Kisah Nasib Suami Artis Panggung
KISAH ini menimpa keluarga Engkos (46 tahun) warga di salah satu desa di Kabupaten Subang. Ketika akan pergi bekerja ke Qatar tahun 2007, ia menitipkan anak istri kepada sahabat karibnya Dahlan. Sepulangnya ke tanah air 2010 lalu, Ny. Endah istrinya bahkan dikabarkan sudah menikah dengan Dahlan. Bagaimana sikap dan nasib Engkos? H. Undang Sunaryo mengisahkannya untuk Anda. Semoga ada hikmahnya.
Aku Sering Makan Hati
Punya istri seorang artis sering makan hati. Betapa tidak, jika sedang tampil di panggung dengan seenaknya tanpa malu-malu joget bersama laki-laki. Terkadang si lelaki nakal itu suka usil, pegang tangan atau memeluk badannya sambil ditonton orang banyak. Jika sedang duduk menunggu giliran di belakang panggung, enak saja ngobrol ngaler-ngidul sama laki-laki atau pemuda berandalan. Padahal aku yang setia mengantarnya ke tempat pertunjukan, berada di sekitarnya dan ikut menyaksikan kebolehannya tampil di pentas.
Memang kebanyakan artis di daerah umumnya suka begitu. Jika ingin cepat terkenal, banyak penggemar dan dapat duit saweran, si artis harus rela mengorbankan etika selama tampil di panggung. Tak peduli di antara sekian banyak penonton di situ ada suami atau saudaranya. Jika tidak begitu, katanya si pemimpin grup tak akan menanggapnya, alias si artis tak akan laku bermain di pentas hiburan.
Jika sepi manggung istriku tak pernah diam di rumah. Dia sering main di diskotik atau sesekali main-main ke tempat karaoke. Pulangnya memang suka dapat uang dari saweran. Pergi pukul 21.00 pulang lewat tengah malam sudah terbiasa. Selama istri nyanyi sambil berjoget ria dengan orang-orang mabuk aku pasrah tak mampu berbuat apa-apa. Celakanya jika ketahuan aku berada di sekitar diskotek, istriku sering marah karena para tamu enggan mendekati dan memberi uang tips.
Pada tahun 90-an lebih gila lagi. Ketika minuman keras bebas dijual di warung-warung, para seniman suka mabuk-mabukan. Para penonton yang senang berjoget sambil mabuk juga suka memberi sambil memaksa harus minum alkohol kepada para musisi dan penyanyi. Istriku juga pernah terjerumus dengan minuman keras. Setiap pulang manggung selalu tercium bau alkohol di mulutnya.
Selalu Tersinggung
Meskipun banyak yang bertolak belakang dengan perasaanku, Alhamdulillah sejak menikah tahun 1997, istriku masih setia. Tak pernah terdengar menduakan cintanya kepada yang lain, padahal seringkali ada fans laki-laki datang ke rumah. Meski demikian perasaan cemburu terus menggelayut karena khawatir istriku lepas kendali kepincut laki-laki lain.
Ketika baru punya anak, pernah disarankan oleh ayah agar aku pisahan saja dengan istriku. Sebabnya tidak baik punya istri seorang artis yang selalu norak dan seronok jika tampil di pentas. Ayah pernah tersinggung ketika pada suatu saat menghadiri sebuah pesta kenduri yang digelar hiburan orkes dangdut. Pada acara itu, istriku menyanyi dan tega minta uang sawer dan ngajak berjoget pada mertuanya.
Akibat perlakuan istriku itu, ibuku tersinggung dan merasa dipermalukan di mata orang banyak di tempat kenduri. Ibu sempat marah-marah sampai-sampai mengancam tidak mengakui istriku sebagai menantu. Namun aku tolak permintaan orangtua, karena aku sudah punya keturunan. "Punya menantu kurang ajar! Kamu ceraikan saja istri yang tak punya santun itu. Aku muak melihatnya lagi!" ancam ibu.
