ADA Instruksi Presiden yang diluncurkan tahun 2011, yang secara khusus melakukan pengamanan produksi beras dan pengamanan cadangan beras, sebagai dampak dari adanya darurat anomali iklim. Ke dua Inpres tersebut (Inpres 5/2011 dan Inpres 8/2011) rupanya "menggugah" banyak pihak untuk berani tampil dengan langkah-langkah nyata nya. Salah satunya adalah "sergapan" Kementrian BUMN yang tampil dengan "Konsorsium Perberasan"-nya (PT SHS, PT Pertani, PT Pusri, Perum Perhutani dan Perum Bulog). Dari sinilah kemudian lahir yang disebut dengan Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Koorporasi atau GP3K.
Karut-marut perberasan
Carut marut sistem perberasan nasional, mestinya menjadi perhatian yang serius Pemerintah. Perhatian yang diberikan Pemerintah terhadap masalah yang melibatkan kebutuhan bahan makanan pokok bangsa, seharusnya tidak kalah serius dibanding dengan kebijakan-kebijakan yang diluncurkan dalam menangani korupsi dan terorisme.
Pemerintah sepatutnya lebih peduli terhadap masalah perberasan di masa kini, khususnya yang menyangkut soal pengamanan produksi dan penguatan cadangan beras. Untuk itu, langkah yang digarap Pemerintah dengan membentuk Konsorsium BMUN yang terdiri dari perusahaan negara di bidang pertanian, pangan, pupuk, dan kehutanan yang dimohon untruk memproduksi beras lalu menjualnya ke Perum Bulog selaku pembeli siapa (off-taker), pada hakekatnya perlu kita dukung dengan sepenuh hati.
Geliat Pemerintah semacam ini mestinya dilakukan sejak jauh-jauh hari dan bukan pada saat bangsa ini dihadapkan pada kondisi "darurat beras", yang disebabkan oleh ketidak-mampuan kita dalam mengendalikan anomali iklim. Namun, apa mau dikata, jika Pemerintah kelihatannya masih belum mampu melepaskan diri dari kebijakan-kebijakan klasikalnya. Pemerintah rupanya masih senang dengan pola-pola selaku "pemadam kebakaran" ketimbang membangun dan mencari sebuah sistem yang mampu menciptakan "early warning systeml".
Perubahan mindset seperti ini sangat penting untuk dipahami, agar apa pun langkah yang ditempuh selalu berbasis pada grand desain yang ada, baik yang terkait dengan strategi peningkatan produksi, pengmbangan distribusi dan pasar mau pun yang terkait dengan gerakan penganeka-ragaman menu makanan rakyat. Belum lagi yang menyangkut kelembagaan pangan, yang hingga kini masih belum tertata dengan baik.
Dihadapkan pada fakta yang demikian, solusi yang selayaknya dilakukan adalah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kita diminta untuk melaksanakan "kaji ulang" dan "rancang bangun" kembali sistem perberasan yang selama ini ada di negara kita. Jika dapat dijalankan sesuai komitmen awal dan dalam pelaksanaannya mampu diltempuh secara konsisten, boleh jadi peluncuran Konsorsium BUMN Perberasan merupakan sebuah terobosan cerdas yang bakal mampu membawa perubahan.
Justru yang menjadi pokok masalahnya, memang bukan terletak pada political will pemerintah, tapi ada yang lebih strategis untuk dikenali lebih jauh adalah bagaimana dengan political action-nya? Paling tidak, ada dua tantangan yang harus segera dituntaskan, sekiranya rancang-bangun sistem perberasan akan dijadikan gerakan peningkatan produksi dan perkuatan cadangan beras nasional. Pertama, yang berkaitan dengan lemahnya kualitas berkoordinasi dan yang ke dua adalah belum optimalnya kapasitas kelembagaan yang dimiliki, baik yang berhubungan dengan mutu sumber daya manusia nya, atau pun yang terkait dengan sisi kepemimpinan/leadership yang dijalani nya.
