Oleh: KUSWARI
GURU pada dasanya mengajar kejujuran kepada para siswa. Ketika berdiri di depan kelas, secara langsung dia sedang diamati oleh para siswa, baik ucapan maupun perilakunya.
Dia tidak mungkin mengatakan 5 x 5 sama dengan 20, pasti dia akan mengatakan 5 x 5 =25. Demikian pula ketika dia menerangkan sejarah dia mengajarkan kejujuran tentang sejarah kehidupan manusia yang terjadi di belahan muka bumi ini, berdasarkan kurikulum yang diajarkan kepada anak didiknya. Guru menjadi ujung tombak dalam proses pembelajaran etika kejujuran, sehingga guru dituntut untuk konsisten dan komitmen mempertahankan kepribadiannya.
Guru yang jujur adalah sosok yang mulia dan derajatnya tinggi di bumi ini. Guru yang jujur adalah idola para siswa, sehingga ketika guru itu pensiun atau meninggal dunia, dia ditangisi para siswa dan rekan seprofesinya. Ketika guru tersebut sudah tidak ada, yang terlontar kalimat yang indah dan mulia dari anak didiknya adalah kalimat yang indah dan enak didengar telinga, "Sungguh mulia, saya banyak belajar dari beliau tentang arti kehidupan."
Tetapi sekarang apakah guru konsisten dan komitmen mempertahankan etika kejujuran? Apakah kepala sekolah sebagai pemimpin di antara para guru dan teladan bagi para siswa di sekolah bisa memberikan contoh tentang etika kejujuran? Saat sekarang ini kejujuran menjadi sebuah kata yang mahal dan hilang di tengah gegap gempita merajalelanya korupsi di berbagai kehidupan. Kejujuran sebagai landasan pertama dalam proses pembelajaran di sekolah menjadi acuan bagi para guru, sebab dimulai dari gurulah etika kejujuran diserbarluaskan kepada anak didiknya. Para siswa rindu kepada guru-guru yang menjunjung tinggi etika kejujuran, sebab dari gurulah teladan yang patut dicontoh.
Gangguan oknum wartawan Etika kejujuran menjadi taruhan bagi guru di sekolah lebih- lebih kepala sekolah sebagai manajer yang sepatutnya menjadi teladan semua orang, baik internal sekolah maupun eksternal di masyarakat. Namun dengan adanya program Biaya Operasional Sekolah (BOS) atau sekolah gratis dari SD sampai SMP telah menimbulkan peluang untuk tidak jujur.
BOS secara tidak langsung telah membuka peluang bagi kepala sekolah dan guru mendapat "ujian" etika kejujuran yang sangat berat. Mereka dihadapkan pada permasalahan prosedur yang harus dilakukan sesuai petunjuk dari dinas pendidikan di satu pihak, sementara di pihak lain terpaksa harus melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan etika kejujuran.
Jadi sebenarnya sejak diluncurkan BOS ke sekolahsekolah, baik sekolah negeri maupun swasta, di situlah timbul permasalahan yang cukup dilematis bagi kepala sekolah. Wartawan muntaber (muncul tanpa berita) -- sebutan ini ditujukan kepada oknum wartawan yang hanya mengaku-ngaku saja-- atau oknum LSM mendatangi sekolah untuk sekadar mengutak-atik BOS, padahal ujung-ujungnya mereka hanya ingin mendapat jatah uang dari BOS. Kepala sekolah dibuat pusing tujuh keliling karena hampir setiap hari didatangi oknum-oknum yang tujuannya untuk memeras sekolah. Mereka tidak akan meninggalkan sekolah sebelum diberi ongkos. Jadi sekarang ini banyak oknum mengaku wartawan atau LSM yang tebal muka.
Sebagian besar kepala sekolah mengaku resah dan gelisah dengan adanya BOS dari pemerintah. Apalagi ketika mereka harus melengkapi berbagai persyaratan pencairan BOS karena harus melampirkan kuitansi asli dan barang yang sudah dibeli atau kegiatan yang sudah dilaksanakan. Dalam praktiknya, maaf, tidak sedikit melakukan aktivitas yang jauh dari etika kejujuran. Bahkan seorang kepala sekolah pernah berkata, "Satu pihak kita ingin jujur, tetapi di pihak lain keadaan memaksa untuk tidak jujur."