"Maafkan saja, Bu! Biar aku nasihati dia," jawabku.
Suatu ketika pernah didatangi dua ibu-ibu. Mereka mengadukan bahwa suaminya yang doyan pergi ke diskotek kegilaan sama istriku. Terjadilah adu mulut dan bertengkar di rumah. "Dasar artis gila, suka mengganggu rumah tangga orang lain!" kata si ibu yang satu, sambil mengatakan sudah tiga bulan gajinya ludes karena diserahkan sama istriku.
"Saya punya suami, masak iya tega ganggu suami orang. Adapun dia senang dan suka memberi uang, ya aku terima saja, yang penting aku tidak pernah merayu, meminta dan apalagi memaksanya," jawab istriku tak mau kalah.
"Pokoknya mulai detik ini kamu jangan mau didekati suami saya. Jika ketahuan tunggu akibatnya!" ancam si ibu yang yang satu lagi.
"Oh jangan marah sama aku, marahi saja suami kalian! Toh tanpa ada fans ngasih uang pun aku dapat bayaran nembang," kata istriku.
Lama berumah tang dengan sitri seorang artis seperti istri saya yang dikenal "haus uang" bagiku bagai buah simalakama. Bagimana mau hidup tenang di rumah, saban hari dan malam hari istri tak ada di rumah. Pulang pentas dia langsung tidur dan tak mau diganggu. Aku sebagai suaminya seakan dijadikan pembantu. Masak, belanja ke pasar, cuci pakaian, mengurus anak, dan semua pekerjaan di rumah aku sendiri yang berkerja.
Sebaliknya jika aku nekat menceraikan istri, aku tak tega mempertimbangkan kedua anakku yang masih memerlukan perhatian orangtuanya. Terus bagaimana jadinya nasibku ini, sementara yang mencari uang selama ini adalah istriku. Rumah dan tanahnya semuanya hasil istriku. Yah dari pada bingung aku selalu bersabar, dan terus berupaya agar istriku dalam mengembangkan karier sebagai arti tetap menjaga etika, dan jangan mengundang fitnah bagi orang lain.
Hampir setiap waktu aku selalu makan hati dan suka tersinggung atas perlakuan istriku. Betapa tidak hampir setiap hari, istriku sering marah-marah kelewat batas. Seakan aku tak pernah berjasa di rumah ini. Memang aku merasa tahu diri, selama berumah tangga pekerjaanku hanya serabutan alias tak punya pekerjaan tetap. Sementara penghasilan jadi artis mudah sekali mengais rejeki. Namun aku juga merasa berjasa sama dia, jika manggung aku yang antar dan pekerjaan itu seharusnya dibayar.
"Kalau Mamah sudah gak sayang sama aku, ayo kita cerai saja. Biar kedua anak kita aku yang urus, agar Mamah nerasa bebas mencari uang," aku pernah berkata begitu.
"Wah kalau cerai dari mana kamu bisa ngurusin anak. Selama ini kan akulah yang biayain mereka. Kamu mah hanya ngebujang," jawabnya.
(Aku Nekat Pergi ke Qatar)
ADUH aku tersinggung dengan perkataan itu. Lama aku pikir akhirnya menemukan akal aku akan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Toh teman aku juga sukses bekerja di mancanegara. Rencanaku disetujui istri, bahkan ia seakan merasa senang sekali aku hengkang dari rumah apalagi kerja jauh di luar negeri biar kerja kasar juga.
Aku bilang pada istri akan mencoba bekerja ke luar negeri, agar aku tak disebut seorang bujang atau suami pengangguran yang selalu dihina terus. Istriku senang sekali atas niatku itu. Entah senangnya karena apa? Apakah dia ingin hidup bebas tak ada suami atau karena bangga aku akan punya duit hasil kerja di luar negeri.