Selama ke dua hal ini tidak mampu diselesaikan, besar peluangnya apa-apa yang kita lakukan, sangat sukar diwujudkan. Ya tak ubahnya ibarat kita mengecat langit atau laksana menggarami lautan lepas semata. Apalagi jika dalam birokrasi pemerintahan sendiri telah berkembang kritikan bahwa Pemerintah selama ini hanyalah mampu merancang dan melahirkan program, namun tidak terlalu pinter dan cerdas dalam merawat program-program yang telah digelindingkannya itu.
Jika saja kita ingin memulainya lewat sebuah "gerakan", maka akan sangat keliru jika para petani dan pengusaha hanya dilibatkan sebagai "pelengkap penderita" saja. Sebab ada tugas yang lebih mulia dari hanya sekedar meningkatkan produksi atau menguatkan cadangan beras nasional an sih. Tugas itu tentu bertalian dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani padinya itu sendiri. Kira-kira bagaimana Konsorsium BUMN akan merancangnya secara sistimatis dan sistemik. Jangan-jangan memang tidak pernah terpikir atau masih belum mengingat kelahiran Konsorsiunm BMUN ini pun memang hanya sebagai "pemadam kebakaran". Pasti bukan ini yang diinginkan.
GP3K sebagai solusi
GP3K memang bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Semangatnya adalah melakukan pengamanan produksi beras dan pengamanan cadangan beras yang dikaitkan dengan adanya kondisi iklim ekstrim. GP3K ini, tentu saja tidak mungkin lepas kaitannya dengan P2BN. Dengan kata lain, dapat saja dikatakan bahwa P2BN dan GP3K adalah program-program Pemerintah yang lebih memfokuskan diri pada kemampuan kita selaku bangsa, guna memenuhi dan mencukupi kebutuhan bahan makanan utama nya, khususnya beras, secara mandiri.
Kemauan politik Pemerintah yang demikian, sudah barang tentu patut kita sokong dengan sepenuh hati. Terlebih-lebih bila yang menjadi kekhawatiran utamanya adalah dikarenakan adanya anomali iklim yang hingga kini belum diperoleh cara-cara untuk menanggulanginya secara signifikan. Selain itu, dengan adanya impor beras sekitar 2 juta ton per tahun, tentu saja bakal merontokan Proklamasi Swasembada Beras yang selama ini sudah menjadi "trade mark" bangsa kita di mata warga dunia. Untuk itu, sangat berargumen jika Pemerintah tampak serius guna mencari solusi terbaik nya.
GP3K sendiri, pada hakekatnya merupakan sebuah gerakan yang dimotori oleh beberapa BUMN seperti Pertani, Pusri, Sang Hiyang Sri, Perhutani, dan Perum Bulog. Sebagai sebuah "gerakan", para BUMN di atas diharapkan mampu membangun dan mewujudkan sinergitas sekaligus berkoordinasi dalam kiprah sehariannya, sehingga dapat memberi hasil yang optimal. GP3K, mestinya telah menggelinding dan menjadi penopang utama program P2BN. Rencananya untuk tahun 2011, GP3K harusnya sudah memberikan hasil. Sayang harapan itu masih belum dapat diwujudkan. Beberapa BUMN penopang utama GP3K, kelihatannya masih banyak yang gamang dan belum tahu persis bagaimana kebijakan itu harus dilaksanakan. Mereka juga ada yang belum berpengalaman bagaimana berusahatani padi atau kedele dan jagung. Sebut saja BUMN yang bernama Perum Perhutani. Mereka memang cukup pengalaman berbudidaya kayu. Tapi, kalau padi, rasa-rasanya merupakan hal yang baru bagi mereka. Oleh karena itu, wajar-wajar saja jika mereka yang ditugaskan untuk menanganinya menjadi agak kebingungan, apalagi jika dibarengi dengan pembebanan target yang harus dicapai nya.
