Bertemunya Agama dengan Adat
Dalam praktek keagamaan, oleh kelompok puritan, adat disingkirkan. Adat dinilai sebagai tidak pantas berdampingan agama. Adat manusia, agama Tuhan. Adat relatif, agama mutlak. Adat lokal, agama universal, dan seterusnya.
Bagaimana orang Bugis menerima agama? Bagaimana mereka mempraktekkan adat. Dan bagaimana pula mereka menjalani keduanya?
Hamzah Sahal dari NU Online telah mewawancarai Prof. Dr. Nurhayati Rahman beberapa waktu lalu di kantornya, Universitas Hasanudin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Sampai hari ini, Nurhayati adalah orang Bugis yang konsisten menyelami budayanya sendiri dengan cara akademik. Dari menulis skripsi, tesis, hingga disertasi, aktivis Muslimat NU Sulawesi Selatan ini menulis tentang La Galigo.
Empat ratus tahun lalu Islam sudah mendarat di sulawesi selatan. Artinya Islam juga sudah lama bergumul dengan Sulawesi Selatan lengkap dengan seluk-beluk keyakinan, kebudayaannya. Apakah Anda bisa memberi ilustrasi bagaimana keduanya bergerak?
Di sini ada sebuah sejarah lisan yang sangat terkenal dan popular di kalangan masyarakat pedesaan. Ada dialog antara Nabi Muhammad dan Sawere Gading (tokoh utama dalam agama tradisonal orang Bugis yang terdapat dalam karya sastra La Galigo, red). Diceritakan Nabi Muhammad bertemu dengan Sawere Gading. Keduanya berdebat dan beradu kesaktian.
Di sana diceritakan nabi Muhammad adalah seorang yang pandai berargumentasi dan juga sakti secara fisik. Nabi bisa berjalan di atas lautan tanpa alat bantu, dan mukjizat-mukjizat lain yang tidak dimiliki Sawere Gading. Karena Nabi Muhammad demikian sakti dan sempurna, akhirnya Sawere Gading menyerah kalah. Karena kalah, Sawere Gading menyerahkan semuanya kepada Muhammad. “Saya pergi saja. Saya akan kembali ke asalku. Dunia beserta isinya kuserahkan kepadamu, Muhammad. Terserah Engkau mau diapakan.” Begitu kira-kira ungkapan penyerahan Sawere Gading kepada Muhammad.
Apa makna cerita itu?
Yang penting dari cerita ini adalah bukan sahih atau tidak, tapi struktur berpikir orang yang bercerita, orang yang menciptakan cerita itu. Yang paling penting di sini adalah bagaiamana ulama dulu menjelaskan Islam masuk lewat pintu-pintu peradaban, lewat gerakan kultural, bukan kekuasaan, bukan Perda, apalagi kekerasan. Yang demikian ini, jauh lebih efektif. Jangan lupa, Perda juga bentuk interpretasi, hasil tafsiran seseorang. Jadi klaim bahwa Perda itu murni Al-Qur’an merupakan kebohongan luar biasa. Kita tahu Islam itu ada NU, Muhammadiyah, PERSIS, Ahmadiyah, Syi’ah, dan lain sebagainya.
Kalau faktanya demikian, aliran dan tafsir mana yang mau diperdakan, mana yang mau diformalkan? Oleh karena itulah sekarang kita melihat ada orang yang tidak setuju dengan Perda-perda Syari’at Islam. Kalau Islam diperdakan akan menjadi tunggal, yang akhirnya memihak kelompok tertentu. Pasti kan ada resistensi dari bawah, yaitu mereka yang merasa tafsir Islamnya tidak terakomodir. Ini salah satu problem penerapan Syari’at Islam.
Tadi disebutkan ada “Paradigma Lama” dan ada “Paradigma Baru”. Bisa dijelaskan lebih jauh?
Yang dimaksud ‘paradigma lama’ adalah kepercayaan tradisional orang Bugis. Kitab sucinya bernama La Galigo, nabinya Sawere Gading. Itulah tadi yang berdebat dengan Nabi Muhammad di puncak gunung. Sedangkan ‘paradigma baru’ itu agama Islam yang kita kenal sekarang ini, berkitab Al-Qur’an dan nabinya, Muhammad bin Abdullah.
