KUMPULAN cerpen Wajah Terakhir karya Mona Sylviana ini memuat 13 cerita pendek. Semua cerpen dalam buku ini pernah dimuat oleh Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, dan Pikiran Rakyat. Terbitnya kumpulan cerpen karya Mona ini mengangkat kehidupan biasa menjadi sebuah cerita yang luar biasa.
Hidup memiliki dua sisi kehidupan yang bertolak belakang dan selalu ada kalanya pepatah, "Hidup itu berputar seperti roda, terkadang di atas dan kadang di bawah" membuktikan hal tersebut. Namun, sering kehidupan manusia dalam fiksi dideskripsikan dari sudut yang melulu dalam lingkup imajinasi yang manis dan muluk-muluk sehingga kita lupa bahwa sisi kehidupan yang gelap juga memiliki eksistensi separuh dari kehidupan manusia, berimbang dengan separuh eksistensi sisi kehidupan yang terang; cemerlang.
Dalam kumpulan cerpen ini, Mona menunjukkan sisi gelap kehidupan yang sering terlupakan dan dilupakan oleh manusia. Ia mengangkat cerita kehidupan yang biasa, peristiwa sehari-hari. Berangkat dari kehidupan yang marginal, mengungkapkan kekumuhan, kerentaan, dan keterpurukan kaum kecil, khususnya perempuan.
Jika belakangan ini banyak pengarang sibuk menyuarakan keadilan untuk perempuan, maka Mona jujur dan realistis dalam menunjukkan sisi gelap kehidupan perempuan. Bagaimana perempuan dilecehkan, diintimidasi, dan dikorbankan? Bagaimana perempuan mempertahankan hidup, memberontak, dan membalas dendam?
Dalam kumpulan cerpen ini, kita dapat menemukan tokoh Ibu yang tidak lagi stereotip dalam kemuliaannya; seorang anak yang meragukan pernikahan karena konflik kedua orang tuanya, seorang anak perempuan yang membakar kucing kesayangannya, seorang perempuan berumur yang jatuh hati dengan anak muda, sampai dengan seorang pelacur yang mati kelaparan. Cerpen-cerpen dalam kumcer ini benar-benar menunjukkan perempuan sebagai manusia biasa.
Cerita kehidupan yang biasa tidak lantas menjadi cerita yang biasa, terutama dalam hal penceritaanya. Kelihaian Mona dalam mengarang dapat dirasakan dari cara ia mengolah hal yang biasa tersebut menjadi hal yang luar biasa. Ia mengungkapkan gagasan cerita secara perlahan, dengan iringan penyisipan gambaran latar yang amat mendetail. Kemudian, mengakhiri cerita-ceritanya dengan kejutan, yaitu sebagai jawaban atas runtutan cerita yang selalu membuat penasaran; bagaimana akhirnya, apa yang terjadi selanjutnya, apa sebenarnya maksud dari rentetan peristiwa ini, dsb.
Pendeskripsian latar yang begitu tajam dan detail adalah salah satu aspek penting yang menjadikan cerita biasa Mona menjadi luar biasa. Ia sukses membuat pembaca terlibat di dalam ceritanya sehingga membuat pembaca merasa terbawa arus emosi tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita.
Membaca keseluruhan cerpen ini, akan membuat kita menyadari betapa hidup tidak sekadar gumpalan tawa, tetapi gumpalan kekelaman yang durja. Oleh sebab itu, terbitnya kumpulan cerpen ini akan menyadarkan kaum perempuan. Paling tidak, realitas wajah kelam perempuan yang digambarkan Mona, akan mampu membijakkan kaum perempuan dan bukannya menyerahkan diri pada keadaan yang justru melemahkannya. (Sheila Fera Phina, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran)**
Galamedia Kamis, 19 Januari 2012