangan, perlu ditangani secara serius. Kita wajib bersungguh-sungguh dalam menerapkan Peraturan Pemerintah No 28/2004 tentang Keamanan dan Mutu Pangan. Kita pun memiliki kewajiban untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi, khususnya yang menya ngkut keamanan pangan secara sistemik.
Keamanan pangan, akan terkait secara langsung dengan pengkondisian yang dilakukan. Upaya menciptakan suasana yang kondusif terhadap keamanan pangan, memang bukan hanya tugas dan kewajiban pemerintah, namun yang namanya dunia usaha dan masyarakat pun memiliki tanggungjawab yang sama dalam mengkondisikan terciptanya keamanan pangan. Sebagai regulator, pemerintah mestinya tetap berada di baris depan menyiapkan regulasi yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Malah akan lebih "cantik" apabila pemerintah mampu menjadikan dirinya sebagai prime mover dalam pengembangan ketahanan pangan di masyarakat.
Sebagai penggerak utama, pemerintah dapat berkolaborasi dengan kalangan universitas, tenaga peneliti, pegiat pangan, pers, organisasi profesi, LSM dan lain sebagainya dalam menyusun, membahas, merumuskan sekaligus membuat grand desain keamanan pangan di negeri ini. Langkah ini penting disikapi, karena berdasarkan pengalaman, pembahasan tentang keamanan pangan jauh tertinggal dibandingkan dengan kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ketahanan pangan.
Pentingnya keamanan pangan, mestinya sudah kita wujudkan dalam kiprah sehari-hari dan mendapat perhatian ekstra dari para pengambil kebijakan di negeri ini. Sayang, hal yang demikian masih belum mengena di hati para penguasa di tanah merdeka ini. Contoh kita cermati saja bab, pasal, dan ayat yang tertuang dalam RUU Pangan sebagai hasil inisiasi DPR, keamanan pangan kalah kharisma oleh cadangan pangan. Keamanan pangan terkesan kurang penting untuk dirumuskan ulang dalam UU Pangan yang disempurnakan. Padahal, apalah artinya ketersediaan pangan yang melimpah jika mutu dan kualitas pangannya tidak aman untuk dikonsumsi. Apalah artinya distribusi bahan pangan yang dapat menyebar secara merata ke pelosok daerah sekiranya pangan yang dihasilkan itu mengandung zat-zat kimia atau racun radio aktif lainnya .
Itu sebabnya, mumpung masih ada kesempatan untuk berbenah diri, ada baiknya RUU Pangan yang kini sedang marak diperdebatkan itu, kembali ditinjau dan dicari hal-hal apa saja yang sebaiknya masuk dalam bab, pasal, dan ayatnya. Selain itu, kita juga harus berani mendrop bab, pasal, dan ayat mana saja yang dinilai tidak perlu. Yang jelas, jika RUU tentang Pangan yang kita susun mau lebih menapak bumi dan mau memberi nilai tambah bagi kehidupan manusia, maka kita harus berani menawarkan beberapa terobosan cerdas.
Kesan keamanan pangan yang dianak-tirikan, harusnya mampu dijawab dalam oleh RUU Pangan yang kini sedang dibahas secara inten, baik oleh kalangan DPR atau pun pemerintah dalam rajutan lebih berkualitas. Ini perlu dipahami, karena selama ini kita telah memberi proporsi yang berimbang diantara ke dua subsistem perpanganan ini. Buktinya , turunan dari UU No 7/1996 tentang Pangan, menetapkan Ketahanan Pangan ke dalam PP NO 68/2002 dan Keamanan dan Mutu Pangan ke dalam PP NO 28/2004. Pertanyaannya adalah apakah dalam RUU Pangan sekarang proporsi ini masih seperti itu? Atau ada semangat lain yang ingin digoalkan dengan RUU Pangan yang baru ini. Cuma, betapa kelirunya apabila makna keamanan pangan ditinggalkan dalam penanganan regulasinya.