Sejarah agama dan adat di Indonesia ini dipenuhi konflik panjang dan terjadi di mana-mana. Perang Padri adalah salah satu bukti nyata dari konflik antara adat dengan agama. bisakan Anda menjelaskan dalam konteks Sulawesi Selatan?
Saya ingin mengungkapkan bahwa kerajaan yang ada di sini begitu istimewa. Seorang raja bertahta bukan karena dia anak sebagaimana terjadi di Yogyakarta, Inggris, Jepang, Maroko, Arab Saudi, dan lain-lain, melainkan dipilih oleh Dewan Adat. Dewan ini berfungsi mirip dengan DPR. Selain Dewan Adat, agamawan juga terlibat dalam proses bernegara. Keduanya tidak ada yang diunggulkan di mata sang raja, keduanya berposisi sama, sederajat.
Apa yang ingin Anda tunjukkan?
Saya ingin mengatakan bahwa kehidupan yang rukun antara agama dengan adat pada waktu itu merupakan peran ulama atau imam yang cerdas membaca situasi lokal. Mereka cerdas dan kreatif dalam berdialog, bahkan sampai pada tingkat kehidupan sehari-hari yang sangat detail. Misalnya, sampai hari ini kita masih menjumpai pembacaan Al-Qur’an dan Barzanji bersamaan dengan pembacaan La Galigo pada upacara pernikahan, khitanan, ataupun kelahiran.
Atau misalkan lagi bagaimana ulama mengganti tradisi memberi makanan ke laut, disebut Mappano, karena mereka menganggap ada nenek moyang di sana, diganti dengan membawa ke masjid. Sedangkan membawa sesajen ke gunung, disebut Mappaenre, diganti dengan membawa makanan ke imam. Jadi, setelah masuk Islam Mappano berarti membawa makanan ke masjid, sedangkan Mappaenre ke rumah imam, tidak lagi ke laut atau ke gunung.
Tapi buktinya sekarang ada ketegangan antara kaum adat dengan agamawan?
Pengamatan saya, yang membuat adat dan agama tegang adalah kelompok Islam yang datang belakangan. Mereka menghukumi ritual yang saya sebut tadi syirik dan berbau bid’ah. Inilah yang membuat kisruh kehidupan beragama dan beradat rusak. Setelah masa kemerdekan, kehidupan masyarakat adat, yang di dalamnya juga masyarakat Islam, menjadi semakin runcing karena kebijakan politik yang tidak paham situasi masyarakat bawah.
Kesimpulannya, pengembangan Islam secara kultural jauh lebih cair dan nyaman bagi siapa saja. Beda halnya dengan cara-cara kekuasaan, Perda dan segala macamnya. Ada satu kreativitas lagi yang membuat saya kagum dengan ulama dulu. Dalam fiqih, orang zina muhshan kan harus dirajam. Tapi ulama dulu di sini tidak melakukan itu. Ulama di sini menghukum orang berzina dengan Malawong, di-lawoni, diberi kain kafan. Pezina dimandikan, dikafani, dibacakan talqin, lalu dibuang ke laut. Maaf, bukan berarti saya membetulkan cara-cara seperti ini, tapi yang saya suka mereka telah berkreasi, tidak menjiplak mentah-mentah, meskipun datang dari ajaran agama.
Contoh lagi, soal pembagian waris. Dalam kewarisan, orang Bugis itu menganut persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan. Saya tidak membayangkan seperti apa resistennya mereka jika dikatakan bahwa dalam Islam, bagiannya perempuan hanya setengah dari laki-laki. Karena nilai waris di Bugis begitu kuat, ulama tidak mengatakan mentah-mentah aturan Al-Qur’an. Ulama bugis lalu mengatakan malempa orane, ma’junjung makunrae. Maksudnya laki-laki memikul (dapat dua), sementara wanita membawa barang di kepalanya cuma satu.. masih banyak contoh-contoh bagaimana ulama memperkenalkan islam di tanah bugis. Mereka memperkenalkan syari’at lewat jendela kultur, tidak dengan kekerasan, tidak dengan perang, tidak juga dengan pemaksaan dari atas. Memang islamisasi di sulawesi selatan ini lewat istilah jihad, tapi sudah dimaknai lain, yaitu siri, penegakan harga diri, martabat, dan rasa malu. Jadi islam ditegakkan melalui siri.
Apakah maksudnya jihad itu berarti bukan al-qital?
