Oleh : Agustiar Nur Akbar
Sebagai seorang muslim tentu kita tahu siapa Tuhan kita. Siapa yang menciptakan kita. Siapa yang pantas kita sembah. Dan juga mengatahui penghambaan kita untuk siapa. Serta kita ini adalah hamba siapa.
Namun tahukah engkau wahai saudaraku? Sesungguhnya secara sadar tidak sadar, kita telah menjadi hamba selain Allah SWT. Mau tidak mau kita sudah termasuk orang yang menuhankan tuhan selain Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Esa, Allah SWT. Yang kita tuhankan ini bisa juga disebut berhala modern. Sehingga kita seringkali terjerumus dan terjatuh dalam penghambaan kepadanya. Secara tidak sadar dan sadar, kita telah menyembahnya, menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada tuhan ini. Kita rela melakukan apapun demi tuhan yang tidak layak kita sembah ini.
Materi dan duniawi beserta segala macam isinya seperti popularitas, wibawa, jabatan, dan lain sebagainya. Itu semua adalah tuhan yang kita sembah selain Allah SWT. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah hamba-hamba dinar, dirham, dan kain beludru. Jika diberi ia rela dan jika tidak diberi ia tidak rela”. (H.R Bukhari).
Imam Shon’ani dalam Subulu as Salam syarah Bulughu al-Maram menjelaskan. Bahwasanya yang dimaksud dengan hamba dinar dan dirham adalah orang yang menghambakan dirinya kepada duniawi. Ketika ia mencari dunia seolah ia adalah hamba dari dunia itu dan dunia adalah sang raja-nya. Serta ia telah benar-benar tenggelam kepada syahwat duniawinya.
Beliau juga menambahkan. Bahawasanya yang tercela dari dunia adalah ketika seorang hamba telah menenggelamkan dan menyibukan dirinya untuk dunia. Sehingga ia melupakan kewajibannnya kepada Allah SWT. Dzat yang lebih berhak diutamakan dari apapun dan siapapun.
Marilah kita renungkan bersama akan hal ini wahai saudaraku! ‘abdullah artinya hamba Allah, menuhankan Allah SWT. Dari sini kita bisa juga maknai. Bahwasanya ‘abdu ad-dirham dan ‘abdu ad-dinar, hamba dirham dan hamba dinar. Orang yang menuhankan dirham serta dinar. Dimana dirham dan dinar adalah perlambang dari materi atau duniawi. Ini seperti yang diisyaratkan Imam Shon’ani. Namun ia tidak sampai jatuh pada hukum syirik.
Ketika kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi. Ketika kita tidak menghiraukan status harta itu. Apakah ia syubhat, haram, atau halal. Yang penting kita mendapatkannya. Bukankah itu sudah termasuk dari penghambaan kepada materi? Menyerahkan diri, melakukan apapun demi materi.
Ketika kita berusaha meraih popularitas, dan berusaha mempertahankannya mati-matian. Bahkan tak jarang menempuh jalan mistik yang tidak seharusnya. Dan juga membahayakan diri sendiri dengan konskuensinya. Bahkan tak jarang demi popularitas rela merendahkan diri dengan mengobral aurat misalnya. Atau memperdagangkan diri secara langsung dan tidak langsung. Bukankah itu berati kita sudah menghambakan diri kita untuk pupolaritas, duniawi? Serta mengalahkan Allah SWT Dzat Yang Maha Agung dengan segala aturannya yang sempurna?
Penulis adalah sahabat Republika Online yang tengah menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo
sumber : www.republika.co.id