Oleh Ustadz Bachtiar Nasir
'Kita toenjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka … lebih baik kita hantjoer leboer daripada tidak merdeka'. Pernyataan ini disampaikan Bung Tomo saat menyongsong serangan sekutu ke Surabaya, 9 November 1945.
Sejatinya, para pahlawan adalah pelaku perubahan. Mereka tidak pernah rela mengusung kata perubahan untuk mendapatkan kekuasaan dan bintang jasa. Aura perubahan yang melekat pada diri mereka adalah karena gelora jiwa kepahlawanannya yang setia pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan orang banyak, serta kasih sayang. Pangkat, jabatan, kekayaan, atribut kebesaran, dan kekuasaan bukan bilangan untuk mengukur nilai kepahlawanan seseorang. Bahkan, semua itu terkadang hanya topeng kebohongan.
Kepahlawanan adalah jiwa mulia orang yang merdeka, yakni merdeka dari kepentingan pribadi, kelompok, dan kepentingan sesaat. Jiwa pahlawan adalah jiwa pembebas, bebas dan merdeka dari ego sendiri, bebas dari penghambaan materi, dan lainnya. Jeruji penjara hanya medan terbuka untuk mengekspresikan semangat kebenaran yang terlahir dari keyakinan yang kuat, pikiran yang jernih, serta pandangan jujur terhadap kondisi sosial.
Kegelisahannya menjadi titik tolak pemberontakan melawan tirani ketidakadilan dan kezaliman. Kepeduliaan sosialnya menjadi modal utama menerjang penindasan dan kesemena-menaan. Dan, perjuangan terhebat adalah tidak menundukkan kepala di hadapan raja dan penguasa yang zalim.
"Kami sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan … sampai titik darah yang penghabisan!" Demikian pernyataan Jenderal Soedirman saat pidato pelantikan panglima besar Tentara Republik Indonesia, pada 25 Mei 1946.
Di benak para pahlawan, kejahatan adalah alat untuk memperjelas kebenaran. Penindas dan penjajah adalah kroni-kroni Firaun dan Qarun yang harus dilawan. Tak ada yang dapat mematahkan semangat juangnya dalam menegakkan kebenaran sejati. Mereka adalah petarung, bukan penakut apalagi pecundang. Satu-satunya yang mereka takuti hanyalah rasa takut itu sendiri, bahkan kematian. Besarnya kekuatan lawan, tak meluluhkan semangat mereka. (QS al-Ahzab [33]:23).
Bagi pahlawan, kematian adalah masa depan yang pasti. Mereka tak sudi menerima hadiah dari penjajah yang telah merampok negeri walau atas nama pajak sekalipun. Atau, lewat celah-celah peluang untuk mendapatkan proyek dunia, yang hanya dapat memperkaya diri dan keluarganya. Bukan dari rakyat banyak yang sejak awal menjadi titik keberangkatan perjuangannya.
Penghargaan tak mereka butuhkan dari penguasa atau orang kaya yang pecundang. Dengan keteguhan iman, penghargaan tertinggi telah mereka dapatkan dari yang hidup atau sesudah mati. Karena penghargaan juga akan mereka dapatkan dari langit dan bumi.
Pahlawan sejati tidak sekadar memperjuangkan kebenaran (alhaq). Mereka juga mampu menggerakkan rakyat untuk bersatu dalam menumpas setiap ketidakadilan. Mereka akan selalu diikuti rakyatnya, walau hingga ke liang kubur.
sumber : www.republika.co.id