Oleh: Imron Baehaqi Lc
Menuduh adalah suatu perbuatan yang tidak menyenangkan. Orang yang dituduh akan terluka hatinya, apalagi tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya tidak disertai dengan bukti-bukti yang benar. Tentu ia akan merasa sangat terzholimi. Tuduhan seperti ini biasanya akan menimbulkan efek-efek negatif, seperti jalinan persaudaraan yang tidak harmonis, penceraian dalam rumah tangga, hilangnya kepercayaan dan harga diri, hilangnya pekerjaan dan jabatan dan sebagainya. Namun efek yang paling berbahaya adalah kerusakan akidah bagi pelakunya.
Oleh sebab itu, Islam telah memperingatkan kepada umatnya supaya tidak melakukan sembarang tuduhan kepada saudara seagamanya. Peringatan ini bisa dilihat dari beratnya hukuman atas seorang yang menuduh suatu perbuatan keji terhadap sesama saudaranya sendiri. Seperti menuduh melakukan perbuatan zina (qadzaf) sedangkan dia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi, maka hukuman bagi orang yang menuduh itu adalah didera sebanyak 80 kali dera. (QS. An-Nur:4-5).
Demikian pula menuduh kafir tanpa keterangan yang dapat dipercaya adalah suatu perbuatan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Tuduhan inilah yang menimbulkan efek paling berbahaya tadi, yaitu rusaknya akidah.
Berdasarkan kaidah asas Islam dalam perkara akidah disebutkan, bahwa tidak dibolehkan mengkafirkan seseorang dari golongan ahli kiblat, kecuali dengan bukti yang jelas dan akurat. Sebab pada dasarnya, sosok seorang muslim adalah iman, maka mengkafirkan seorang muslim dengan tanpa alasan yang kuat adalah perbuatan yang dilarang. Sekiranya tuduhan tersebut tidak benar, maka sebaliknya orang yang menuduh itu adalah kafir. Hal ini menunjukan betapa kerasnya larangan melakukan perbuatan menuduh dan saling melemparkan tuduhan kafir tanpa dalil. (Lihat: Dr Wahbah Zuhaili, Akhlakul Muslim: 'Alaqatuhu bin Nafsi wal Kaun, Darul Fikr al-Mu'asir, Beirut Lubnan, h. 298).
Pendapat di atas didasarkan kepada dalil Alquran surat al-Ruum ayat 44, Allah SWT. berfirman, "Siapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung akibat kekafirannya itu; dan barang siapa yang mengerjakan kebajikan, maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan)."
Dalam menafsirkan ayat di atas, Prof Dr Wahbah Zuhaili menjelaskan, bahwa sang penuduh (tanpa bukti yang valid) itu adalah kafir, yaitu entah dia itu fasik karena menutup kebenaran atau ia benar-benar kafir ( kafir mutlak). Sedangkan kufur mutlak, maknanya lebih luas dari fasik. Allah berfirman: "Barang siapa yang kafir setelah datang keterangan-keterangan yang jelas, maka mereka itulah orang-orang yang fasik". (QS Al-Nuur: 55).
Sedangkan, Nabi SAW telah menegaskan, bahwa orang yang menyifatkan saudara muslimnya dengan sifat kekufuran, maka hal itu adalah dosa. Bahkan tuduhan itu berbalik kepada dirinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari Abi Dzar RA., bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: "Barang siapa yang memanggil seseorang dengan kata-kata kafir, atau berkata: wahai musuh Allah, sedangkan tidaklah demikian halnya, maka tuduhan dan kata-kata itu kembali dan berlaku kepada dirinya." (HR Bukhari dan Muslim)
Keterangan nash Alquran dan Hadis di atas hendaknya menjadi perhatian dan pelajaran bagi setiap muslim supaya lebih berhati-hati dan waspada untuk tidak mudah atau tergesa-gesa melemparkan sebuah tuduhan. Apalagi menuduh kafir terhadap sesama saudara muslim sendiri dengan tanpa bukti atau informasi yang valid. Sebab, tuduhan tersebut hanya akan membawa akibat yang membahayakan terhadap banyak pihak, terutama pelakunya sendiri. Di mana kemurnian akidahnya bisa rusak, gara-gara menuduh kafir terhadap saudaranya tanpa bukti dan kebenaran yang jelas dan nyata. Wallahu 'Alam bi Shawab
Penulis adalah Pengurus Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia, Bidang Dakwah dan Tarjih.
sumber : www.republika.co.id