Selama dua bulan aku mengurusi surat-surat untuk menjadi TKI. Dan akhirnya aku diterima di sebuah PT yang bergerak di bidang jasa pengeboran minyak di Qatar Timur Tengah. Hanya ada ganjalan sebelum berangkat aku harus bayar uang sekitar Rp 8 juta kepada PT yang memberangkatkanku itu.
Sedang bingung mencari uang, tiba-tiba datang teman karibku dan juga teman karib istriku bernama Dahlan. Kami akrab karena dia sering membantu dalam segala kesulitan yang menimpa keluargaku. Bahkan Dahlan sering kali memberi sentuhan nasihat jika keluarga kami sedang bertikai.
"Silakan kamu berangkat sesuai kontrak. Bekerjalah yang sungguh-sungguh di sana. Biar semua biaya yang kamu perlukan aku tanggung sendiri. Urusan bayar entar jika kamu sudah dapat gaji atau jika pulang ke tanah air nanti," kata Dahlan santun sekali.
"Alhamdulillah, ternyata masih ada di dunia ini teman sebaik itu," begitu ungkapanku.
Seminggu sebelum berangkat, dan setelah seluruh adminitrasi terselesaikan aku pernah titip kepada sang kawan Dahlan. Selama aku belum menerima gaji aku memohon agar semua kebutuhan rumahtangga agar ditanggulangi oleh Dahlan. Saking percayanya aku titipkan anak istri jangan sampai terlantar selama ditinggl aku di luar negeri.
"Ok. Aku terima titipan dan amanat itu. Aku akan jaga istrimu dari segala fitnahan dan tudingan orang. Mohon maaf jika istrimu manggung maka aku yang ngatarin. Dan jika ada keperluan lain aku yang tanggung jawab," kata Dahlan.
Istriku menerima atas saran Dahlan, bahkan mengucapkan terimakasih atas kebaikan hati seorang kawan yang begitu baik hatinya peduli atas keluargaku yang sebentar lagi akan aku tingglkan selama tiga tahun lamanya.
Dahlan menyarankan, agar istriku mendapatkan uang tetap, alangkah baiknya Dahlan akan mendirikan sebuah studio radio komunitas. Biar semua biaya akan ia tanggung sendiri. Denganadanya radio komunitas pasti setiap hari dan malam banyak fans datang ke studio dan memberi uang saweran. Di samping itu karena di rumah banyak orang anakku yang masih perawan akan berjualan minuman dan makanan ringan.
"Oh bagus-bagus sekali. Hanya tolong jaga jangan sampai istriku kepincut para fans. Bahaya itu, apalagi si fans banyak uang dan doyan mengajak main ke luar rumah," kataku.
"Oh itu kecil. Biar aku yang menjaganya. Jika perlu guletpun aku siap demi menjaga nama baik keluargamu," janji Dahlan penuh semangat. Akupun semakin tambah percaya sama dia.
Setelah permisi kepada kedua orang tua sudara, bapak dan ibu mertua serta kepada semua tetangga, pada Juli 2007 aku pergi meningglkan tanah air. Keberangkatanku ke Bandara Soekarno Hatta diantar sanak keuarga dengan menggunakan kendaran kepunyaan Dahlan kawanku. Isak tangis menghantarkan aku pergi ke Timur Tengah guna menunaikan ibadah mencari uang untuk kebutuhan keluarga.
Aku bekerja di Qatar di sebuah gurun pasir. Setiap hari bekerja sebagai tukang gali tanah dan bebatuan. Setiap malam aku istirahat dan tidur bersama rekan rekan TKI di tenda-tenda. Pada awal pertama dapat beberapa hari aku tak doyan makan roti dan daging sapi, rasanya sebal ingin muntah. Namun lama kelamaan aku paksakan dan doyan makanan yang disuguhkan perusahaan,
Betapa beratnya kerja di padang pasir. Dengan sengatan sinar matahari aku dkk tetap semangat bekerja menggali tanahb dan bebatuan. Kerja dari mulai pukul delapan dan istirahat selama satu jam untuk menunaikan solat zuhur kemudian kerja lagi dan istirahat untuk melaksanakan solat ashar. Selesai bekerja tepat pukul 17.00 dan malam harinya istirahat tidur.
