BANDUNG, (PRLM).- Standar garis kemiskinan yang digunakan Badan Pusat Statistik untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia, termasuk Jawa Barat (Jabar) dinilai terlalu rendah. Jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin seharusnya lebih besar dari data yang dirilis BPS awal pekan ini.
Demikian diungkapkan Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, di Bandung, Selasa (3/1). Garis kemiskinan Indonesia, khususnya Jabar, jauh di bawah standar Bank Dunia, 2 dolar AS per hari atau jika dirupiahkan sekitar Rp 18.200 per hari. Kriteria BPS sangat jauh dari kata layak, katanya.
Berdasarkan kriteria BPS, garis kemiskinan Jabar per September 2011 sebesar Rp 226.097 per kapita per bulan atau sekitar Rp 7.500 per hari. Untuk perkotaan, Rp 234.622 per kapita per bulan (Rp 7.800 per hari), sedangkan pedesaan Rp209.777 per kapita per bulan (Rp 7.000 per hari).
Garis kemiskinan tersebut naik 2,73% dibandingkan Maret 2011 yang Rp 220.098 per kapita per bulan (Rp 7.300 per hari). Untuk wilayah perkotaan, garis kemiskinan Maret 2011 sebesar Rp 228.401 (Rp 7.600 per hari), sedangkan pedesaan 204.199 per kapita per bulan (Rp 6.800 per hari).
Sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Vietnam, bahkan saat ini sudah mengikuti standar garis kemiskinan dunia. Jika mengadopsi garis kemiskinan dunia, tingkat kemiskinan Indonesia, termasuk Jabar, diprediksi akan meledak hingga mendekati separuh penduduk, atau sekitar 42%.
Harusnya, minimal standar garis kemiskinan Indonesia ditetapkan 1 dolar AS per hari atau sekitar Rp 9.100. Akan lebih baik lagi jika mengikuti standar Bank Dunia, tutur Acuviarta.
Menurut dia, rendahnya standar garis kemiskinan Indonesia, termasuk Jabar, membuat angka kemiskinan makro tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Berdasarkan data BPS, pada September 2011 jumlah penduduk miskin Jabar mencapai 4.650.810 orang, naik 0,05% (2.180 orang) dibandingkan Maret 2011 (4.648.630 orang).
Pada kesempatan yang sama, ia juga mengingatkan pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terhadap data penduduk hampir miskin (near poor). Pasalnya, mereka sangat rentan terhadap tegradasi masuk ke kategori miskin. Apalagi dengan adanya rencana kenaikan sejumlah komoditas energi tahun ini, termasuk kemungkinan lonjakan harga pangan.
Seperti halnya penduduk miskin, struktur pengeluaran rumah tangga penduduk hampir miskin masih terkonsentrasi pada konsumsi pangan. Mereka dipastikan akan langsung merasakan dampak dan terpukul daya belinya jika harga pangan melambung tinggi. Penduduk near poor adalah mereka yang memiliki pendapatan sedikit di atas garis kemiskinan, dengan toleransi sekitar 5%.
Sementara itu, terkait penambahan jumlah penduduk miskin sebesar 2.180 orang, Acuviarta menilai, hal itu terjadi karena masalah kebijakan perekonomian Jabar. Ia menilai, sejauh inibelum ada program Gubernur Jabar yang efektif mengangkat kemiskinan. Saya melihat, belum ada kebijakan Gubernur yang efektif mengangkat kemiskinan. Bansos tidak efektif, katanya.
Ia menilai, pertumbuhan angka kemiskinan tidak bisa ditimpakan pada tingginya angka migrasi. Sebagai daerah dengan posisi yang sangat strategis, sebagai magnet ibu kota, dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup besar, sudah menjadi konsekuensi Jabar menjadi magnet bagi pendatang.
