SEJAK ribuan tahun yang silam, Cina sudah dikenal sebagai surga budaya dan ilmu pengetahuan. Demikian banyak kisah dan bukti historis dalam berbagai literatur yang menyimpan kemilau kekayaan itu.
Begitu termasyurnya, negeri tirai bambu itu dijadikan sebagai ungkapan kiblat pusat pembelajaran oleh Nabi Muhammad saw. Melalui hadis itu, Nabi Muhammad saw bermaksud mendorong Muslimin untuk berjuang keras dalam mencari ilmu, meskipun hal itu tidak berpretensi untuk menunjukkan keutamaan negeri panda itu dalam makna yang harfiah.
"Etos Budaya Cina" merupakan buku yang ingin mengajak pembacanya untuk berwisata ke ke dalaman oasis kekayaan budaya negeri itu. Di dalam buku tersebut berjajar serangkaian esai yang isinya sebagian besar menunjukkan landasan dan keragaman kekayaan budaya Cina dalam berbagai segi, terutama yang terdapat di dalam literatur dan artefak klasik. Bagian awal dari buku ini mengangkat beberapa esai yang menyatakan bahwa Cina, berdasarkan ajaran Konfusius, sangat menghargai alam. Keping menandaskan tiga konsep penting berikut, yaitu (1) tiandi atau alam, (2) tiandao atau jalan Tuhan, dan (3) tianxia sebagai negeri di kolong langit atau dunia. Itulah yang disebut sebagai konsep "kesatuan langit dan manusia" atau tian ren he yi. Dalam konsep tersebut, alam dianggap sebagai makhluk hidup dengah beragam emosi.
Benda-benda alam dianggap sebagai organ tubuhnya. Kehidupan manusia di muka bumi harus mementingkan kelestarian alam. Jika alam tidak diperlakukan dengan baik, ia akan berbalik menyerang manusia. Filosofi tersebut tampaknya telah terbukti pada setiap generasi. Banyaknya bencana alam murni disebabkan karena perilaku manusia yang tidak lagi memedulikan alam di sekitarnya.
Konsep kehidupan lain dalam budaya Cina juga dikaitkan dengan makna artefak. Pagoda misalnya. Bangunan unik berbentuk kerucut yang semakin menyempit di bagian atasnya ini bukan sembarang bangunan.
Pagoda dibangun dengan beberapa tingkatan. Setiap tingkatan memiliki makna yang berbeda. Bagian bawah bangunan menngusung makna kehidupan manusia yang liar, penuh intrik, dan nafsu. Oleh karena itu, ia harus berusaha meningkatkan diri untuk membangun mentalnya yang digambarkan pada tingkatan kedua dan selanjutnya. Semakin tinggi tingkatan bangunan tersebut, makna keduniawiannya semakin berkurang. Akhirnya berujung pada kehidupan ruhani semata yang serbabersih.
Harmonisasi kehidupan alam tersebut juga banyak diungkapkan dalam literatur-literatur Cina, di antaranya dalam sebuah karya sastra berupa puisi dan fabel klasik. Sebuah puisi klasik yang mengusung makna tersebut berbunyi sebagai berikut: //Dao Langit menyerupai tarikan busur/ Saat senarnya kencang, tekanlah ke bawah./ Saat arahnya rendah, bidikkanlah ke atas/ Saat tarikannnya berlebihan, longgarkanlah/ Saat tidak mencukupi, lengkapilah/ Dan Langit mengurangi apa pun yang berlebihan/ Dan melengkapi apa pun yang tidak mencukupi/ Dan Langit menguntungkan semua makhluk dan tidak menimbulkan kerusakan....//
Puisi tersebut mengingatkan manusia untuk tidak gentar menghadapi kehidupan, tidak meragukan kekuasaan di atas langit (Tuhan), dan ajuran kepada mereka untuk bersikap adil dan sabar. Sementara itu, dalam beberapa fabel yang diangkat dalam buku tersebut, juga diusung sederetan nasihat kehidupan yang dalam agar manusia tidak tergerus oleh godaan hidup.
Selain itu, buku tersebut juga mengangkat fenomena benturan sekaligus perkawinan paradigma lama dan baru dalam budaya Cina. Negeri tersebut juga tidak terlepas dari serangan gelombang globalisasi. Ilmuilmu pengetahuan dari luar diserap dalam setumpuk besar buku-buku terjemahan serta adanya peningkatan jumlah cendekiawan di negeri itu. Etos Budaya Cina mengajak pembaca untuk menuju suatu cermin keyakinan, untuk mengamini beberapa landasan yang menyebabkan negeri dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia itu mampu menjadi salah satu raksasa industri di dunia dan peraih prestasi di dalam beberapa bidang kehidupan. (Resti Nurfaidah, staf teknis Balai Bahasa Bandung, peminat buku)**
Galamedia Kamis, 17 November 2011
Begitu termasyurnya, negeri tirai bambu itu dijadikan sebagai ungkapan kiblat pusat pembelajaran oleh Nabi Muhammad saw. Melalui hadis itu, Nabi Muhammad saw bermaksud mendorong Muslimin untuk berjuang keras dalam mencari ilmu, meskipun hal itu tidak berpretensi untuk menunjukkan keutamaan negeri panda itu dalam makna yang harfiah.