Selama setahun aku mendapatkan gaji sebesar Rp 2.7 juta. Pada tahun kedua naik menjadi Rp 3,1 juta dan pada tahun terakhir naik menjadi Rp 3,5 juta. Uang hasil kerja kerasku setiap bulan aku transferkan buat istriku di Subang. Adapun untuk keperluan sehari-hari aku pergunakan uang lembur.
Suatu ketika Dahlan menilpon, katanya anakku si sulung perempuan mau menikah dan resepsinya ingin menggelar hiburan. Aku perintahkan Dahlan agar semua biaya pernikahan dan resepsi ditangunnya. Adapun pembayarannya entar jika aku pulang ke tanah air.
Beberapa hari setelah kendurian Dahlan menilpon lagi. Dia mengabarkan biaya pernikahan si sulung engbnabiskan uang sebesar Rp 3,5 juta. Aku ungkapkan terimakasih dan pembayarannya nanti di belakang. Sementara istriku melaporkan bahwa uang transfer setiap bulannya habis tak bersisa karena dipakai untuk kebutuhasn keluarga.
Wah aku bingung. Masak iya uang sebesar itu habis tak bersisa, padahal dia katanya setiap hari dan malam seringdapat uang sawer hasil nembang di studio radio komunitas. Belum lagi istriku sering mangung dan mendapat uang banyak. Mendengar laporan itu aku lantas menaruh curiga jangan-jangan dia nyeleweng dan menghambur hamburkan uang dengan laki- laki lain, tanpa sepengatahuan Dahlan.
(Aku Pulang, Rumahku Hancur Berantakan)
BULAN berikutnya si sulung yang baru menikah dengan Jaeni melaporkan bahwa banyak tetangga yang merasa tidak aman karena terganggu oleh aktivitas radio kumunitas yang tempat studionya di rumahku. Selain itu banyak warga yang mencurigai istriku bermain mata dengan Dahlan dan laki-laki pencinta radio komunitas.
Mendapat laporan dari si sulung, aku hanya menyarankan agar dia selalu mengawasi tindak-tanduk ibunya. Jika sudah keterlaluan laporkan saja kepada mertua atau orangtuaku. Si sulung dan suaminya bersedia menjadi intel. Selain itu kusarankan agar uang kiriman dariku selalu diawasi jangan sampai dihambur-hambur tak karuan.
Selama aku bekerja di Qatar seringkali mengalir pengaduan dari anak, orangtua bahkan dari tetangga. Mereka melaporkan agar aku segera pulang ke tanah air karena prilaku istriku sudah keterlaluan. Sudah banyak warga yang mencurigai istriku bermain mata dengan Dahlan dan beberapa fans radio yang sering ketahuan berbuat tidak baik dengan istriku.
Namun laporan tinggal laporan. Kenyataannya aku tak bisa berbuat apa-apa, terkecuali pasrah. Aku terikat kontrak kerja dengan perusahaan tempat aku bekerja. Aku harus harus menunaikan pekerjaan selama tiga tahun. Jika ingkar dari perjanjian itu alamat aku akan terkena denda.
Aku sudah tak tahan dengan mengalirnya laporan yang tak mengenakkan hati, terlebih atas perlakuakn istriku yang semakin hari semakin gila berselingkuh dengan laki-laki lain. Dahlan yang semula aku anggap sebagai rekan karib dan aku pernah menitipkan keluarga ternyata ingkar janji. Sebagai aksi protes, maka selama enam bulan aku tak pernah kirim uang. Uang gajiku sengaja di simpan di sebuah bank.