Untuk menekan angka kemiskinan, menurut Acuviarta, Gubernur harus mengambangkan infrastruktur pedesaan, guna menekan laju urbanisasi. Sejumlah proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan tol dan pembangunan Jabar selatan juga harus segera direalisasikan untuk membuka bottleneck perekonomian, katanya. (A-150/das)***
sumber : www.pikiran-rakyat.com
Demikian diungkapkan Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, di Bandung, Selasa (3/1). Garis kemiskinan Indonesia, khususnya Jabar, jauh di bawah standar Bank Dunia, 2 dolar AS per hari atau jika dirupiahkan sekitar Rp 18.200 per hari. Kriteria BPS sangat jauh dari kata layak, katanya.
Berdasarkan kriteria BPS, garis kemiskinan Jabar per September 2011 sebesar Rp 226.097 per kapita per bulan atau sekitar Rp 7.500 per hari. Untuk perkotaan, Rp 234.622 per kapita per bulan (Rp 7.800 per hari), sedangkan pedesaan Rp209.777 per kapita per bulan (Rp 7.000 per hari).
Garis kemiskinan tersebut naik 2,73% dibandingkan Maret 2011 yang Rp 220.098 per kapita per bulan (Rp 7.300 per hari). Untuk wilayah perkotaan, garis kemiskinan Maret 2011 sebesar Rp 228.401 (Rp 7.600 per hari), sedangkan pedesaan 204.199 per kapita per bulan (Rp 6.800 per hari).
Sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Vietnam, bahkan saat ini sudah mengikuti standar garis kemiskinan dunia. Jika mengadopsi garis kemiskinan dunia, tingkat kemiskinan Indonesia, termasuk Jabar, diprediksi akan meledak hingga mendekati separuh penduduk, atau sekitar 42%.
Harusnya, minimal standar garis kemiskinan Indonesia ditetapkan 1 dolar AS per hari atau sekitar Rp 9.100. Akan lebih baik lagi jika mengikuti standar Bank Dunia, tutur Acuviarta.
Menurut dia, rendahnya standar garis kemiskinan Indonesia, termasuk Jabar, membuat angka kemiskinan makro tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Berdasarkan data BPS, pada September 2011 jumlah penduduk miskin Jabar mencapai 4.650.810 orang, naik 0,05% (2.180 orang) dibandingkan Maret 2011 (4.648.630 orang).
Pada kesempatan yang sama, ia juga mengingatkan pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terhadap data penduduk hampir miskin (near poor). Pasalnya, mereka sangat rentan terhadap tegradasi masuk ke kategori miskin. Apalagi dengan adanya rencana kenaikan sejumlah komoditas energi tahun ini, termasuk kemungkinan lonjakan harga pangan.
Seperti halnya penduduk miskin, struktur pengeluaran rumah tangga penduduk hampir miskin masih terkonsentrasi pada konsumsi pangan. Mereka dipastikan akan langsung merasakan dampak dan terpukul daya belinya jika harga pangan melambung tinggi. Penduduk near poor adalah mereka yang memiliki pendapatan sedikit di atas garis kemiskinan, dengan toleransi sekitar 5%.
Sementara itu, terkait penambahan jumlah penduduk miskin sebesar 2.180 orang, Acuviarta menilai, hal itu terjadi karena masalah kebijakan perekonomian Jabar. Ia menilai, sejauh inibelum ada program Gubernur Jabar yang efektif mengangkat kemiskinan. Saya melihat, belum ada kebijakan Gubernur yang efektif mengangkat kemiskinan. Bansos tidak efektif, katanya.
Ia menilai, pertumbuhan angka kemiskinan tidak bisa ditimpakan pada tingginya angka migrasi. Sebagai daerah dengan posisi yang sangat strategis, sebagai magnet ibu kota, dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup besar, sudah menjadi konsekuensi Jabar menjadi magnet bagi pendatang.
Untuk menekan angka kemiskinan, menurut Acuviarta, Gubernur harus mengambangkan infrastruktur pedesaan, guna menekan laju urbanisasi. Sejumlah proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan tol dan pembangunan Jabar selatan juga harus segera direalisasikan untuk membuka bottleneck perekonomian, katanya. (A-150/das)***
sumber : www.pikiran-rakyat.com