Oleh: Hj. ATI SUPRIHATIN
BERJALAN kaki bagi sebagian besar penduduk Kota Bandung, ternyata bukan salah satu kebiasaan dan untuk membiasakannya membutuhkan waktu lama. Untuk mencapai tempat yang jaraknya di bawah satu kilometer, mereka terbiasa menggunakan kendaraan baik pribadi maupun umum.
Tanpa mereka sadari, kebiasaan malas tersebut ternyata membuahkan pengaruh buruk bagi lingkungan sekitarnya. Pada saat mereka teriak-teriak menuntut udara yang bersih dan lingkungan yang sehat, pada saat yang sama mereka justru sedang merusak kualitas udara dan lingkungan tempat mereka tinggal oleh kebiasaan malas.
Dulu sekali, Prof.Dr. Otto Sumarwoto, guru besar lingkungan hidup Unpad pernah mengatakan, sikap malas penduduk Kota Bandung membawa dampak buruk yang cukup besar bagi lingkungan. Akibat sikap itu pula, jumlah kendaraan di Kota Bandung sangat banyak, sehingga tingkat pencemaran udara menjadi tinggi. Belum lagi kebisingan dan kemacetan lalulintas yang juga tinggi.
Penduduk Kota Bandung telah terbiasa menggunakan kendaraan bermotor. Meskipun banyak tempat-tempat dapat dicapai tanpa menggunakan kendaraan bermotor, namun penduduk mengabaikan kendaraan tidak bermotor atau berjalan kaki untuk mencapainya.
Padahal untuk jarak di bawah satu kilometer, masih dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan tidak bermotor. Selain hemat, cara ini pun sehat karena secara tidak langsung mereka yang melakukannya telah melakukan olahraga. Sayangnya, untuk mencapai kantor, sekolah, pusat perbelanjaan atau tempat rekreasi, penduduk Kota Bandung lebih senang menempuhnya dengan menggunakan kendaraan bermotor dengan alasan lebih cepat. Tidak heran kalau akhirnya kemacetan menjadi pemandangan sehari-hari Kota Bandung, karena banyaknya kendaraan yang lalu lalang di jalan.
Padahal, kalau penduduk mau berjalan kaki untuk menempuh tujuannya, maka dapat mengurangi jumlah kendaraan yang beroperasi di jalan-jalan. Saat ini, banyak kendaraan yang lalu lalang di jalan hanya diisi satu atau dua orang penumpang dengan jarak tempuh pendek. Maksud hati ingin cepat, justru yang dialami menjadi lambat karena jarak tempuh yang pendek harus ditempuh dengan waktu yang lama.
Dampak lain dari sikap malas penduduk Kota Bandung adalah, tingginya tingkat pencemaran udara. Udara Kota Bandung saat ini tidak lagi bersih, akibat emisi gas buang sumber bergerak (transportasi).
Seharusnya di Kota Bandung ada kebijakan terpadu transpostasi yang sekarang terpusat pada kendaraan bermotor. Perubahan kebijakan ini memungkinkan kendaraan tidak bermotor pun mendapat tempat di jalan raya. Untuk jarak pendek, penduduk tidak harus menggunakan kendaraan bermotor, tetapi dapat menggunakan sepeda atau bahkan berjalan kaki.
Risiko dari perubahan ini, Pemkot harus mengubah sarana jalan raya yang ada sekarang, sehingga kendaraan bukan bermotor khususnya sepeda dapat lewat. Hal ini sudah dilakukan Pemkot dengan membangun jalur sepeda di beberapa ruas jalan.
Kondisi trotoar pun harus diperbaiki, sehingga dapat digunakan oleh pejalan kaki. Saat ini, kondiri trotoar di Kota Bandung tidak terlalu "ramah" bagi pejalan kaki, sehingga mereka enggan menggunakannya. Apalagi banyak trotoar yang "dimakan" oleh pedagang kaki lima (PKL).
Banyak sekali keuntungan dari digunakannya konsep kebijakan terpadu transportasi. Salah satu contohnya, apabila tingkat pencemaran berkurang, maka tingkat kesehatan meningkat, sehingga dana untuk mengatasi masalah pencemaran dan kesehatan dapat dihemat. Anggaran tersebut dapat digunakan untuk hal-hal lain yang lebih penting, seperti untuk pendidikan. (Wartawan Galamedia)**
BERJALAN kaki bagi sebagian besar penduduk Kota Bandung, ternyata bukan salah satu kebiasaan dan untuk membiasakannya membutuhkan waktu lama. Untuk mencapai tempat yang jaraknya di bawah satu kilometer, mereka terbiasa menggunakan kendaraan baik pribadi maupun umum.