"Etos Budaya Cina" merupakan buku yang ingin mengajak pembacanya untuk berwisata ke ke dalaman oasis kekayaan budaya negeri itu. Di dalam buku tersebut berjajar serangkaian esai yang isinya sebagian besar menunjukkan landasan dan keragaman kekayaan budaya Cina dalam berbagai segi, terutama yang terdapat di dalam literatur dan artefak klasik. Bagian awal dari buku ini mengangkat beberapa esai yang menyatakan bahwa Cina, berdasarkan ajaran Konfusius, sangat menghargai alam. Keping menandaskan tiga konsep penting berikut, yaitu (1) tiandi atau alam, (2) tiandao atau jalan Tuhan, dan (3) tianxia sebagai negeri di kolong langit atau dunia. Itulah yang disebut sebagai konsep "kesatuan langit dan manusia" atau tian ren he yi. Dalam konsep tersebut, alam dianggap sebagai makhluk hidup dengah beragam emosi.
Benda-benda alam dianggap sebagai organ tubuhnya. Kehidupan manusia di muka bumi harus mementingkan kelestarian alam. Jika alam tidak diperlakukan dengan baik, ia akan berbalik menyerang manusia. Filosofi tersebut tampaknya telah terbukti pada setiap generasi. Banyaknya bencana alam murni disebabkan karena perilaku manusia yang tidak lagi memedulikan alam di sekitarnya.
Konsep kehidupan lain dalam budaya Cina juga dikaitkan dengan makna artefak. Pagoda misalnya. Bangunan unik berbentuk kerucut yang semakin menyempit di bagian atasnya ini bukan sembarang bangunan.
Pagoda dibangun dengan beberapa tingkatan. Setiap tingkatan memiliki makna yang berbeda. Bagian bawah bangunan menngusung makna kehidupan manusia yang liar, penuh intrik, dan nafsu. Oleh karena itu, ia harus berusaha meningkatkan diri untuk membangun mentalnya yang digambarkan pada tingkatan kedua dan selanjutnya. Semakin tinggi tingkatan bangunan tersebut, makna keduniawiannya semakin berkurang. Akhirnya berujung pada kehidupan ruhani semata yang serbabersih.
Harmonisasi kehidupan alam tersebut juga banyak diungkapkan dalam literatur-literatur Cina, di antaranya dalam sebuah karya sastra berupa puisi dan fabel klasik. Sebuah puisi klasik yang mengusung makna tersebut berbunyi sebagai berikut: //Dao Langit menyerupai tarikan busur/ Saat senarnya kencang, tekanlah ke bawah./ Saat arahnya rendah, bidikkanlah ke atas/ Saat tarikannnya berlebihan, longgarkanlah/ Saat tidak mencukupi, lengkapilah/ Dan Langit mengurangi apa pun yang berlebihan/ Dan melengkapi apa pun yang tidak mencukupi/ Dan Langit menguntungkan semua makhluk dan tidak menimbulkan kerusakan....//
Puisi tersebut mengingatkan manusia untuk tidak gentar menghadapi kehidupan, tidak meragukan kekuasaan di atas langit (Tuhan), dan ajuran kepada mereka untuk bersikap adil dan sabar. Sementara itu, dalam beberapa fabel yang diangkat dalam buku tersebut, juga diusung sederetan nasihat kehidupan yang dalam agar manusia tidak tergerus oleh godaan hidup.
Selain itu, buku tersebut juga mengangkat fenomena benturan sekaligus perkawinan paradigma lama dan baru dalam budaya Cina. Negeri tersebut juga tidak terlepas dari serangan gelombang globalisasi. Ilmuilmu pengetahuan dari luar diserap dalam setumpuk besar buku-buku terjemahan serta adanya peningkatan jumlah cendekiawan di negeri itu. Etos Budaya Cina mengajak pembaca untuk menuju suatu cermin keyakinan, untuk mengamini beberapa landasan yang menyebabkan negeri dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia itu mampu menjadi salah satu raksasa industri di dunia dan peraih prestasi di dalam beberapa bidang kehidupan. (Resti Nurfaidah, staf teknis Balai Bahasa Bandung, peminat buku)**
Galamedia Kamis, 17 November 2011