Harapan kita mudah-mudahan berbagai kendala yang menghadang GP3K ini dapat kita halau, sehingga niat luhur dari program GP3K benar-benar sesuai dengan komitmen awalnya. (Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)**
Galamedia Sabtu, 21 Januari 2012
Oleh: ENTANG SASTRAATMADJA
Karut-marut perberasan
Carut marut sistem perberasan nasional, mestinya menjadi perhatian yang serius Pemerintah. Perhatian yang diberikan Pemerintah terhadap masalah yang melibatkan kebutuhan bahan makanan pokok bangsa, seharusnya tidak kalah serius dibanding dengan kebijakan-kebijakan yang diluncurkan dalam menangani korupsi dan terorisme.
Pemerintah sepatutnya lebih peduli terhadap masalah perberasan di masa kini, khususnya yang menyangkut soal pengamanan produksi dan penguatan cadangan beras. Untuk itu, langkah yang digarap Pemerintah dengan membentuk Konsorsium BMUN yang terdiri dari perusahaan negara di bidang pertanian, pangan, pupuk, dan kehutanan yang dimohon untruk memproduksi beras lalu menjualnya ke Perum Bulog selaku pembeli siapa (off-taker), pada hakekatnya perlu kita dukung dengan sepenuh hati.
Geliat Pemerintah semacam ini mestinya dilakukan sejak jauh-jauh hari dan bukan pada saat bangsa ini dihadapkan pada kondisi "darurat beras", yang disebabkan oleh ketidak-mampuan kita dalam mengendalikan anomali iklim. Namun, apa mau dikata, jika Pemerintah kelihatannya masih belum mampu melepaskan diri dari kebijakan-kebijakan klasikalnya. Pemerintah rupanya masih senang dengan pola-pola selaku "pemadam kebakaran" ketimbang membangun dan mencari sebuah sistem yang mampu menciptakan "early warning systeml".
Perubahan mindset seperti ini sangat penting untuk dipahami, agar apa pun langkah yang ditempuh selalu berbasis pada grand desain yang ada, baik yang terkait dengan strategi peningkatan produksi, pengmbangan distribusi dan pasar mau pun yang terkait dengan gerakan penganeka-ragaman menu makanan rakyat. Belum lagi yang menyangkut kelembagaan pangan, yang hingga kini masih belum tertata dengan baik.
Dihadapkan pada fakta yang demikian, solusi yang selayaknya dilakukan adalah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kita diminta untuk melaksanakan "kaji ulang" dan "rancang bangun" kembali sistem perberasan yang selama ini ada di negara kita. Jika dapat dijalankan sesuai komitmen awal dan dalam pelaksanaannya mampu diltempuh secara konsisten, boleh jadi peluncuran Konsorsium BUMN Perberasan merupakan sebuah terobosan cerdas yang bakal mampu membawa perubahan.
Justru yang menjadi pokok masalahnya, memang bukan terletak pada political will pemerintah, tapi ada yang lebih strategis untuk dikenali lebih jauh adalah bagaimana dengan political action-nya? Paling tidak, ada dua tantangan yang harus segera dituntaskan, sekiranya rancang-bangun sistem perberasan akan dijadikan gerakan peningkatan produksi dan perkuatan cadangan beras nasional. Pertama, yang berkaitan dengan lemahnya kualitas berkoordinasi dan yang ke dua adalah belum optimalnya kapasitas kelembagaan yang dimiliki, baik yang berhubungan dengan mutu sumber daya manusia nya, atau pun yang terkait dengan sisi kepemimpinan/leadership yang dijalani nya.
Selama ke dua hal ini tidak mampu diselesaikan, besar peluangnya apa-apa yang kita lakukan, sangat sukar diwujudkan. Ya tak ubahnya ibarat kita mengecat langit atau laksana menggarami lautan lepas semata. Apalagi jika dalam birokrasi pemerintahan sendiri telah berkembang kritikan bahwa Pemerintah selama ini hanyalah mampu merancang dan melahirkan program, namun tidak terlalu pinter dan cerdas dalam merawat program-program yang telah digelindingkannya itu.