Ada juga yang berarti al-qital. Tapi imajinasi perang dalam jihad tidak sekuat makna lain.
Apa bisa disimpulkan bahwa Islam menerima adat?
Saya ingat. Ayah saya bergaul dengan para Bissu, pendeta dalam agama tradisonal. Kalau kita pergi ke kampung-kampung di acara perkawinan, yang mendandani kan para Bissu. Satu-satunya suku di dunia ini yang menghargai trans gender ya Sulawesi Selatan. Di sini multikultur sejak dulu. Coba Anda bayangkan, seseorang yang kelaminnya “tidak lazim”, bahkan di banyak komunitas dipinggirkan, justru dihargai. Bissu jadi tokoh agama. Para Bissu adalah orang yang status sosialnya sangat tinggi. Kenapa demikian? Karena mereka dinilai adil, tidak memihak. Mereka dianggap bisa menjadi perantara kaum laki-laki dan kaum perempuan kepada Tuhan.
Apakah orang Islam menerima tradisi Bissu?
Orang Islam di sini membiarkan praktek seperti itu. Mereka bergaul tanpa ada prasangka apapun. Kecuali pada massa DI/TII. Pada masa itu para Bissu dihabisi. Juga pada masa Orde baru. Rezim menggelar “operasi tobat”. Orde Baru menganggap mereka menyimpang.
Bisa dijelaskan lebih jauh siapa itu Bissu?
Bissu adalah pendeta agama tradisional di kalangan masyarakat Bugis. Mereka ada yang Islam dan ada yang tidak. Yang tidak Islam ada di suku Tolotang di Sidrap dan Singka, serta agama Patungtung di Kajang, Bulukumba. Tak ada yang berubah meskipun mereka Islam. Islam dan kepercayaan lama melekat jadi satu. Mereka naik haji, tapi juga melaksanakan ajaran nenek moyangnya. Kalau orang Bugis merantau, orang tuanya pasti akan menasehati, “Nak, ingat yang diajarkan leluhur kita.” Bukan mengatakan, “Nak, ingat pesan Nabi.” Perilaku-perilaki mereka biasa disebut mapadua. Inilah satu bukti bahwa Islam di Sulawesi Selatan begitu kuat menyatu dengan adat, dengan ajaran sebelumnya.
Apakah pernah terjadi ketegangan antara Islam dengan adat?
Pernah. Dan sampai sekarang masih ada. Ormas Islam yang menggusur praktek-praktek keagamaan mereka. Tapi NU tidak. Orang NU suka sekali dengan kaum adat. Ada cerita bahwa di satu desa orangnya tidak mau masuk Islam, tidak mau mengikuti ajaran Muhammad, kecuali mereka mendengar burung-burung di gunung bersaut-sautan di pagi hari. Ini pesan para orang tua mereka. Ayah saya yang NU membuat suasana seperti yang mereka imajinasikan. Akhirnya mereka masuk Islam. Tapi Ormas Islam ini tidak melakukannya, karena dianggap tidak islami. Itulah sebabnya, Islam di sini berkembang, karena Islam di sini menerima ajaran nenek moyang mereka. Professor Cristian Peldrof membuat analogi menarik untuk orang Islam di Bugis. Dia bilang, “Orang Bugis itu di tangan kirinya sejarah masa lalu, sementara di tangan kanannya pembaharuan.”
Apa maksudnya?
Maksudnya adalah bahwa orang Bugis mau menerima nilai-nilai baru, asalkan nilai-nilai lamanya juga tetap berjalan. Orang Bugis terbuka menerima ajaran dari luar selagi ajaran nenek moyangnya bisa dipraktekkan.
Mana yang lebih unggul di antara “tangan kanan” dan “tangan kiri”?
Jangan salah. Di antara kedunya tak ada yang lebih unggul. Keduanya adalah harmoni. Harmoni di antara langit dan bumi, siang dan malam, kanan dan kiri. Ibu yang disebut Cristian Peldrof sebagai harmonisasi di antara dua yang berlawanan.
Apakah bisa disimpulkan agamawan yang selama ini garang dengan kaum adat adalah sikap a historis dengan dengan sejarah Islam Bugis di Sulawesi Selatan?