Dua bulan sebelum pulang, aku sudah merencanakan niat yang tidak baik. Aku akan pulang tanpa memberitahu siapa pun. Aku ingin membuktikan apakah benar istriku berbuat selingkuh atau tidak. Jika benar laporan itu terlihat oleh kedua mataku sendiri, maka aku akan bunuh mereka. Risiko aku tanggung sendiri.
Betul juga aku sudah menyelesaikan kontrak kerja. Pada akhir kontrak aku mengajukan kontrak kerja kembali setelah aku pulang ke tanah air. November 2010 aku pulang ke tanah air dengan membawa uang gaji selama setahun lebih. Sampai ke kampung sekitar pukul 23.00. Aku sengaja tak masuk rumah, maksudnya ingin melihat keadaan rumahku yang dipergunakan studio radio kumunitas. Apa yang terjadi?
"Masya Allah!" Aku mengelus dada. Rumahku sudah hancur berantakan. Kaca jendela pecah-pecah, di bagian tembok rumah penuh dengan tulisan-tulisan dengan bahasa yang sangat kasar.
Aku mencoba tanyakan kepada tetangga, mengapa rumahku hancur? Dimana anak istri sekarang? Si tetangga menjelaskan, katanya minggu lalu rumahku diserbu massa, karena setiap malam tetangga merasa terganggu dengan kegiatan radio komunitas. Istriku diusir massa karena ketahuan sering kepergok sedang bermain mesum di rumahku.
"Si bungsu tinggal bersama kakaknya di tetangga desa. Adapun istrimu tidak tahu ke mana dia berada," kata Mang Karna tetanggaku. Karena kasihan aku diantar Mang Karna pergi menemui rumah menantuku.
Kedatanganku disambut isak tangis si cikal. Apalagiu menantu langsung merangkul dan menghaturkan terimakasih atas kedatanganku pulang dengan selamat. Tak terkecuali sang besan yang baru ketemu ikut bersedih merasakan apa yang telah terjadi dalam rumah tanggaku. Aku pun bingung mengapa semua ini bisa terjadi? Dulu sebelum aku pergi bekerja ke luar negeri pernah menitipkan anak dan istri kepada si Dahlan. Lantas mengapa jadi begini?
"Jangan bicara Om Dahlan. Dia sudah kabur bersama mamah, karena merasa ketakutan diusir massa yang bringas!" kata si sulung. Sementara rumah dirusak karena tetangga sudah muak diganggu siang malam. Di rumah bagaikan diskotek sering dipakai tempat berjoget dan mabuk minuman keras.
Sang besan menyarankan agar aku tenang dan bersabar. Persoalan ini harap ditunda dulu. Besanku akan ikut serta menyelesaikan persoalan rumit yang belum jelas kebenarannya. Aku menurut saran besan makanya selama dua hari aku beristirahat sambil merasakan rindu sama anak dan menantu.
Dua hari kemudian Mang Karna datang menjenguk. Kedatangannya ia melaporkan bahwa istriku ada di rumah Dahlan. Aku kaget mengapa bisa begitu, Dahlan kan sudah beranak istri. Mengapa istriku tidak diusirnya?
"Lho dahlan kan sudah cerai sama istrinya empat bulan silam. Mantan istri dan keempat anaknya ikut mantan mertuanya di luar kecamatan. Saya juga baru tahu tadi malam Dahlan sudah menduda," kata Mang Karna.
"Jadi kalau begitu istriku sudah dikawinnya? Kurang ajar!" Aku marah tak bisa tertahankan. Pada saat itu aku berencana akan mendatangi rumah Dahlan dan akan aku hajar istriku yang tak menghormati suami baru datangdari luar negeri tetapi besanku menahanku.
"Jangan, Pak! Sabar biar istirhat di sini. Aku nanti yang akan datang ke rumah Dahlan!" kata sang besan.