Penajaman
Penerjemahan kalimat keamanan pangan, sebetulnya tidak terlepas dari pemahaman yang utuh terhadap makna pangan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Sekali pun Undang-undang No. 7/1996 tentang Pangan masih disempurnakan, namun sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, kita sudah memiliki beberapa Peraturan Pemerintah yang memperjelas pelaksanaan UU di atas. Paling tidak, ada yang berkaitan dengan PP Lebel Halal, PP Ketahanan Pangan, dan PP Keamanan dan Mutu Pangan.
Sayangnya, penajaman PP di atas, lebih didominasi oleh soal PP Ketahanan Pangan, sehingga PP tentang Lebel Pangan atau pun PP tentang Keamanan dan Mutu Pangan seolah-olah tidak terlampau pulgar untuk dibincangkan lebih lanjut. Malah yang kini mengedepan adalah soal Kemandirian Pangan atau Kedaulatan Pangan. Sebagaimana yang tersirat dalam UU No 7/1996 atau pun PP No 28/2004 tentang Keamanan dan Mutu Pangan, makna keamanan pangan umumnya tidak mungkin terlepas kaitannya dengan mutu atau kualitas pangan. Hal ini penting dipahami, karena pangan yang akan kita konsumsi mestilah mengikuti kaedah-kaedah kesehatan dan memenuhi kandungan gizi yang diperlukan. Pangan yang aman dan pangan yang berkualitas inilah yang harus kita konsumsi, agar kehendak untuk melahirkan generasi yang sehat dan cerdas itu dapat sesegera mungkin kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memilukannya, sekali pun kita sudah dihadapkan pada berbagai macam kasus, kelihatannya penanganan terhadap masalah keamanan dan mutu pangan, tidaklah segencar pemerintah mengatasi masalah ketahanan pangan. Sebut saja ketika cadangan pangan kita terancam, pemerintah segera mencari negeri pengekspor pangan. Kontrak impor pangan dilakukan, sekali pun kebijakan yang ditempuh ini menyebabkan luka mendalam di hati para petani di dalam negeri. Pemerintah terkesan lebih senang "menolong" petani luar negeri ketimbang membantu petani di dalam negeri. Ini menjadi isu yang cukup hangat di tengah-tengah kalangan petani.
Keamanan dan mutu pangan mestinya tidak kalah "heboh" oleh ketahanan pangan. Sebut saja soal jajanan anak-anak SD yang penuh dengan zat pewarna atau jenis baso tertentu yang dalam proses pembuatannya menggunakan boraks. Lebih sedih lagi manakala kita temukan juga adanya zat-zat pengawet yang digunakan dalam memproduksi ikan jambal, dan ikan asin.
Memang, dampak yang diciptakannya tidak langsung, berbeda dengan kebijakan imopor pangan. Soal keamanan pangan, boleh jadi baru akan bereaksi sekitar beberapa tahun kemudian. Tapi kalau soal impor pangan, rupanya sudah mendesak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Kita juga belum pernah mewndengar pemerintahan yang bubar jalan karena pangannya tidak aman, namun sejarah sudah sering mencatat adanya pemerintahan berantakan karena ketidak-mampuannya memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya.
Pengelolaan keamanan dan mutu pangan, rasanya sudah waktunya diperhatikan secara serius oleh semua pihak. Bukan saatnya kita berdebat soal skala prioritas. Yang perlu dibangun adalah sampai sejauh mana kita mampu merajut berbagai pemikiran yang lebih holistik dan komprehensif tentang pengembangan sistem pangan di negeri ini. Andai saja hal yang semacam ini dapat kita wujudkan, maka komitmen untuk menjadikan pangan sebagai kebutuhan bersama tidak akan menjadi bahan perdebatan yang tak tertuntaskan. Malah dalam pengelolaannya di lapangan, kita akan lebih mampu untuk meramunya secara sistemik. Justru pertanyaannya adalah sudah siapkah kita untuk memulainya? (Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)** Galamedia Senin, 02 Januari 2012