Diperlukan reformasi struktural secara menyeluruh di tubuh penegak hukum di Indonesia. Pasalnya, saat ini hukum kembali tercoreng oleh ulah beberapa oknum yang mengatasnamakan penegakan hukum.
Setelah peristiwa Mesuji dan Bima, baru-baru ini warga Indonesia bahkan warga dunia, dikejutkan dengan adanya vonis bersalah yang dijatuhkan majelis hakim di Pengadilan Negeri Palu yang diketuai Romel Tampubolon kepada seorang anak di Sulawesi Tengah berinisial AAL.
Majelis hakim berpendapat, AAL terbukti mencuri sendal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap. Akan tetapi, AAL tidak dijatuhi hukuman penjara, namun AAL dikembalikan kepada orangtuanya untuk dibina.
Dengan adanya vonis bersalah kepada AAL oleh majelis hakim, hal itu menambah rentetan citra buruk terhadap unsur penegak hukum. Apalagi hal itu dilakukan oleh orang yang notabene-nya mengerti delik hukum.
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sekaligus Ketua Forum Diskusi Hukum (Fordiskum) Bandung, Dindin S. Maolani menuturkan, adanya vonis tersebut mengisyaratkan telah terjadi peradilan sesat di Indonesia.
AAL yang dijatuhi vonis bersalah itu harus menanggung beban psikologis seumur hidupanya akibat kesewenang-wenangan penegak hukum yang terkesan memaksakan pengadilan kepada dirinya digelar. Padahal, dalam kesaksian Briptu Ahmad Rusdi Harahap, telah jelas dikatakan bahwa sendal jepit yang diambil AAL bukan milik Ahmad.
"Ada apa ini? Saya melihat ada bentuk konspirasi yang dilakukan penegak hukum. Seharusnya apabila sendal jepit yang diambil itu bukan milik polisi itu (Briptu Ahmad Rusdi), jaksa penuntut tidak bisa melanjutkan persidangan. Demikian juga dengan hakimnya. Apabila sudah terbukti bahwa sendal jepit itu bukan milik pelapor, maka AAL itu harus dibebaskan demi hukum," ungkap Dindin saat dihubungi "PRLM", Kamis (5/1).
Dindin yang juga seorang pakar hukum menjelaskan, dari beberapa kejadian itu, reformasi yang hingga saat ini tidak berhasil diterapkan yakni reformasi di bidang hukum dan penegakan hukum. Hal itu dibuktikan dengan arogansi para penegak hukum yang seakan menjadi 'superpower' yang tidak bisa disentil hukum.
"Kejadian ini kembali membuka lembaran pahit yang dilakukan oleh oknum polisi. Bagaimana mungkin seorang polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat malah menindas masyarakat. Padahal sudah jelas juga bahwa sendal jepit yang diambil AAL itu bukan milik oknum polisi itu. Saya menilai polisi itu bertindak arogan," tuturnya. (Ecep Sukirman/"PRLM"/A-88)***
sumber : www.pikiran-rakyat.com
Setelah peristiwa Mesuji dan Bima, baru-baru ini warga Indonesia bahkan warga dunia, dikejutkan dengan adanya vonis bersalah yang dijatuhkan majelis hakim di Pengadilan Negeri Palu yang diketuai Romel Tampubolon kepada seorang anak di Sulawesi Tengah berinisial AAL.
Majelis hakim berpendapat, AAL terbukti mencuri sendal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap. Akan tetapi, AAL tidak dijatuhi hukuman penjara, namun AAL dikembalikan kepada orangtuanya untuk dibina.
Dengan adanya vonis bersalah kepada AAL oleh majelis hakim, hal itu menambah rentetan citra buruk terhadap unsur penegak hukum. Apalagi hal itu dilakukan oleh orang yang notabene-nya mengerti delik hukum.
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sekaligus Ketua Forum Diskusi Hukum (Fordiskum) Bandung, Dindin S. Maolani menuturkan, adanya vonis tersebut mengisyaratkan telah terjadi peradilan sesat di Indonesia.
AAL yang dijatuhi vonis bersalah itu harus menanggung beban psikologis seumur hidupanya akibat kesewenang-wenangan penegak hukum yang terkesan memaksakan pengadilan kepada dirinya digelar. Padahal, dalam kesaksian Briptu Ahmad Rusdi Harahap, telah jelas dikatakan bahwa sendal jepit yang diambil AAL bukan milik Ahmad.
"Ada apa ini? Saya melihat ada bentuk konspirasi yang dilakukan penegak hukum. Seharusnya apabila sendal jepit yang diambil itu bukan milik polisi itu (Briptu Ahmad Rusdi), jaksa penuntut tidak bisa melanjutkan persidangan. Demikian juga dengan hakimnya. Apabila sudah terbukti bahwa sendal jepit itu bukan milik pelapor, maka AAL itu harus dibebaskan demi hukum," ungkap Dindin saat dihubungi "PRLM", Kamis (5/1).
Dindin yang juga seorang pakar hukum menjelaskan, dari beberapa kejadian itu, reformasi yang hingga saat ini tidak berhasil diterapkan yakni reformasi di bidang hukum dan penegakan hukum. Hal itu dibuktikan dengan arogansi para penegak hukum yang seakan menjadi 'superpower' yang tidak bisa disentil hukum.
"Kejadian ini kembali membuka lembaran pahit yang dilakukan oleh oknum polisi. Bagaimana mungkin seorang polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat malah menindas masyarakat. Padahal sudah jelas juga bahwa sendal jepit yang diambil AAL itu bukan milik oknum polisi itu. Saya menilai polisi itu bertindak arogan," tuturnya. (Ecep Sukirman/"PRLM"/A-88)***
sumber : www.pikiran-rakyat.com