Secara aturan dan tata kelola mengenai BOS sudah tercantum jelas mekanisme dan prosedur yang harus dijalankan, termasuk 10 komponen yang harus dianggarkan untuk pembiayaan di sekolah. Namun dalam praktiknya, tidak semudah membalikkan tangan. Beberapa kepala sekolah (mudah-mudahan tidak semuanya) terpaksa harus menandatangani kuitansi barang yang barang tersebut sebenarnya sudah dimiliki sekolah, kemudian faktur pembelian meminta kepada toko.
Contoh sederhana, sebuah angklung atau komputer pernah dibeli 2 tahun yang lalu oleh sebuah sekolah swasta dengan menggunakan uang dari siswa, ketika BOS turun, maka angklung atau komputer tersebut dimasukkan dalam anggaran pengeluaran BOS tahun berjalan. Kuitansi atau faktur pembelian dibuat saat BOS tersebut akan segera turun. Kepala sekolah dan bendahara berusaha untuk bisa membuat laporan pertanggungjawaban agar uang BOS bisa segera dicairkan.
Etika kejujuran di sekolah menjadi taruhan bagi kepala sekolah dan para guru, karena adanya program BOS telah membuka peluang bagi mereka untuk tidak jujur, karena situasi dan kondisi yang dilematis dan memaksa mereka untuk berbuat yang bertentangan dengan hati nurani sendiri. Itulah kenyataan yang terjadi di lapangan. Jadi memang sulit untuk menghapus kata yang sangat berbahaya di negeri ini : korupsi.
Proses pendidikan yang bertujuan memuliakan manusia telah tercoreng ada sistem yang berlaku di negeri ini. (Penulis, pemerhati pendidikan, tinggal di Citarip, Bandung)**
Galamedia Kamis, 17 November 2011
GURU pada dasanya mengajar kejujuran kepada para siswa. Ketika berdiri di depan kelas, secara langsung dia sedang diamati oleh para siswa, baik ucapan maupun perilakunya.
Dia tidak mungkin mengatakan 5 x 5 sama dengan 20, pasti dia akan mengatakan 5 x 5 =25. Demikian pula ketika dia menerangkan sejarah dia mengajarkan kejujuran tentang sejarah kehidupan manusia yang terjadi di belahan muka bumi ini, berdasarkan kurikulum yang diajarkan kepada anak didiknya. Guru menjadi ujung tombak dalam proses pembelajaran etika kejujuran, sehingga guru dituntut untuk konsisten dan komitmen mempertahankan kepribadiannya.
Guru yang jujur adalah sosok yang mulia dan derajatnya tinggi di bumi ini. Guru yang jujur adalah idola para siswa, sehingga ketika guru itu pensiun atau meninggal dunia, dia ditangisi para siswa dan rekan seprofesinya. Ketika guru tersebut sudah tidak ada, yang terlontar kalimat yang indah dan mulia dari anak didiknya adalah kalimat yang indah dan enak didengar telinga, "Sungguh mulia, saya banyak belajar dari beliau tentang arti kehidupan."
Tetapi sekarang apakah guru konsisten dan komitmen mempertahankan etika kejujuran? Apakah kepala sekolah sebagai pemimpin di antara para guru dan teladan bagi para siswa di sekolah bisa memberikan contoh tentang etika kejujuran? Saat sekarang ini kejujuran menjadi sebuah kata yang mahal dan hilang di tengah gegap gempita merajalelanya korupsi di berbagai kehidupan. Kejujuran sebagai landasan pertama dalam proses pembelajaran di sekolah menjadi acuan bagi para guru, sebab dimulai dari gurulah etika kejujuran diserbarluaskan kepada anak didiknya. Para siswa rindu kepada guru-guru yang menjunjung tinggi etika kejujuran, sebab dari gurulah teladan yang patut dicontoh.