Benar sang besan lantas pergi bersama Mang Karna ke rumah Dahlan. Sembil menunggu kepulangan mereka aku ngobrol bersama si sulung, menantu dan si bungsu. Si sulung menceriterakan bahwa ibunya berencana mengajukan cerai karena aku tak pernah mengirim uang selam tujuh bulan. Sedangkan untuk kebutuhan hidup selama itu semuanya dijamin Dahlan.
"Jadi enggak mengajukan cerainya, Nak?" tanyaku kesal juga.
"Nggak tahu Pak! Entar mertua nanti pasti akan menjelaskannya. Namun banyak orang bilang bahwa ibu sudah campur bagaikan suami istri dengan Om Dahlan. Makanya rumah kita dirusak massa salah satunya akibat muak atas perbuatan mereka," papar si sulung sambil menangis histeris.
(Kurelakan Dahlan Menikahi Istriku)
IA menceriterakan ketika rumahku dirusak massa dilempari dengan batu, si sulung dan si bungsu sedang tidur pulas di kamar belakang. Ketika bangun karena kaget, si bungsu keluar tumah lalu kepalanaya terluka terkena batu dan pecahan kaca.
"Ya sudah besok rumah akan kita perbaiki. Berapa pun biayanya ayah tanggung. Yang penting rumah kita segera tempati," kataku.
"Jika benar ibu minta cerai dan ibu benar-benar sudah campur dengan Om Dahlan, bagaimana sikap ayah?" tanya si sulung lagi.
"Ya kita hitung-hitungan dengan si Dahlan. Ayah akan minta ganti rugi, akan ajukan ke pihak berwajib, atau bila perlu kita adu kekuatan siapa yang duluan mati," jawabku keras dan menantang.
Hanya beberapa jam menunggu, besanku, Mang Karna, Dahlan, dan istriku datang. Besanku menyarankan agar aku bersabar dan tidak emosi. Maksud kedatangan Dahlan dan istriku akan mengklarifikasi apa yang selama ini terjadi. Namun istriku kurang ajar, masak iya tiga tahun ditinggal ke luar negeri hanya diam seribu bahasa, seakan tak mengakui aku sebagai suaminya.
Makanya meski sang besan menyarankan aku harus bersabar, karena tak tahan menahan emosi akhirnya istriku kutampar dan kutendang sampai dia jatuh dan terlempar ke halaman rumah. Kurang ajarnya lagi Dahlan malah menantang, akhirnya aku dan Dahlan berkelahi. Sang besan, Mang Karna, dan menantu merelai. Kemudian kami disuruh masuk ke rumah guna mendamaikan persoalan ini.
"Kita segera damaikan permasalahan ini agar semuanya cepat selesai dan tidak terjadi lagi perpecahan di antara kita," kata besan memimpin perdamaian disaksikan Mang karna, menantu, dan kedua anakku.
Pada suatu hari, aku diundang Pak Lurah di kantor desa maksudnya ingin mendamaikan antara aku, istri dan Dahlan yang isunya sudah menyebar ke seluruh warga di desa. Aku pergi didampingi besan dan menantu, istriku ditemani pamannya dan Dahlan datang bersama beberapa rekannya. Sebelum sidang aku tak tahan menahan emosi, sampai sampai muka Dahlan aku bogem beberapa kali.
Perundingan sempat batal karena aku membuat ulah. Sementara istriku yang membela Dahlan aku tendang juga sampai terpelanting ke sudut kantor desa, untung saja keburu ada yang melerai. Persidangan dimulai dan sempat kisruh karena aku ngotot minta Dahlan agar diberi sanksi hukum setimpal.
"Kalau tidak dihukum, saya bunuh kau!" ancamku kepada Dahlan.
Dahlan pun tak tinggal diam dia akan menuntut ganti rugi dan akan melaporkan istriku karena telah menguras uang miliknya dan telah merusak rumah tangga Dahlan hingga dia bercerai dengan istrinya. Jika tidak ditepati Dahlan akan memasukkan aku ke dalam penjara.
