SAYA tergelitik saat seorang kawan mengajak berdiskusi. Bagaimana tidak, kawan saya itu tiba-tiba mengapungkan tema berat: menggugat nama Indonesia. Lalu, sang kawan pun mengawali pembicaraan dengan melempar ide Republik Nusantara sebagai pengganti nama Republik Indonesia. "Negara ini lebih tepat dinamai Republik Nusantara dari pada Republik Indonesia," kata sang kawan.
Saya mendapati hal yang lebih penting dari sekadar menggugat nama Indonesia dari apa yang disampaikan kawan saya itu. Kawan saya itu sejatinya memprihatinkan pudarnya berbagai nilai nasionalisme identitas bangsa yang sudah dirontokkan, budaya leluhur yang terkubur, dan banyak lagi.
Dalam diskusi santai tapi serius itu, sang kawan juga menyebut krisis ekologi, kekerasan, dehumanisasi, kriminalitas, kesenjangan sosial yang kian tajam, ancaman kelaparan, dan kelakuan penjabat korup yang tiada habisnya merampok uang rakyat merupakan masalah serius yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Melalui bahasa sederhana, kawan saya itu berucap, "Selain banyak koruptor, negeri ini kerap dihina oleh bangsa jiran; sebagai bangsa indon atau bangsa para budak. Oleh sebab itu, kita perlu mengembalikan bangsa ini kepada jati dirinya, sebagaimana zaman Gajah Mada dahulu."
Ide kawan saya itu tidak berlebihan. Negara ini memiliki Nanggroe Aceh Darussalam, Minang, Sunda, Bugis, Dayak, Jawa, dan masih banyak yang lainnya (sambil teringat lagu Rhoma Irama). Akan tetapi, kita telah menyaksikan rumah budaya itu dibiarkan lapuk dan hancur, sedangkan pada tingkat atas hukum-politik berantakan.
Nama Nusantara sejatinya mulai diperkenalkan Gajah Mada saat mahapatih Majapahit ini bersumpah untuk tidak bersenang-senang sebelum menguasai Nusantara.
Dalam Serat Pararaton yang memuat naskah "Sumpah Palapa" sebenarnya tidak secara eksplisit menyebutkan teks itu sebagai sebuah sumpah dan tidak ada satu pun kata dalam sarat tersebut yang mencantumkan kata sumpah di dalamnya. Akan tetapi, dilihat dari makna teks yang terkandung di dalamnya jika dihubungkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti sumpah yang berbunyi sumpah adalah: (1) Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb.). (2) Pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar. (3) Janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu), teks mengenai ucapan Gajah Mada yang terdapat dalam "Serat Pararaton" yang berbunyi, "Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Taqjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa". (Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa").
Nusantara merupakan frasa yang diambil dari bahasa Jawa kuna. Nusa berarti pulau dan antara berarti lain. Pada 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau populer disebut Setiabudi, pernah memperkenalkan nama Nusantara untuk menyebut wilayah (Indonesia) yang tidak memiliki unsur bahasa asing (India).
Setibudi mendefinisikan Nusantara berbeda dengan definisi pada abad ke-14. Pada masa Majapahit, Nusantara didefinisikan sebagai wilayah yang akan ditaklukkan. Setiabudi tidak ingin mengadopsi definisi zaman lampau itu, tetapi ia mendefinisikan Nusantara sebagai seluruh wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Adapun kata Indonesia beraroma asing, yakni berasal dari dua kata bahasa Yunani, indos dan nesos. Indos berarti India, sedangkan nesos berarti pulau. Jadi, kata Indonesia berarti kepulauan India atau kepulauan yang berada di wilayah India. Pantas saja, kawan saya itu, lebih sreg kalau negara ini Nusantara, sebagaimana yang dinyatakan Setiabudi.
Bangsa Indonesia sebagai keturunan asli (bukan pendatang) dari Majapahit memiliki hak mutlak atas terminologi Nusantara. Sebagai ahliwaris terminologi Nusantara, hakikat dari definisi terminologi ini yaitu wilayah negara adalah tetap. Seandainya dahulu Nusantara merujuk pada wilayah Majapahit, sekarang Nusantara merujuk pada wilayah Indonesia.
Kemudian, mengapa masalah nama dimasalahkan? Kawan saya itu menyampaikan keprihatinan, "Akibat tidak menggunakan nama asli, kita ini jadinya selalu mendahulukan barang asing dan tidak pernah menggunakan barang sendiri. Nama-nama toko, hotel, kompleks perumahan, kios tambal ban, bahkan pos satpam tampak bermartabat menggunakan bahasa asing. Potensi bangsa tidak digunakan dengan baik sebab kita tergiur dengan sesuatu yang berbau luar negeri."
Begitulah kawan saya mencoba menafsirkan bahwa akibat nama saja menggunakan bahasa asing, sebagian masyarakat kita tidak cinta lagi barang buatan dalam negeri, apalagi bahasa sendiri (bahasa Indonesia). Padahal, sejak 2500-an tahun silam, Nusantara telah memiliki pedoman dalam menjalani kehidupan dari tingkat individu, keluarga, tetangga, desa, bahkan hingga tingkat kerajaan/negara. Karya demi karya leluhur yang telah menjadi pondasi kejayaan bangsa yang kemudian jatuh-bangun dalam realitas sejarah bangsa ini.