Gangguan oknum wartawan Etika kejujuran menjadi taruhan bagi guru di sekolah lebih- lebih kepala sekolah sebagai manajer yang sepatutnya menjadi teladan semua orang, baik internal sekolah maupun eksternal di masyarakat. Namun dengan adanya program Biaya Operasional Sekolah (BOS) atau sekolah gratis dari SD sampai SMP telah menimbulkan peluang untuk tidak jujur.
BOS secara tidak langsung telah membuka peluang bagi kepala sekolah dan guru mendapat "ujian" etika kejujuran yang sangat berat. Mereka dihadapkan pada permasalahan prosedur yang harus dilakukan sesuai petunjuk dari dinas pendidikan di satu pihak, sementara di pihak lain terpaksa harus melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan etika kejujuran.
Jadi sebenarnya sejak diluncurkan BOS ke sekolahsekolah, baik sekolah negeri maupun swasta, di situlah timbul permasalahan yang cukup dilematis bagi kepala sekolah. Wartawan muntaber (muncul tanpa berita) -- sebutan ini ditujukan kepada oknum wartawan yang hanya mengaku-ngaku saja-- atau oknum LSM mendatangi sekolah untuk sekadar mengutak-atik BOS, padahal ujung-ujungnya mereka hanya ingin mendapat jatah uang dari BOS. Kepala sekolah dibuat pusing tujuh keliling karena hampir setiap hari didatangi oknum-oknum yang tujuannya untuk memeras sekolah. Mereka tidak akan meninggalkan sekolah sebelum diberi ongkos. Jadi sekarang ini banyak oknum mengaku wartawan atau LSM yang tebal muka.
Sebagian besar kepala sekolah mengaku resah dan gelisah dengan adanya BOS dari pemerintah. Apalagi ketika mereka harus melengkapi berbagai persyaratan pencairan BOS karena harus melampirkan kuitansi asli dan barang yang sudah dibeli atau kegiatan yang sudah dilaksanakan. Dalam praktiknya, maaf, tidak sedikit melakukan aktivitas yang jauh dari etika kejujuran. Bahkan seorang kepala sekolah pernah berkata, "Satu pihak kita ingin jujur, tetapi di pihak lain keadaan memaksa untuk tidak jujur."
Secara aturan dan tata kelola mengenai BOS sudah tercantum jelas mekanisme dan prosedur yang harus dijalankan, termasuk 10 komponen yang harus dianggarkan untuk pembiayaan di sekolah. Namun dalam praktiknya, tidak semudah membalikkan tangan. Beberapa kepala sekolah (mudah-mudahan tidak semuanya) terpaksa harus menandatangani kuitansi barang yang barang tersebut sebenarnya sudah dimiliki sekolah, kemudian faktur pembelian meminta kepada toko.
Contoh sederhana, sebuah angklung atau komputer pernah dibeli 2 tahun yang lalu oleh sebuah sekolah swasta dengan menggunakan uang dari siswa, ketika BOS turun, maka angklung atau komputer tersebut dimasukkan dalam anggaran pengeluaran BOS tahun berjalan. Kuitansi atau faktur pembelian dibuat saat BOS tersebut akan segera turun. Kepala sekolah dan bendahara berusaha untuk bisa membuat laporan pertanggungjawaban agar uang BOS bisa segera dicairkan.
Etika kejujuran di sekolah menjadi taruhan bagi kepala sekolah dan para guru, karena adanya program BOS telah membuka peluang bagi mereka untuk tidak jujur, karena situasi dan kondisi yang dilematis dan memaksa mereka untuk berbuat yang bertentangan dengan hati nurani sendiri. Itulah kenyataan yang terjadi di lapangan. Jadi memang sulit untuk menghapus kata yang sangat berbahaya di negeri ini : korupsi.
Proses pendidikan yang bertujuan memuliakan manusia telah tercoreng ada sistem yang berlaku di negeri ini. (Penulis, pemerhati pendidikan, tinggal di Citarip, Bandung)**
Galamedia Kamis, 17 November 2011