Kurang lebih begitu. Saya melihat orang-orang yang tidak ramah dengan adat di sini itu orang Islam yang Arab, bukan orang Islam yang Bugis. Ketidakramahan itu semakin menjadi-jadi ketika Orde Baru hanya mengakui lima agama saja. Orde Baru mendatangkan guru agama Hindu di sekolah, anak-anak ya tidak paham, mereka tidak menerima. Yang membuat kisruh itu mereka, Orde Baru dan Islam Arab. Kita di sini baik-baik saja. Contoh, orang Tolotang yang Islam dan yang tidak berbaur tanpa ada prasangka apapun. Identitasnya juga sama. Kalau Anda datang ke sekolah, Anda tidak bisa membedakan mana yang Islam dan mana yang bukan. Baju dan kerudung mereka sama. Mereka berbaur dalam upacara perkawinan, kematian, dan lain-lain. Yang membedakan mereka hanya rumahnya. Kalau tiang rumahnya bulat itu Tolotang, sementara yang Islam segi empat. Itu saja.
***
Apa yang melatarbelakangi Anda menulis skripsi, tesis dan disertasi tentang La Galigo?
Begini. Ibu saya seorang bangsawan Bugis. Ia hadir di tengah-tengah keluarga dengan segenap kebugisannya. Sementara ayah saya datang dari tradisi santri yang kental. Keduanya menyatu dan mempengaruhi kehidupan kami. Umpamanya, sewaktu kecil saya sering mendengar nenek saya mengaji kitab “Hikayat Nabi Bercukur”. Kitab itu dinyanyikan selepas shalat. Nada nyanyian itu persis seperti pembacaan La Galigo di rumah-rumah tiap malam Jumat. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa orang Bugis sulit melepas tradisinya, padahal tradisi baru (Islam, red.) sudah datang?
Kalau orang Bugis diperdengarkan kitab La Galigo, mereka bisa senyum-senyum, bisa menangis. Dan mereka kuat sampai tiga malam. Selebihnya ya karena saya ingin tahu secara mendalam La Galigo. Belum ada orang Bugis yang menuliskan sejarahnya sendiri.
Apa yang diajarkan La Galigo?
Kalau maksud pertanyaan Anda apakah La Galigo islami atau tidak. Jawabnya ada yang islami, ada yang tidak. Konsep ketuhanannya mungkin tidak islami. Mereka mempunyai dua dewa, dewa yang bermukin di atas langit dan dewa yang menempati bawah laut. Tapi konsep kejujuran, satunya kata dengan perbuatan, keadilan, sangat islami.
Apakah konsep ketuhanan juga dibaca oleh orang Islam? Apakah dipila-pilah?
Tidak. Tapi kalau orang Islam mendengarnya bisa tertegun. Entah itu artinya apa. La Galigo dibaca sesuai acaranya. Perkwainan beda dengan kematian, panen padi beda dengan pembacaan mengiringi orang mau merantau. Masing-masing ada babnya tersendiri.
Begini, orang Islam itu kalau dibawa ke nuansa Islam, maka seluruh dunianya Islam semua. Sikap yang sama juga ketika mereka masuk ke dunia adat, maka seluruhnya akan berubah, mereka masuk ke dunia adat dengan segala pernak-perniknya. Sikap seperti ini tidak hanya dilakukan orang Islam, juga mereka yang menganut Kristen.
Di antara ribuan baris yang ada di La Galigo, apa yang paling membuat Anda terkesan?
Tentu ada. Yang paling terkesan adalah soal bagaimana sikap orang ketika ada rintangan yang menghalang. Kira-kira isinya begini. “Apabila Engkau bertemu dengan kesulitan, bisa musuh atau apa saja yang menghadang perahu di tengah laut, belokkanlah perahumu tujuh kali. Kalau itu pun tak diberi jalan, maka hadapkanlah perahumu tujuh kali ke kiri. Kalau keduanya tidak diberi jalan, barulah engkau tempuh jalan kesulitan itu.”
Ini pesannya La Pananrang kepada anaknya, To Pananrang ketika mau berlayar ke China. Pesan ini yang sering saya kutip untuk menasehati anak muda. Janganlah Anda bertindak emosional kalau belum berpikir tujuh kali ke kanan dan tujuh kali ke kiri. Jadi empat belas kali. Coba Anda bayangkan, dalam dan bijaksana sekali nasihat itu. Saya yakin kalau kita melakukan nasihat itu, tidak ada kebrutalan apapun di sekitar kita.
sumber Nu.or.id
Dalam praktek keagamaan, oleh kelompok puritan, adat disingkirkan. Adat dinilai sebagai tidak pantas berdampingan agama. Adat manusia, agama Tuhan. Adat relatif, agama mutlak. Adat lokal, agama universal, dan seterusnya.
