MENGENAL diri sendiri bukanlah perkara enteng. Kesulitan paling utama adalah ketidakmauan untuk mengakui diri sebagaimana adanya. Kesulitan ini tambah buruk lagi dengan makin banyaknya berbagai mode kepribadian yang diimpor dari kebudayaan asing. Padahal, jelas mode kepribadian itu tidak sesuai dengan nilai yang dianut mayoritas bangsa kita. Dampaknya, banyak orang menderita ketegangan saraf dan rupa-rupa penyakit jiwa.
Meyakini diri sendiri sebagaimana adanya memang butuh keberanian dan kejujuran. Jika berhasil menanamkan sikap ini, ia akan memberikan dampak yang positif terhadap kepercayaan pada diri sendiri. Kita akan makin percaya diri dan optimis jika kita mampu menilai secara objektif keadaan diri sendiri.
Untuk mengenal diri sendiri, Alquran mengajarkan agar kita selalu ingat kepada Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam Surat Al Hasyr 19, "Janganlah engkau seperti orang yang melupakan kamu (atau membuat kamu lupa) akan dirimu sendiri."
Inti ajaran tersebut, memerintahkan segenap umat agar selalu mengingat Allah SWT melalui zikir dan juga pikir. Zikir dapat dilakukan dengan hati yang ihsan, yakni merasakan bahwa Allah selalu melihat kita. Zikir dengan lisan, misalnya berdoa, bertahmid, bertahlil, bertakbir, berkata yang baik, dan berusaha menghindari lisan yang kotor atau tidak berguna (Al Mu'minun ayat 3).
Zikir dengan perbuatan ialah melaksanakan amalan-amalan yang Allah dan Rasul perintahkan sebagaimana tersirat pada prinsip muamalah; semua pekerjaan itu boleh, kecuali pekerjaan yang dilarang.
Pikir meliputi perenungan terhadap alam semesta, Bumi, dan diri manusia sendiri, bagaimana semua itu diciptakan. Landasan berpikir objektif terhadap ketiga faktor itu ditegaskan oleh ayat, "Ya ... Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka." (Q.S. Al Imran 191).
Zikir dan pikir itu akan membawa cinta kepada Allah SWT, sehingga setiap insan akan mengenal hakikat dirinya dan siapa dia sebenarnya. Islam tidak mengajarkan agar kita mengganti diri kita dengan diri orang lain. Allah SWT memberikan kelebihan dan kekurangan pada seseorang sebab kehendak-Nya. Hanya ketentuan Allah-lah yang terbaik.
Pada zaman Rasulullah SAW, diri-diri sahabat tidak berubah, baik sebelum maupun sesudah masuk Islam. Perubahan yang terjadi adalah dari tidak beriman menjadi beriman. Abu Bakar yang lembut dan penyayang tetap demikian setelah beliau beriman, bahkan semakin menonjol. Umar bin Khatab yang berwatak keras ketika masih musyrik, masih tetap sama kerasnya setelah beliau beriman. Saidina Ali RA memiliki watak yang keras terhadap orang kafir telah terlatih sejak kecil hingga dewasa.
Jadilah dirimu sendiri menjadi seseorang yang diciptakan oleh pengalaman, keluarga, dan lingkungan. Apa pun yang diterima dari Allah SWT, syukurilah. Hal yang baik atau buruk, rawatlah. Siapa lagi yang akan merawat kalau bukan diri kita sendiri, bukan? Jalanilah kehidupan ini. Ikuti iramanya dengan sabar dan tawakal.
(Penulis adalah pengajar tetap STAI Sabili dan pengajar LB Prodi Editing/Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran)**
Galamedia jumat, 21 oktober 2011
Oleh : EDI WARSIDI
Meyakini diri sendiri sebagaimana adanya memang butuh keberanian dan kejujuran. Jika berhasil menanamkan sikap ini, ia akan memberikan dampak yang positif terhadap kepercayaan pada diri sendiri. Kita akan makin percaya diri dan optimis jika kita mampu menilai secara objektif keadaan diri sendiri.
Untuk mengenal diri sendiri, Alquran mengajarkan agar kita selalu ingat kepada Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam Surat Al Hasyr 19, "Janganlah engkau seperti orang yang melupakan kamu (atau membuat kamu lupa) akan dirimu sendiri."
Inti ajaran tersebut, memerintahkan segenap umat agar selalu mengingat Allah SWT melalui zikir dan juga pikir. Zikir dapat dilakukan dengan hati yang ihsan, yakni merasakan bahwa Allah selalu melihat kita. Zikir dengan lisan, misalnya berdoa, bertahmid, bertahlil, bertakbir, berkata yang baik, dan berusaha menghindari lisan yang kotor atau tidak berguna (Al Mu'minun ayat 3).
Zikir dengan perbuatan ialah melaksanakan amalan-amalan yang Allah dan Rasul perintahkan sebagaimana tersirat pada prinsip muamalah; semua pekerjaan itu boleh, kecuali pekerjaan yang dilarang.
Pikir meliputi perenungan terhadap alam semesta, Bumi, dan diri manusia sendiri, bagaimana semua itu diciptakan. Landasan berpikir objektif terhadap ketiga faktor itu ditegaskan oleh ayat, "Ya ... Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka." (Q.S. Al Imran 191).
Zikir dan pikir itu akan membawa cinta kepada Allah SWT, sehingga setiap insan akan mengenal hakikat dirinya dan siapa dia sebenarnya. Islam tidak mengajarkan agar kita mengganti diri kita dengan diri orang lain. Allah SWT memberikan kelebihan dan kekurangan pada seseorang sebab kehendak-Nya. Hanya ketentuan Allah-lah yang terbaik.
Pada zaman Rasulullah SAW, diri-diri sahabat tidak berubah, baik sebelum maupun sesudah masuk Islam. Perubahan yang terjadi adalah dari tidak beriman menjadi beriman. Abu Bakar yang lembut dan penyayang tetap demikian setelah beliau beriman, bahkan semakin menonjol. Umar bin Khatab yang berwatak keras ketika masih musyrik, masih tetap sama kerasnya setelah beliau beriman. Saidina Ali RA memiliki watak yang keras terhadap orang kafir telah terlatih sejak kecil hingga dewasa.
Jadilah dirimu sendiri menjadi seseorang yang diciptakan oleh pengalaman, keluarga, dan lingkungan. Apa pun yang diterima dari Allah SWT, syukurilah. Hal yang baik atau buruk, rawatlah. Siapa lagi yang akan merawat kalau bukan diri kita sendiri, bukan? Jalanilah kehidupan ini. Ikuti iramanya dengan sabar dan tawakal.
(Penulis adalah pengajar tetap STAI Sabili dan pengajar LB Prodi Editing/Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran)**
Galamedia jumat, 21 oktober 2011
Oleh : EDI WARSIDI