Bersembunyi dalam Bewak
Rakyat di
perdesaan Jawa Barat pernah mengalami masa kelam. Penuh tumpahan darah dan air mata. Masa kekacauan bersenjata, yang menimbulkan korban harta dan jiwa. Antara th.1949-1962 muncul gerakan D/TII yang mengusung cita-cita pembentukan Negara Islam Indonesia, dengan menggunakan kekerasan, berhadapan dengan TNI dan rakyat yang mencintai NKRI. H.Usep Romli HM, wartawan senior, juga sastrawan Sunda peraih dua kali penghargaan Rancage (2010 dan 2011), menuliskan pengalaman masa kecil hidup di tengah-tengah konflik tersebut. Ia yang sejak kanak-kanak hingga usia tua sekarang,tetap tinggal di pedesaan Kec.Cibiuk, Kab.Garut, menurunkan tiga serial tulisan mengenai suka-duka zaman gorombolan itu.
Ribut-ribut soal Negara Islam Indonesia (NII), pikiran melayang ke masa kanak-kanak th.1960-an. Ketika di Jawa Barat berkecamuk gangguan keamanan, akibat ulah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Gn. Sawal, Kab. Ciamis, 7 Agustus 1949. NII disebut Darul Islam (Negara Islam). Sedangkan Republik Indonesia dituduh Darul Harbi. Negara musuh, karena menggunakan dasar negara bukan Islam. Karena itu, wajib diperangi, dimusnahkan. Jika ingin selamat, penduduk RI harus pindah ke DI, yang juga disebut Darussalam (Negara Keselamatan).
Untuk melaksanakan cita-citanya, DI membentuk pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Terjadilah bentrok selama 13 tahun terus-menerus, antara TNI dibantu rakyat, dengan TII yang sering menyerang ke kampung dan desa. Membakar rumah, membunuh penduduk sipil, dan merampas harta benda, untuk di bawa ke markas-markas mereka di hutan dan gunung.
Salah satu daerah terparah oleh serangan DI/TII adalah desa Cibugel, Kec. Darmaraja. Kab. Sumedang tahun 1959. Lebih dari seratus penduduk setempat terbunuh secara kejam.
Sejak gorombolan (sebuatan untuk pasukan DI/TII), meranjah pekampungan dan pedesaan Tatar Sunda, timbul bermacam rumor sarkastis, yang menggambarkan kepedihan penduduk, derita hidup di bawah ancaman peluru. Yang berperang adalah TNI melawan DI/TII, tapi yang menjadi korban, pasti rakyat kecil. Ibarat gajah bertarung dengan gajah,pelanduk mati di tengah-tengah. Yang berseteru karena perbedaan ideologi negara, adalah Bung Karno (Ir.Soekarno, presiden RI), melawan Mas Karto (SM Kartosuwiryo, Imam/Panglima Tertinggi DI/TII), tapi yang sengsara luar biasa adalah Mang Karna dan Kang Karta, orang pedesaan lugu sederhana yang tak tahu apa-apa.
Juga muncul istilah kongres. Singkatan dari ka hareup nyokong, ka tukang beres. Artinya, kepada tentara (RI) membantu, kepada gorombolan pun, membantu pula. Jika tidak begitu, tewaslah sudah. Jika menampakkan wajah merengut ketika ada TNI patroli, pasti dituding sebagai antek DI. Jika kikir tak memenuhi permintaan DI, berupa faÃi (iuran wajib), pasti akan dianggap pro-TNI. Maka terpaksalah pasang dua wajah. Siang membantu TNI, malam mendukung DI.
Jika malam hari ada gorombolan menyerang, rakyat harus siap-siap menghindar. Tinggalkan rumah. Bawa barang seperlunya, seperti pakaian. Masuk ke dalam bewak. Yaitu lubang cukup besar, sedalam kl.1,5 meteran, letaknya tersembunyi, agar jauh dari rumah. Di satu kampung, biasanya ada 4 atau 5 bewak. Begitu terdengar bunyi tembakan pertama, langsung orang-orang kampung berhamburan masuk bewak terdekat.
Di situ terbilang aman, daripada sembunyi di rumah.Siapa tahu rumah dibakar. Atau ada peluru nyasar menembus dinding yang rata-rata terbuat dari anyaman bambu alias bilik.
Tidak terpikir kemungkinan ada gorombolan menyeranga bewak. Sebab belum pernah ada kejadia semacam itu. Mungkin gorombolan terlalu sibuk bertempur dengan tentara.Atau sibuk mengumpulkan "ghonimah, hasil rampasan dari penduduk. Sehingga tak terpikir di benak mereka untuk menyerang bewak.
Justru pernah terjadi, orang meninggal di dalam bewak bukan karena terkena peluru gorombolan. Melainkan dipatuk ular belang. Persi bagian pahanya. Mengerang kesakitan beberapa jam, tanpa ada yang mamp menolong. Bagaimana dapat menolong? Di luar sana baku tembak sedang berkecamuk. Apalagi tak seorang pun tahu ada yang dipatuk ular. Maklum gelap gulita dan semua orang mencoba ngadedempes. Tak ada yang berani bicara sepatah katapun selain bunyi bibir membaca doÃa dan wirid agar selamat mendapat perlindungan Allah SWT. Pagi-pagi baru ketahuan, korban meninggal. Ular belang yang mematuknya masih menempel di paha korban.
Ada pula kejadian menggelikan sekaligus meyebalkan. Semua orang berloncatan ke dalam bewak karena tiba-tiba ada serangan mendadak. Beberapa jenak kemudian, di tengah bau kepulan mesiu dan benda hangus terbakar dari rumah-rumah yang mulai menyala-nyala, tercium bau kotoran manusia. Menyengat karena sumbernya dekat. Semua sibuk, bertanya-tanya dengan bisik-bisik. naheun kitu. Lain hitut nu ukur sahiek. Da ieu mah kebel jeung beda.
Akhirnya ada yang mengaku.Seorang lelaki separuh baya. Ia tadi sedang jongkok di pacilingan (WC sederhana di atas kolam), ketika tembakan pertama berbunyi. Tanpa ingat apa-apa, ia langsung berdiri. Lari ke bewak. Dan menyebar sesuatu yang tidak mengenakkan penciuman semua orang. Apalagi di tempat sempit dan sesak begitu.
Apa boleh buat. Semua terpaksa bertahan semalaman di tengah ancaman ketakutan dan siksaan sampingan lainnya yang kadang tak lazim. Derita itu baru berakhir, setelah gorombolan bertekuk-lutut menghadapi gerakan Pager Bitis, sebuah kerjasama yang indah dan harmonis antara rakyat dengan Divisi Siliwangi dalam memulihkan keamanan di Jawa Barat. Apalag setelah SM Kartosuwiryo tertangkap hidup-hidup di Gn.Rakutak, Majalaya, oleh pasukan Batalyon 328/Kujang 2 Siliwangi, pimpinan Letda Suhanda. Rakyat kembali merasa aman dan nyaman, menikmati malam-malam di rumah, tanpa harus smbunyi dalam bewak dengan risiko dipatuk ular atau mengisap bau sengak orang tak cebok
Sumber www.klik-galamedia.com//indexrubrik.php?idkolom=kisah