Kita memang harus mengikuti zaman. Akan tetapi, kita hendaknya juga menyadari bahwa kita bisa selamat jika tidak menanggalkan jati diri kebangsaan. Pengaruh dari luar dicerna secara wajar dalam bentuk yang secara hakikatnya khas Nusantara. Barangkali itu hal yang dimaksud oleh kawan saya sehingga kita mungkin tidak juga harus berganti nama segala. (Penulis, pengajar Prodi Editing Fakultas Sastra Unpad, tinggal di Bandung timur)**
Galamedia Senin, 16 Januari 2012
Oleh: EDI WARSIDI
Saya mendapati hal yang lebih penting dari sekadar menggugat nama Indonesia dari apa yang disampaikan kawan saya itu. Kawan saya itu sejatinya memprihatinkan pudarnya berbagai nilai nasionalisme identitas bangsa yang sudah dirontokkan, budaya leluhur yang terkubur, dan banyak lagi.
Dalam diskusi santai tapi serius itu, sang kawan juga menyebut krisis ekologi, kekerasan, dehumanisasi, kriminalitas, kesenjangan sosial yang kian tajam, ancaman kelaparan, dan kelakuan penjabat korup yang tiada habisnya merampok uang rakyat merupakan masalah serius yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Melalui bahasa sederhana, kawan saya itu berucap, "Selain banyak koruptor, negeri ini kerap dihina oleh bangsa jiran; sebagai bangsa indon atau bangsa para budak. Oleh sebab itu, kita perlu mengembalikan bangsa ini kepada jati dirinya, sebagaimana zaman Gajah Mada dahulu."
Ide kawan saya itu tidak berlebihan. Negara ini memiliki Nanggroe Aceh Darussalam, Minang, Sunda, Bugis, Dayak, Jawa, dan masih banyak yang lainnya (sambil teringat lagu Rhoma Irama). Akan tetapi, kita telah menyaksikan rumah budaya itu dibiarkan lapuk dan hancur, sedangkan pada tingkat atas hukum-politik berantakan.
Nama Nusantara sejatinya mulai diperkenalkan Gajah Mada saat mahapatih Majapahit ini bersumpah untuk tidak bersenang-senang sebelum menguasai Nusantara.
Dalam Serat Pararaton yang memuat naskah "Sumpah Palapa" sebenarnya tidak secara eksplisit menyebutkan teks itu sebagai sebuah sumpah dan tidak ada satu pun kata dalam sarat tersebut yang mencantumkan kata sumpah di dalamnya. Akan tetapi, dilihat dari makna teks yang terkandung di dalamnya jika dihubungkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti sumpah yang berbunyi sumpah adalah: (1) Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb.). (2) Pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar. (3) Janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu), teks mengenai ucapan Gajah Mada yang terdapat dalam "Serat Pararaton" yang berbunyi, "Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Taqjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa". (Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa").
Nusantara merupakan frasa yang diambil dari bahasa Jawa kuna. Nusa berarti pulau dan antara berarti lain. Pada 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau populer disebut Setiabudi, pernah memperkenalkan nama Nusantara untuk menyebut wilayah (Indonesia) yang tidak memiliki unsur bahasa asing (India).
Setibudi mendefinisikan Nusantara berbeda dengan definisi pada abad ke-14. Pada masa Majapahit, Nusantara didefinisikan sebagai wilayah yang akan ditaklukkan. Setiabudi tidak ingin mengadopsi definisi zaman lampau itu, tetapi ia mendefinisikan Nusantara sebagai seluruh wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Adapun kata Indonesia beraroma asing, yakni berasal dari dua kata bahasa Yunani, indos dan nesos. Indos berarti India, sedangkan nesos berarti pulau. Jadi, kata Indonesia berarti kepulauan India atau kepulauan yang berada di wilayah India. Pantas saja, kawan saya itu, lebih sreg kalau negara ini Nusantara, sebagaimana yang dinyatakan Setiabudi.
Bangsa Indonesia sebagai keturunan asli (bukan pendatang) dari Majapahit memiliki hak mutlak atas terminologi Nusantara. Sebagai ahliwaris terminologi Nusantara, hakikat dari definisi terminologi ini yaitu wilayah negara adalah tetap. Seandainya dahulu Nusantara merujuk pada wilayah Majapahit, sekarang Nusantara merujuk pada wilayah Indonesia.
Kemudian, mengapa masalah nama dimasalahkan? Kawan saya itu menyampaikan keprihatinan, "Akibat tidak menggunakan nama asli, kita ini jadinya selalu mendahulukan barang asing dan tidak pernah menggunakan barang sendiri. Nama-nama toko, hotel, kompleks perumahan, kios tambal ban, bahkan pos satpam tampak bermartabat menggunakan bahasa asing. Potensi bangsa tidak digunakan dengan baik sebab kita tergiur dengan sesuatu yang berbau luar negeri."
Begitulah kawan saya mencoba menafsirkan bahwa akibat nama saja menggunakan bahasa asing, sebagian masyarakat kita tidak cinta lagi barang buatan dalam negeri, apalagi bahasa sendiri (bahasa Indonesia). Padahal, sejak 2500-an tahun silam, Nusantara telah memiliki pedoman dalam menjalani kehidupan dari tingkat individu, keluarga, tetangga, desa, bahkan hingga tingkat kerajaan/negara. Karya demi karya leluhur yang telah menjadi pondasi kejayaan bangsa yang kemudian jatuh-bangun dalam realitas sejarah bangsa ini.
Kita memang harus mengikuti zaman. Akan tetapi, kita hendaknya juga menyadari bahwa kita bisa selamat jika tidak menanggalkan jati diri kebangsaan. Pengaruh dari luar dicerna secara wajar dalam bentuk yang secara hakikatnya khas Nusantara. Barangkali itu hal yang dimaksud oleh kawan saya sehingga kita mungkin tidak juga harus berganti nama segala. (Penulis, pengajar Prodi Editing Fakultas Sastra Unpad, tinggal di Bandung timur)**
Galamedia Senin, 16 Januari 2012
Oleh: EDI WARSIDI