Bagaimana orang Bugis menerima agama? Bagaimana mereka mempraktekkan adat. Dan bagaimana pula mereka menjalani keduanya?
Hamzah Sahal dari NU Online telah mewawancarai Prof. Dr. Nurhayati Rahman beberapa waktu lalu di kantornya, Universitas Hasanudin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Sampai hari ini, Nurhayati adalah orang Bugis yang konsisten menyelami budayanya sendiri dengan cara akademik. Dari menulis skripsi, tesis, hingga disertasi, aktivis Muslimat NU Sulawesi Selatan ini menulis tentang La Galigo.
Empat ratus tahun lalu Islam sudah mendarat di sulawesi selatan. Artinya Islam juga sudah lama bergumul dengan Sulawesi Selatan lengkap dengan seluk-beluk keyakinan, kebudayaannya. Apakah Anda bisa memberi ilustrasi bagaimana keduanya bergerak?
Di sini ada sebuah sejarah lisan yang sangat terkenal dan popular di kalangan masyarakat pedesaan. Ada dialog antara Nabi Muhammad dan Sawere Gading (tokoh utama dalam agama tradisonal orang Bugis yang terdapat dalam karya sastra La Galigo, red). Diceritakan Nabi Muhammad bertemu dengan Sawere Gading. Keduanya berdebat dan beradu kesaktian.
Di sana diceritakan nabi Muhammad adalah seorang yang pandai berargumentasi dan juga sakti secara fisik. Nabi bisa berjalan di atas lautan tanpa alat bantu, dan mukjizat-mukjizat lain yang tidak dimiliki Sawere Gading. Karena Nabi Muhammad demikian sakti dan sempurna, akhirnya Sawere Gading menyerah kalah. Karena kalah, Sawere Gading menyerahkan semuanya kepada Muhammad. “Saya pergi saja. Saya akan kembali ke asalku. Dunia beserta isinya kuserahkan kepadamu, Muhammad. Terserah Engkau mau diapakan.” Begitu kira-kira ungkapan penyerahan Sawere Gading kepada Muhammad.
Apa makna cerita itu?
Yang penting dari cerita ini adalah bukan sahih atau tidak, tapi struktur berpikir orang yang bercerita, orang yang menciptakan cerita itu. Yang paling penting di sini adalah bagaiamana ulama dulu menjelaskan Islam masuk lewat pintu-pintu peradaban, lewat gerakan kultural, bukan kekuasaan, bukan Perda, apalagi kekerasan. Yang demikian ini, jauh lebih efektif. Jangan lupa, Perda juga bentuk interpretasi, hasil tafsiran seseorang. Jadi klaim bahwa Perda itu murni Al-Qur’an merupakan kebohongan luar biasa. Kita tahu Islam itu ada NU, Muhammadiyah, PERSIS, Ahmadiyah, Syi’ah, dan lain sebagainya.
Kalau faktanya demikian, aliran dan tafsir mana yang mau diperdakan, mana yang mau diformalkan? Oleh karena itulah sekarang kita melihat ada orang yang tidak setuju dengan Perda-perda Syari’at Islam. Kalau Islam diperdakan akan menjadi tunggal, yang akhirnya memihak kelompok tertentu. Pasti kan ada resistensi dari bawah, yaitu mereka yang merasa tafsir Islamnya tidak terakomodir. Ini salah satu problem penerapan Syari’at Islam.
Tadi disebutkan ada “Paradigma Lama” dan ada “Paradigma Baru”. Bisa dijelaskan lebih jauh?
Yang dimaksud ‘paradigma lama’ adalah kepercayaan tradisional orang Bugis. Kitab sucinya bernama La Galigo, nabinya Sawere Gading. Itulah tadi yang berdebat dengan Nabi Muhammad di puncak gunung. Sedangkan ‘paradigma baru’ itu agama Islam yang kita kenal sekarang ini, berkitab Al-Qur’an dan nabinya, Muhammad bin Abdullah.