Jika saja kita ingin memulainya lewat sebuah "gerakan", maka akan sangat keliru jika para petani dan pengusaha hanya dilibatkan sebagai "pelengkap penderita" saja. Sebab ada tugas yang lebih mulia dari hanya sekedar meningkatkan produksi atau menguatkan cadangan beras nasional an sih. Tugas itu tentu bertalian dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani padinya itu sendiri. Kira-kira bagaimana Konsorsium BUMN akan merancangnya secara sistimatis dan sistemik. Jangan-jangan memang tidak pernah terpikir atau masih belum mengingat kelahiran Konsorsiunm BMUN ini pun memang hanya sebagai "pemadam kebakaran". Pasti bukan ini yang diinginkan.
GP3K sebagai solusi
GP3K memang bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Semangatnya adalah melakukan pengamanan produksi beras dan pengamanan cadangan beras yang dikaitkan dengan adanya kondisi iklim ekstrim. GP3K ini, tentu saja tidak mungkin lepas kaitannya dengan P2BN. Dengan kata lain, dapat saja dikatakan bahwa P2BN dan GP3K adalah program-program Pemerintah yang lebih memfokuskan diri pada kemampuan kita selaku bangsa, guna memenuhi dan mencukupi kebutuhan bahan makanan utama nya, khususnya beras, secara mandiri.
Kemauan politik Pemerintah yang demikian, sudah barang tentu patut kita sokong dengan sepenuh hati. Terlebih-lebih bila yang menjadi kekhawatiran utamanya adalah dikarenakan adanya anomali iklim yang hingga kini belum diperoleh cara-cara untuk menanggulanginya secara signifikan. Selain itu, dengan adanya impor beras sekitar 2 juta ton per tahun, tentu saja bakal merontokan Proklamasi Swasembada Beras yang selama ini sudah menjadi "trade mark" bangsa kita di mata warga dunia. Untuk itu, sangat berargumen jika Pemerintah tampak serius guna mencari solusi terbaik nya.
GP3K sendiri, pada hakekatnya merupakan sebuah gerakan yang dimotori oleh beberapa BUMN seperti Pertani, Pusri, Sang Hiyang Sri, Perhutani, dan Perum Bulog. Sebagai sebuah "gerakan", para BUMN di atas diharapkan mampu membangun dan mewujudkan sinergitas sekaligus berkoordinasi dalam kiprah sehariannya, sehingga dapat memberi hasil yang optimal. GP3K, mestinya telah menggelinding dan menjadi penopang utama program P2BN. Rencananya untuk tahun 2011, GP3K harusnya sudah memberikan hasil. Sayang harapan itu masih belum dapat diwujudkan. Beberapa BUMN penopang utama GP3K, kelihatannya masih banyak yang gamang dan belum tahu persis bagaimana kebijakan itu harus dilaksanakan. Mereka juga ada yang belum berpengalaman bagaimana berusahatani padi atau kedele dan jagung. Sebut saja BUMN yang bernama Perum Perhutani. Mereka memang cukup pengalaman berbudidaya kayu. Tapi, kalau padi, rasa-rasanya merupakan hal yang baru bagi mereka. Oleh karena itu, wajar-wajar saja jika mereka yang ditugaskan untuk menanganinya menjadi agak kebingungan, apalagi jika dibarengi dengan pembebanan target yang harus dicapai nya.
Harapan kita mudah-mudahan berbagai kendala yang menghadang GP3K ini dapat kita halau, sehingga niat luhur dari program GP3K benar-benar sesuai dengan komitmen awalnya. (Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)**
Galamedia Sabtu, 21 Januari 2012
Oleh: ENTANG SASTRAATMADJA