Oleh: ALWI BAFAQIH
PERTEMPURAN Ambarawa atau disebut Palagan Ambarawa merupakan peristiwa sejarah yang terjadi 66 tahun silam yang diawali dengan pendaratan Tentara Sekutu di semarang tanggal 19 oktober 1945 yang memboncengi belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Tujuan terselubung penjajah ini menimbulkan perlawanan dari TKR yang pada saat itu baru dibentuk dan para laskar pejuang yang ada di Semarang, Magelang dan Ambarawa.
Kebulatan tekad melawan penjajah, rawe-rawe rantas malang-malang putung dipraktikkan saat melawan sekutu selama empat hari empat malam dengan penuh heroik, sehingga pertahanan sekutu jebol dan mereka mundur dari Ambarawa pada 15 Desember 1945.
Palagan Ambarawa menceritakan kepada kita tentang keyakinan para pejuang menghadapi sekutu walaupun memiliki persenjataan yang modern namun para pejuang kita dengan berani dan penuh keyakinan akan kemampuan sendiri dapat melakukan perlawanan dari memboikot logistik pasukan sekutu sampai kepada pertempuran bersenjata antara superior (sekutu) dan imperior (Indonesia). Suatu model pertempuran yang tidak berimbang tetapi tidak menyurutkan semangat para pejuang.
Para pejuang yakin dengan kemampuan sendiri karena nilai-nilai patriotisme dan militansi perjuangan begitu membara dalam sanubari mereka. Mereka solid (bersatu) dari berbagai daerah walaupun tidak saling kenal. Dengan berbekal keyakinan, mereka mampu mengusir penjajah. Pantang menyerah berdasarkan keyakinan man jadda wajada, siapa yang bersungguh sungguh akan sukses.
Nilai kejuangan
Schwartz (1994) mendefinisikan nilai sebagai suatu tujuan akhir yang diinginkan, memengaruhi tingkah laku, yang digunakan sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang atau masyarakat. Bisa dikatakan bahwa nilai-nilai pada hakikatnya merupakan sejumlah prinsip yang dianggap berharga sehingga layak diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Seseorang yang hanya memperjuangkan nilai-nilai pribadi adalah indivudualis, sedangkan pejuang adalah seseorang memperjuangkan nilai-nilai sosial.
Dalam catatan sejarah perang darat mulai dari tahun 1945 sampai dengan tahun 2004, TNI telah melaksanakan 249 operasi tempur di darat (perang darat). Musuh yang dihadapi 33% dari Negara luar operasi militer untuk perang (OMP) dan 67% musuh dari dalam negeri/ pemberontakan bersenjata operasi militer selain perang (OMSP). OMP dilakukan pada masa merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bukan pada masa generasi sekarang sehingga yang tersisa dari OMP itu adalah nilai-nilai kejuangan serta taktik dan strategi. Sementara taktik dan strategi bisa selalu berubah tergantung dari faktor tugas, medan, musuh dan pasukan sendiri (TUMPAS) sedangkan nilai-nilai kejuangan tidak bisa berubah dan tidak boleh diubah.
Tantangan TNI
Tantangan TNI AD ke depan tidaklah ringan dalam menjaga keamanan wilayah darat. Kondisi geopolitik dunia sulit untuk diprediksi bila mengacu pada peristiwa yang terjadi akhir-akhir di Irak, Afganistan, atau Libia. Ini menyadarkan kita bahwa teknik invasi militer telah berubah. Kita mungkin tidak lagi melihat pertempuran yang sifatnya jantan antara satu negara melawan satu negara tetapi saat ini dunia sedang mengarah kepada terbentuknya blok-blok keamanan bersama seperti NATO, atau seperti Malaysia dan Singapura yang tergabung dalam "Five Power defence agreement" yang dalam salah satu klausal disebutkan jika salah satu Negara diserang akan dibantu oleh empat negara.
Kecil kemungkinan negara lain menyerang dan menduduki Indonesia karena letak geografis Indonesia yang unik sangat menyulitkan musuh. Namun untuk sekadar mengganggu dan memporakporandakan pertahanan Indonesia bukan hal yang mustahil terjadi.
Tantangan perang darat tidak seperti yang dialami di masa pertempuran melawan sekutu di Ambarawa tetapi sudah lebih kompleks yang dapat melibatkan serangan yang integral menggunakan tembakan rudal dari kapal selam, dari udara, dan rudal antar negara. Memang yang terbaik menurut Tsun Tzu adalah memenangkan pertempuran sebelum berperang seperti yang dilakukan Israel terhadap Suria.
Menghadapi perang darat dengan peralatan perang yang sudah uzur diharapkan nilai kejuangan menjadi sebuah antitesa dalam perkembangan perang modern. Nilai kejuangan yang dimaksudkan adalah semangat pantang menyerah, patriotisme, cintah tanah air, dan berani mati untuk negara dan bangsa. Nilai kejuangan ini memiliki makna yang penting dalam kehidupan pribadi prajurit maupun kelompok yang telah dibuktikan oleh pejuang zaman penjajahan.
Berbicara mengenai nilai, dapat kita lihat pada setiap kesuksesan seseorang dalam perjuangannya karena mampu memahami nilai perjuangan dan dapat menangkap pesan-pesan yang tersirat didalamnya. Sedangkan menyangkut nilai kejuangan dalam penggunaan teknologi perang ada istilah the man behind the gun, secanggih apapun senjata yang dimiliki tetapi tidak memiliki semangat bertempur dan mempunyai sifat mudah menyerah maka tidak ada artinya.
Menarik benang merah pertempuran Ambarawa dalam konteks kekinian adalah mengobarkan sikap berani mati pada prajurit, keyakinan yang kuat akan nilai-nilai kebenaran, serta cinta terhadap tanah air. Nilai kejuangan ini tidak bisa tertanam dalam diri prajurit sepanjang tidak muncul kesadaran akan perubahan tatanan nilai yang berkembang dewasa ini. Nilai-nilai kejuangan ini sampai sekarang sudah mulai terkikis oleh arus perkembangan globalisasi seperti nasionalisme menjadi globalisme seperti yang ditulis Samuel P. Huntington.
Pergeseran nilai dari kebersamaan kepada individualistis, kepedulian berubah kepada sikap apatis, cinta negara kepada cinta duniawi yang berlebihan menyebabkan tumbuhnya jiwa pengecut dan takut mati, memelihara sikap sombong dan angkuh menjadi tabiat yang buruk bagi prajurit. Jika sifat-sifat semacam ini masih bersemayan dalam jiwa prajurit, maka nilai-nilai kejuangan sulit tertanam dalam dirinya apalagi diharapkan untuk melindungi bangsa dan negara. Selamat Hari Juang Kartika ke 66, Semoga TNI AD selalu jaya dalam mengawal republik Indonesia. (Penulis, Kasibinmusmon Dinas Sejarah Angkatan Darat)**