SEKOLAH mahal! Itulah yang dirasakan orangtua saat memasukkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Teriakan tesebut banyak didengar dari orangtua yang memasukkan anaknya ke sekolah, darii SD ke SMP atau dari SMP ke SMA.
Melihat pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dilakukan sekolah, ternyata kompetensi akademik siswa yang dapat dilihat dari hasil ujian tidak menjadi jaminan. Kemunculan passing grade, hanya terkesan sebagai formalitas saja untuk menaikkan daya tawar, hingga akhirnya orangtua tergiring pada cara "main belakang" untuk memulusan anaknya di sekolah favorit.
Kadang siswa yang memiliki kompetensi akademik juga tidak dapat bernafas lega untuk meneruskan sekolah, pada saat sejumlah biaya masuk dengan nilai jutaan rupiah disodorkan. Hingga akhirnya, dengan keterbatasan finansial tersebut terpaksa siswa yang orangtuanya tidak mampu mundur, melupakan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Kondisi dunia pendidikan saat ini memang sudah bertentangan dengan amanah UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Undang-undang tersebut menyatakan, negara menjamin warganya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Ada semacam pemahaman yang harus digarisbawahi, fasilitas pendidikan lengkap yang dimiliki oleh sekolah favorit berarti tidak hanya dapat dinikmati oleh siswa dari keluarga beruang. Siswa yang orangtuanya tukang becak sekali pun mempunyai hak untuk sekolah yang memiliki fasilitas lengkap tersebut.
Kompetensi siswa adalah kunci bisa masuk tidaknya perserta didik. Bukan didasarkan pada kemampuan orangtua siswa untuk memenuhi permintaan kebutuhan sekolah. Meskipun pihak sekolah mengetahui adanya pelarangan mengutip uang dari proses PPDB, namun pada kenyataanya hampir di semua sekolah praktik itu dilakukan.
Secara tidak langsung, di dunia pendidikan telah ditanamkan nilai-nilai ketidakjujuran. Sekolah membuat sistem yang secara tidak langsung memaksa orangtua murid untuk menuruti keinginan sekolah. Pendaftaran lewat fasilitas jalur belakang atau kedekatan, tampaknya lebih memberikan jaminan dibandingkan dengan kopetensi akademik yang dapat dilihat dari hasil UN.
Mencoba kembali pada kejujuran, adalah nilai yang sangat mahal untuk mengawali proses pendidikan anak-anak yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Jangan jadikan generasi muda, kita generasi yang permisif terhadap suap dan sogok.
Sekolah adalah tempat kawah candradimuka yang diharapkan dapat melahirkan putra bangsa yang memiliki kecerdasan dan keimanan. Sehingga dapat membangun bangsa dengan semangat kejujuran. Semuanya berawal dari pendidikan.
Oleh: DENI KUSMAWAN (Galamedia)
Melihat pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dilakukan sekolah, ternyata kompetensi akademik siswa yang dapat dilihat dari hasil ujian tidak menjadi jaminan. Kemunculan passing grade, hanya terkesan sebagai formalitas saja untuk menaikkan daya tawar, hingga akhirnya orangtua tergiring pada cara "main belakang" untuk memulusan anaknya di sekolah favorit.
Kadang siswa yang memiliki kompetensi akademik juga tidak dapat bernafas lega untuk meneruskan sekolah, pada saat sejumlah biaya masuk dengan nilai jutaan rupiah disodorkan. Hingga akhirnya, dengan keterbatasan finansial tersebut terpaksa siswa yang orangtuanya tidak mampu mundur, melupakan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Kondisi dunia pendidikan saat ini memang sudah bertentangan dengan amanah UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Undang-undang tersebut menyatakan, negara menjamin warganya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Ada semacam pemahaman yang harus digarisbawahi, fasilitas pendidikan lengkap yang dimiliki oleh sekolah favorit berarti tidak hanya dapat dinikmati oleh siswa dari keluarga beruang. Siswa yang orangtuanya tukang becak sekali pun mempunyai hak untuk sekolah yang memiliki fasilitas lengkap tersebut.
Kompetensi siswa adalah kunci bisa masuk tidaknya perserta didik. Bukan didasarkan pada kemampuan orangtua siswa untuk memenuhi permintaan kebutuhan sekolah. Meskipun pihak sekolah mengetahui adanya pelarangan mengutip uang dari proses PPDB, namun pada kenyataanya hampir di semua sekolah praktik itu dilakukan.
Secara tidak langsung, di dunia pendidikan telah ditanamkan nilai-nilai ketidakjujuran. Sekolah membuat sistem yang secara tidak langsung memaksa orangtua murid untuk menuruti keinginan sekolah. Pendaftaran lewat fasilitas jalur belakang atau kedekatan, tampaknya lebih memberikan jaminan dibandingkan dengan kopetensi akademik yang dapat dilihat dari hasil UN.
Mencoba kembali pada kejujuran, adalah nilai yang sangat mahal untuk mengawali proses pendidikan anak-anak yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Jangan jadikan generasi muda, kita generasi yang permisif terhadap suap dan sogok.
Sekolah adalah tempat kawah candradimuka yang diharapkan dapat melahirkan putra bangsa yang memiliki kecerdasan dan keimanan. Sehingga dapat membangun bangsa dengan semangat kejujuran. Semuanya berawal dari pendidikan.
Oleh: DENI KUSMAWAN (Galamedia)