Sejarah agama dan adat di Indonesia ini dipenuhi konflik panjang dan terjadi di mana-mana. Perang Padri adalah salah satu bukti nyata dari konflik antara adat dengan agama. bisakan Anda menjelaskan dalam konteks Sulawesi Selatan?
Saya ingin mengungkapkan bahwa kerajaan yang ada di sini begitu istimewa. Seorang raja bertahta bukan karena dia anak sebagaimana terjadi di Yogyakarta, Inggris, Jepang, Maroko, Arab Saudi, dan lain-lain, melainkan dipilih oleh Dewan Adat. Dewan ini berfungsi mirip dengan DPR. Selain Dewan Adat, agamawan juga terlibat dalam proses bernegara. Keduanya tidak ada yang diunggulkan di mata sang raja, keduanya berposisi sama, sederajat.
Apa yang ingin Anda tunjukkan?
Saya ingin mengatakan bahwa kehidupan yang rukun antara agama dengan adat pada waktu itu merupakan peran ulama atau imam yang cerdas membaca situasi lokal. Mereka cerdas dan kreatif dalam berdialog, bahkan sampai pada tingkat kehidupan sehari-hari yang sangat detail. Misalnya, sampai hari ini kita masih menjumpai pembacaan Al-Qur’an dan Barzanji bersamaan dengan pembacaan La Galigo pada upacara pernikahan, khitanan, ataupun kelahiran.
Atau misalkan lagi bagaimana ulama mengganti tradisi memberi makanan ke laut, disebut Mappano, karena mereka menganggap ada nenek moyang di sana, diganti dengan membawa ke masjid. Sedangkan membawa sesajen ke gunung, disebut Mappaenre, diganti dengan membawa makanan ke imam. Jadi, setelah masuk Islam Mappano berarti membawa makanan ke masjid, sedangkan Mappaenre ke rumah imam, tidak lagi ke laut atau ke gunung.
Tapi buktinya sekarang ada ketegangan antara kaum adat dengan agamawan?
Pengamatan saya, yang membuat adat dan agama tegang adalah kelompok Islam yang datang belakangan. Mereka menghukumi ritual yang saya sebut tadi syirik dan berbau bid’ah. Inilah yang membuat kisruh kehidupan beragama dan beradat rusak. Setelah masa kemerdekan, kehidupan masyarakat adat, yang di dalamnya juga masyarakat Islam, menjadi semakin runcing karena kebijakan politik yang tidak paham situasi masyarakat bawah.
Kesimpulannya, pengembangan Islam secara kultural jauh lebih cair dan nyaman bagi siapa saja. Beda halnya dengan cara-cara kekuasaan, Perda dan segala macamnya. Ada satu kreativitas lagi yang membuat saya kagum dengan ulama dulu. Dalam fiqih, orang zina muhshan kan harus dirajam. Tapi ulama dulu di sini tidak melakukan itu. Ulama di sini menghukum orang berzina dengan Malawong, di-lawoni, diberi kain kafan. Pezina dimandikan, dikafani, dibacakan talqin, lalu dibuang ke laut. Maaf, bukan berarti saya membetulkan cara-cara seperti ini, tapi yang saya suka mereka telah berkreasi, tidak menjiplak mentah-mentah, meskipun datang dari ajaran agama.
Contoh lagi, soal pembagian waris. Dalam kewarisan, orang Bugis itu menganut persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan. Saya tidak membayangkan seperti apa resistennya mereka jika dikatakan bahwa dalam Islam, bagiannya perempuan hanya setengah dari laki-laki. Karena nilai waris di Bugis begitu kuat, ulama tidak mengatakan mentah-mentah aturan Al-Qur’an. Ulama bugis lalu mengatakan malempa orane, ma’junjung makunrae. Maksudnya laki-laki memikul (dapat dua), sementara wanita membawa barang di kepalanya cuma satu.. masih banyak contoh-contoh bagaimana ulama memperkenalkan islam di tanah bugis. Mereka memperkenalkan syari’at lewat jendela kultur, tidak dengan kekerasan, tidak dengan perang, tidak juga dengan pemaksaan dari atas. Memang islamisasi di sulawesi selatan ini lewat istilah jihad, tapi sudah dimaknai lain, yaitu siri, penegakan harga diri, martabat, dan rasa malu. Jadi islam ditegakkan melalui siri.
Apakah maksudnya jihad itu berarti bukan al-qital?
