Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Kota Bandung terus berupaya menurunkan angka konsumsi beras masyarakat, sesuai dengan target nasional sebesar 1,5 persen setiap tahunnya. Meski demikian, untuk Kota Bandung, angka konsumsi beras hingga saat ini masih belum diketahui dan masih dihitung Badan Pusat Statistik (BPS).
Kabid Ketahanan Pangan Dewan Ketahanan Pangan Kota Bandung, Betty Wargadinata menuturkan, angka konsumsi beras untuk masyarakat Kota Bandung saat ini memang masih belum ada. Hal itu tidak terlepas dari baru dibentuk dan eksisnya ketahanan pangan, setelah disatukan dengan Dinas Pertanian.
Namun ia menilai, angkanya tidak akan jauh berbeda dengan angka konsumsi beras masyarakat Jabar, yang mencapai 125 kg/jiwa/tahun. Angka tersebut masih tergolong tinggi dibandingkan negara lain.
"Kita masih belum punya data, masih dalam penghitungan BPS. Mudah-mudahan akhir tahun ini sudah muncul angkanya," kata Betty ketika ditemui di sela kegiatan Sidang Dewan Ketahanan Pangan Kota Bandung, di Hotel Golden Flower, Jln. Asia Afrika, Selasa (15/11).
Ia menambahkan, angka konsumsi beras secara nasional cukup tinggi, yaitu 139 kg/jiwa/tahun. Angkanya jauh di bawah Jepang yang hanya 60 kg/jiwa/tahun dan Vietnam yang hanya 70 kg/jiwa/tahun. Di sisi lain, kondisi lahan persawahan di Indonesia terus berkurang dan berkaitan dengan menurunnya pula produksi beras.
"Melihat kondisi itulah pemerintah pusat menargetkan penurunan konsumsi beras per tahun sebesar 1,5 persen. Ini juga harus menjadi perhatian daerah. Kota Bandung sendiri mulai melakukan berbagai program untuk mendukung target yang ditetapkan pemerintah pusat," terangnya.
Program yang akan dilakukan untuk mendukung penurunan konsumsi beras, di antaranya program sehari tanpa nasi serta penganekaragaman makanan lokal. Bahkan menurut Betty, untuk mendukung hal itu Pemkot Bandung sudah mengeluarkan Perwal di tahun 2011, tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Lokal.
Yang dimaksud dengan percepatan penganekaragaman pangan lokal, yaitu mensosialisasikan kepada masyarakat untuk lebih banyak mengonsumsi makanan lokal. Tentunya, pangan lokal yang dikonsumsi non beras dan terigu atau lebih banyak berasal dari umbiumbian. Diharapkan dengan meningkatkan konsumsi pangan lokal, maka konsumsi beras akan menurun.
Surat edaran
Untuk lebih menguatkan maksud perwal tersebut, kata Betty, juga akan dibuat surat edaran kepada seluruh masyarakat Kota Bandung, BUMN, dan instansiinstansi lainnya. Surat edaran akan juga mengajak untuk mengurangi konsumsi beras. Bahkan kepada instansi, juga diimbau untuk mengonsumsi snak nonberas dan terigu, dalam setiap kesempatan rapat atau kegiatan lainnya.
Disinggung mengenai ketersediaan pangan di Kota Bandung, Betty menyatakan posisinya cukup aman, bahkan untuk beberapa tahun mendatang. Angka ketersediaan pangan saat ini mencapai 2.300 kalori/kapita, dan masih di atas standar ketersediaan pangan yang mencapai angka 2.200 kalori/kapita.
Betty menambahkan, untuk Kota Bandung saat ini masih bergantung pada daerah lain dalam hal penyediaan pangan, dan hanya 3 persen mengandalkan produksi dalam daerah. Yang justru dikhawatirkan, yaitu daya beli masyarakat. Saat ini, masih ada sebanyak 63.431 Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang masuk kategori miskin dan rawan daya beli. (B.114)** sumber : (GALAMEDIA)
Kabid Ketahanan Pangan Dewan Ketahanan Pangan Kota Bandung, Betty Wargadinata menuturkan, angka konsumsi beras untuk masyarakat Kota Bandung saat ini memang masih belum ada. Hal itu tidak terlepas dari baru dibentuk dan eksisnya ketahanan pangan, setelah disatukan dengan Dinas Pertanian.
Namun ia menilai, angkanya tidak akan jauh berbeda dengan angka konsumsi beras masyarakat Jabar, yang mencapai 125 kg/jiwa/tahun. Angka tersebut masih tergolong tinggi dibandingkan negara lain.
"Kita masih belum punya data, masih dalam penghitungan BPS. Mudah-mudahan akhir tahun ini sudah muncul angkanya," kata Betty ketika ditemui di sela kegiatan Sidang Dewan Ketahanan Pangan Kota Bandung, di Hotel Golden Flower, Jln. Asia Afrika, Selasa (15/11).
Ia menambahkan, angka konsumsi beras secara nasional cukup tinggi, yaitu 139 kg/jiwa/tahun. Angkanya jauh di bawah Jepang yang hanya 60 kg/jiwa/tahun dan Vietnam yang hanya 70 kg/jiwa/tahun. Di sisi lain, kondisi lahan persawahan di Indonesia terus berkurang dan berkaitan dengan menurunnya pula produksi beras.
"Melihat kondisi itulah pemerintah pusat menargetkan penurunan konsumsi beras per tahun sebesar 1,5 persen. Ini juga harus menjadi perhatian daerah. Kota Bandung sendiri mulai melakukan berbagai program untuk mendukung target yang ditetapkan pemerintah pusat," terangnya.
Program yang akan dilakukan untuk mendukung penurunan konsumsi beras, di antaranya program sehari tanpa nasi serta penganekaragaman makanan lokal. Bahkan menurut Betty, untuk mendukung hal itu Pemkot Bandung sudah mengeluarkan Perwal di tahun 2011, tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Lokal.
Yang dimaksud dengan percepatan penganekaragaman pangan lokal, yaitu mensosialisasikan kepada masyarakat untuk lebih banyak mengonsumsi makanan lokal. Tentunya, pangan lokal yang dikonsumsi non beras dan terigu atau lebih banyak berasal dari umbiumbian. Diharapkan dengan meningkatkan konsumsi pangan lokal, maka konsumsi beras akan menurun.
Surat edaran
Untuk lebih menguatkan maksud perwal tersebut, kata Betty, juga akan dibuat surat edaran kepada seluruh masyarakat Kota Bandung, BUMN, dan instansiinstansi lainnya. Surat edaran akan juga mengajak untuk mengurangi konsumsi beras. Bahkan kepada instansi, juga diimbau untuk mengonsumsi snak nonberas dan terigu, dalam setiap kesempatan rapat atau kegiatan lainnya.
Disinggung mengenai ketersediaan pangan di Kota Bandung, Betty menyatakan posisinya cukup aman, bahkan untuk beberapa tahun mendatang. Angka ketersediaan pangan saat ini mencapai 2.300 kalori/kapita, dan masih di atas standar ketersediaan pangan yang mencapai angka 2.200 kalori/kapita.
Betty menambahkan, untuk Kota Bandung saat ini masih bergantung pada daerah lain dalam hal penyediaan pangan, dan hanya 3 persen mengandalkan produksi dalam daerah. Yang justru dikhawatirkan, yaitu daya beli masyarakat. Saat ini, masih ada sebanyak 63.431 Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang masuk kategori miskin dan rawan daya beli. (B.114)** sumber : (GALAMEDIA)