Pak Lurah lantas melerai pertengkaran aku dan Dahlan. Satu persatu Pak Lurah meminta keterangan dari aku, Dahlan, dan istriku sendiri. Kemudian para saksi yang hadir pun ikut memberi keterangan.
Pada kesimpulan perundingan dipaparkan bahwa aku harus membayar uang kepada Dahlan sebasar Rp 50 juta untuk mengganti rugi kebutuhan rumah tangga selama aku bekerja di Qatar. Pinjaman uang dari istri disertai tanda tangan dan materai serta dikuatkan dengan para saksi.
"Bagaimana jika aku tak mau membayar uang itu?" tanyaku ngotot karena tidak percaya uang sebesar itu dipinjam istri dan anak-anak. Dahlan tak mau menjawab.
"Selama aku bekerja di luar negeri apakah istriku sudah kamu gagahi? Dan menurut isu istriku sudah kamu nikahi secara diam-diam?" tanyaku lagi.
"Tidak! Tidak! Itu fitnah! Selama kamu kerja di luar negeri aku bertanggung jawaab menjaga istri dan anakmu sesuai amant kamu dulu! Justru aku terkena getahnya gara-gara menjaga menjalankan amanatmu istriku pergi ke mertuaku dan mengancam minta cerai karena cemburu dengan istrimu!" jawab Dahlan, sambil mengatakan bingung atas persoalan ini.
Pak Lurah menasihati agar istriku kembali ke pangkuanku lagi. Persoalan utang piutang itu bisa diatur dan jangan dicampur adukkan dengan persoalan rumah tangga.
"Sekarang baik-baiklah kamu dengan suamimu. Dan begitu sebaliknya Dahlan agar segera berasama istrimu karena ternyata isu yang beredar selama ini hanyalah fitnah belaka. Nah kamu bagaimana siapkah membayar utang seperti yang dipaparkan saudara Dahlan tadi?" tanya Pak Lurah.
"Maaf Pak Lurah saya tak punya uang. Ada sedikit juga hanya untuk memperbaiki rumah dan biaya anak. Pokoknya saya tak akan membayarnya," jawabku terus terang.
"Apakah kamu bersedia kembali ke pangkuan suamimu?" tanya Pak Lurah kepada istriku. Istriku diam saja, kemudian geleng geleng kepalanya pertanda dia sudah tak mau hidup bersamaku.
"Jadi kamu benar benar cinta sama Saudara Dahlan?"
"Betul, Pak! Karena Kang Dahlan begitu besar tanggung jawab dan perhatian selama suami berada di luar negeri. Dan saya sudah gak mau lagi bersatu dengan suami!" jawab istri membuat aku jengkel dan emosi. Sampai-sampai kursi yang aku duduki mau dilempar ke arahnya, untung keburu ada yang melerai.
Pak Lurah menawarkan apakah kasus ini mau dibereskan di tingkat desa atau dilanjutkan ke pihak berwajib. Dahlan bersedia dilanjutkan, istri, dan aku pun bersedia. Pak Lurah menyuruh kami untuk berpikir jernih. Jika persoalan ini berlanjut, aku harus membayar uang milik Dahlan, sementara aku mengatakan tidak mau membayar. Bingung.
"Maaf Pak Lurah, jangan dilanjutkan cukup sampai di sini," jawabku.
"Terus bagaimana dengan istrimu?" tanya Pak Lurah lagi.
Aku jawab sejujurnya. "Dengan penuh rasa ikhlas aku tak mau lagi bersatu dengan istriku. Silakan istriku kawin saja dengan Dahlan. Yang penting utangku lunas. Percuma hidup seperti ini. Biar besok lusa aku akan pergi bekerja lagi di Qatar. **
Sumber http://www.klik-galamedia.com/indexrubrik.php