Ada juga yang berarti al-qital. Tapi imajinasi perang dalam jihad tidak sekuat makna lain.
Apa bisa disimpulkan bahwa Islam menerima adat?
Saya ingat. Ayah saya bergaul dengan para Bissu, pendeta dalam agama tradisonal. Kalau kita pergi ke kampung-kampung di acara perkawinan, yang mendandani kan para Bissu. Satu-satunya suku di dunia ini yang menghargai trans gender ya Sulawesi Selatan. Di sini multikultur sejak dulu. Coba Anda bayangkan, seseorang yang kelaminnya “tidak lazim”, bahkan di banyak komunitas dipinggirkan, justru dihargai. Bissu jadi tokoh agama. Para Bissu adalah orang yang status sosialnya sangat tinggi. Kenapa demikian? Karena mereka dinilai adil, tidak memihak. Mereka dianggap bisa menjadi perantara kaum laki-laki dan kaum perempuan kepada Tuhan.
Apakah orang Islam menerima tradisi Bissu?
Orang Islam di sini membiarkan praktek seperti itu. Mereka bergaul tanpa ada prasangka apapun. Kecuali pada massa DI/TII. Pada masa itu para Bissu dihabisi. Juga pada masa Orde baru. Rezim menggelar “operasi tobat”. Orde Baru menganggap mereka menyimpang.
Bisa dijelaskan lebih jauh siapa itu Bissu?
Bissu adalah pendeta agama tradisional di kalangan masyarakat Bugis. Mereka ada yang Islam dan ada yang tidak. Yang tidak Islam ada di suku Tolotang di Sidrap dan Singka, serta agama Patungtung di Kajang, Bulukumba. Tak ada yang berubah meskipun mereka Islam. Islam dan kepercayaan lama melekat jadi satu. Mereka naik haji, tapi juga melaksanakan ajaran nenek moyangnya. Kalau orang Bugis merantau, orang tuanya pasti akan menasehati, “Nak, ingat yang diajarkan leluhur kita.” Bukan mengatakan, “Nak, ingat pesan Nabi.” Perilaku-perilaki mereka biasa disebut mapadua. Inilah satu bukti bahwa Islam di Sulawesi Selatan begitu kuat menyatu dengan adat, dengan ajaran sebelumnya.
Apakah pernah terjadi ketegangan antara Islam dengan adat?
Pernah. Dan sampai sekarang masih ada. Ormas Islam yang menggusur praktek-praktek keagamaan mereka. Tapi NU tidak. Orang NU suka sekali dengan kaum adat. Ada cerita bahwa di satu desa orangnya tidak mau masuk Islam, tidak mau mengikuti ajaran Muhammad, kecuali mereka mendengar burung-burung di gunung bersaut-sautan di pagi hari. Ini pesan para orang tua mereka. Ayah saya yang NU membuat suasana seperti yang mereka imajinasikan. Akhirnya mereka masuk Islam. Tapi Ormas Islam ini tidak melakukannya, karena dianggap tidak islami. Itulah sebabnya, Islam di sini berkembang, karena Islam di sini menerima ajaran nenek moyang mereka. Professor Cristian Peldrof membuat analogi menarik untuk orang Islam di Bugis. Dia bilang, “Orang Bugis itu di tangan kirinya sejarah masa lalu, sementara di tangan kanannya pembaharuan.”
Apa maksudnya?
Maksudnya adalah bahwa orang Bugis mau menerima nilai-nilai baru, asalkan nilai-nilai lamanya juga tetap berjalan. Orang Bugis terbuka menerima ajaran dari luar selagi ajaran nenek moyangnya bisa dipraktekkan.
Mana yang lebih unggul di antara “tangan kanan” dan “tangan kiri”?
Jangan salah. Di antara kedunya tak ada yang lebih unggul. Keduanya adalah harmoni. Harmoni di antara langit dan bumi, siang dan malam, kanan dan kiri. Ibu yang disebut Cristian Peldrof sebagai harmonisasi di antara dua yang berlawanan.
Apakah bisa disimpulkan agamawan yang selama ini garang dengan kaum adat adalah sikap a historis dengan dengan sejarah Islam Bugis di Sulawesi Selatan?