Tanpa mereka sadari, kebiasaan malas tersebut ternyata membuahkan pengaruh buruk bagi lingkungan sekitarnya. Pada saat mereka teriak-teriak menuntut udara yang bersih dan lingkungan yang sehat, pada saat yang sama mereka justru sedang merusak kualitas udara dan lingkungan tempat mereka tinggal oleh kebiasaan malas.
Dulu sekali, Prof.Dr. Otto Sumarwoto, guru besar lingkungan hidup Unpad pernah mengatakan, sikap malas penduduk Kota Bandung membawa dampak buruk yang cukup besar bagi lingkungan. Akibat sikap itu pula, jumlah kendaraan di Kota Bandung sangat banyak, sehingga tingkat pencemaran udara menjadi tinggi. Belum lagi kebisingan dan kemacetan lalulintas yang juga tinggi.
Penduduk Kota Bandung telah terbiasa menggunakan kendaraan bermotor. Meskipun banyak tempat-tempat dapat dicapai tanpa menggunakan kendaraan bermotor, namun penduduk mengabaikan kendaraan tidak bermotor atau berjalan kaki untuk mencapainya.
Padahal untuk jarak di bawah satu kilometer, masih dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan tidak bermotor. Selain hemat, cara ini pun sehat karena secara tidak langsung mereka yang melakukannya telah melakukan olahraga. Sayangnya, untuk mencapai kantor, sekolah, pusat perbelanjaan atau tempat rekreasi, penduduk Kota Bandung lebih senang menempuhnya dengan menggunakan kendaraan bermotor dengan alasan lebih cepat. Tidak heran kalau akhirnya kemacetan menjadi pemandangan sehari-hari Kota Bandung, karena banyaknya kendaraan yang lalu lalang di jalan.
Padahal, kalau penduduk mau berjalan kaki untuk menempuh tujuannya, maka dapat mengurangi jumlah kendaraan yang beroperasi di jalan-jalan. Saat ini, banyak kendaraan yang lalu lalang di jalan hanya diisi satu atau dua orang penumpang dengan jarak tempuh pendek. Maksud hati ingin cepat, justru yang dialami menjadi lambat karena jarak tempuh yang pendek harus ditempuh dengan waktu yang lama.
Dampak lain dari sikap malas penduduk Kota Bandung adalah, tingginya tingkat pencemaran udara. Udara Kota Bandung saat ini tidak lagi bersih, akibat emisi gas buang sumber bergerak (transportasi).
Seharusnya di Kota Bandung ada kebijakan terpadu transpostasi yang sekarang terpusat pada kendaraan bermotor. Perubahan kebijakan ini memungkinkan kendaraan tidak bermotor pun mendapat tempat di jalan raya. Untuk jarak pendek, penduduk tidak harus menggunakan kendaraan bermotor, tetapi dapat menggunakan sepeda atau bahkan berjalan kaki.
Risiko dari perubahan ini, Pemkot harus mengubah sarana jalan raya yang ada sekarang, sehingga kendaraan bukan bermotor khususnya sepeda dapat lewat. Hal ini sudah dilakukan Pemkot dengan membangun jalur sepeda di beberapa ruas jalan.
Kondisi trotoar pun harus diperbaiki, sehingga dapat digunakan oleh pejalan kaki. Saat ini, kondiri trotoar di Kota Bandung tidak terlalu "ramah" bagi pejalan kaki, sehingga mereka enggan menggunakannya. Apalagi banyak trotoar yang "dimakan" oleh pedagang kaki lima (PKL).
Banyak sekali keuntungan dari digunakannya konsep kebijakan terpadu transportasi. Salah satu contohnya, apabila tingkat pencemaran berkurang, maka tingkat kesehatan meningkat, sehingga dana untuk mengatasi masalah pencemaran dan kesehatan dapat dihemat. Anggaran tersebut dapat digunakan untuk hal-hal lain yang lebih penting, seperti untuk pendidikan. (Wartawan Galamedia)**