Berbagai kalangan bicara masyarakat Bandung mulai ramai kembali membicarakan soal kotoran sapi yang mencemari Sungai Cikapundung dan Pemerintah Kota Bandung ikut bicara bahwa tindakan sekelompok petani sapi yang membuang kotoran sapi ke Sungai Cikapundung kurang terpuji dan sangat merugikan masayarakat. Karena, sebagian besar dari 3,2 juta penduduk Kota Bandung memanfaatkan Sungai Cikapundung untuk kepentingan sehari-hari setelah dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Wening.
Pengurus perkumpulan peternak sapi juga ikut angkat bicara . Mereka meminta agar Pemkot Bandung tidak mudah mempersalahkan mereka sebagai biang pencemaran air Sungai Cikapundung. Bagaimanapun, para peternak sapi memberi kontribusi yang tidak sedikit dalam pembuatan pupuk organik, setidaknya bahan baku sangat berlimpah.
Itu ieu keukeuh. Itu ieu ngarasa bener. Pemerintah merasa benar berkewajiban untuk menjaga kebersihan air Cikapundung yang digunakan oleh khalayak. Peternak juga merasa benar karena mereka juga mempunyai umbangsih yang tidak sedikit untuk pembuatan pupuk. Meski ada segelintir orang yang membuang kotoran ke sungai, mereka tidak mau digeneralisasi sebagai biang pencemaran.
Saya pikir persoalan kototran sapi ini sudah sempat mencuat, menjadi perbincangan publik, tetapi kemudian meredup dan ngabuntut bangkong alias teu puguh gula hideungna. Orang-orang membicarakannya hanya sekedar untuk menaikkan suhu politik, popularitas, atau mungkin kepentingan sesaat.
Terlepas dari apa pun bentuknya, permasalahan lingkungan memang harus menjadi perhatian yang serius. Bukan hanya pencemaran air, tapi juga pencemaran tanah, pecemaran udara, dan bahkan pencemaran keindahan kota (seperti PKL dan bangunan liar). Alasannya aangat klasik memang. Kebutuhan ekonomi sering dijadikan tameng untuk menjustifikasi perbuatan melanggar hukum, di samping lambannya tindakan dari pemerintah. Harus diakui bahwa pemerintah sering membiarkan bibit masalah tumbuh menjadi besar. Setelah besar baru ada tindakan. Tentu saja menjadi tidak efektif karena membutuhkan waktu, tenaga, dan dana yang banyak. Pemerintah harus berhdapan dengan "kekuatabn besar" yang semula sebetulnya tidak mempunyai kekuatan apa pun. Contoh bangunan liar dan PKL. Jika sewaktu masih satu dua segera ditindak, maka tidak akan menjadi masalah. Sayangnya, tindakan baru datang setelah mereka tumbuh menjadi besar. Demikian pula soal kotoran sapi.
Hal yang tidak kalah pentingnya; dan ini yang paling sulit, menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya hidup teratur dan hidup sehat. Setiap orang berhak hidup dan dijamin oleh undang-undang, tetapi tidak boleh ada urusan hak pribadi yang bertabrakan dengan dan merugikan orang banyak.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan, sikap egois yang tak memedulikan orang lain, memandang enteng aturan, dan minimnya keteladanan serta kurang tegasnya pemerintah menjadi pemicu lahirnya pelanggaran, baik dalam skala kecil maupun sekala besar.
Jadi, mulailah dari pribadi masing-masing. Mencoba berjuang untuk melawan egoisme, melawan ketidakpedulian pada lingkungan dengan kekuatan tekad untuk hidup sehat, hidup teratur, dan hidup maslahat. Berpikirlah bahwa orang lain pun sama dengan kita : butuh air, udara, dan lingkungan yang sehat. Tuntutlah hak kita, tapi kerjakan pula kewajiban kita!
Oleh: NANA SUKMANA
Apa itu Progressive Web Apps?
8 years ago