Kurang lebih begitu. Saya melihat orang-orang yang tidak ramah dengan adat di sini itu orang Islam yang Arab, bukan orang Islam yang Bugis. Ketidakramahan itu semakin menjadi-jadi ketika Orde Baru hanya mengakui lima agama saja. Orde Baru mendatangkan guru agama Hindu di sekolah, anak-anak ya tidak paham, mereka tidak menerima. Yang membuat kisruh itu mereka, Orde Baru dan Islam Arab. Kita di sini baik-baik saja. Contoh, orang Tolotang yang Islam dan yang tidak berbaur tanpa ada prasangka apapun. Identitasnya juga sama. Kalau Anda datang ke sekolah, Anda tidak bisa membedakan mana yang Islam dan mana yang bukan. Baju dan kerudung mereka sama. Mereka berbaur dalam upacara perkawinan, kematian, dan lain-lain. Yang membedakan mereka hanya rumahnya. Kalau tiang rumahnya bulat itu Tolotang, sementara yang Islam segi empat. Itu saja.
***
Apa yang melatarbelakangi Anda menulis skripsi, tesis dan disertasi tentang La Galigo?
Begini. Ibu saya seorang bangsawan Bugis. Ia hadir di tengah-tengah keluarga dengan segenap kebugisannya. Sementara ayah saya datang dari tradisi santri yang kental. Keduanya menyatu dan mempengaruhi kehidupan kami. Umpamanya, sewaktu kecil saya sering mendengar nenek saya mengaji kitab “Hikayat Nabi Bercukur”. Kitab itu dinyanyikan selepas shalat. Nada nyanyian itu persis seperti pembacaan La Galigo di rumah-rumah tiap malam Jumat. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa orang Bugis sulit melepas tradisinya, padahal tradisi baru (Islam, red.) sudah datang?
Kalau orang Bugis diperdengarkan kitab La Galigo, mereka bisa senyum-senyum, bisa menangis. Dan mereka kuat sampai tiga malam. Selebihnya ya karena saya ingin tahu secara mendalam La Galigo. Belum ada orang Bugis yang menuliskan sejarahnya sendiri.
Apa yang diajarkan La Galigo?
Kalau maksud pertanyaan Anda apakah La Galigo islami atau tidak. Jawabnya ada yang islami, ada yang tidak. Konsep ketuhanannya mungkin tidak islami. Mereka mempunyai dua dewa, dewa yang bermukin di atas langit dan dewa yang menempati bawah laut. Tapi konsep kejujuran, satunya kata dengan perbuatan, keadilan, sangat islami.
Apakah konsep ketuhanan juga dibaca oleh orang Islam? Apakah dipila-pilah?
Tidak. Tapi kalau orang Islam mendengarnya bisa tertegun. Entah itu artinya apa. La Galigo dibaca sesuai acaranya. Perkwainan beda dengan kematian, panen padi beda dengan pembacaan mengiringi orang mau merantau. Masing-masing ada babnya tersendiri.
Begini, orang Islam itu kalau dibawa ke nuansa Islam, maka seluruh dunianya Islam semua. Sikap yang sama juga ketika mereka masuk ke dunia adat, maka seluruhnya akan berubah, mereka masuk ke dunia adat dengan segala pernak-perniknya. Sikap seperti ini tidak hanya dilakukan orang Islam, juga mereka yang menganut Kristen.
Di antara ribuan baris yang ada di La Galigo, apa yang paling membuat Anda terkesan?
Tentu ada. Yang paling terkesan adalah soal bagaimana sikap orang ketika ada rintangan yang menghalang. Kira-kira isinya begini. “Apabila Engkau bertemu dengan kesulitan, bisa musuh atau apa saja yang menghadang perahu di tengah laut, belokkanlah perahumu tujuh kali. Kalau itu pun tak diberi jalan, maka hadapkanlah perahumu tujuh kali ke kiri. Kalau keduanya tidak diberi jalan, barulah engkau tempuh jalan kesulitan itu.”
Ini pesannya La Pananrang kepada anaknya, To Pananrang ketika mau berlayar ke China. Pesan ini yang sering saya kutip untuk menasehati anak muda. Janganlah Anda bertindak emosional kalau belum berpikir tujuh kali ke kanan dan tujuh kali ke kiri. Jadi empat belas kali. Coba Anda bayangkan, dalam dan bijaksana sekali nasihat itu. Saya yakin kalau kita melakukan nasihat itu, tidak ada kebrutalan apapun di sekitar kita.
sumber Nu.or.id