Oleh: H. Usep Romli H.M.
ISTILAH hedonis mengandung arti, mencari kesenangan fisik-material selama hidup di muka bumi. Orang-orang hedonis berpendapat, kebahagiaan itu terdapat dalam timbunan harta, kedudukan, pangkat, jabatan, dan sejenisnya yang bersifat lahiriah. Karena itu, hidup mewah bergelimang kekayaan merupakan cara untuk mencapai kebahagiaan itu, tanpa peduli bagaimana memperolehnya. Apakah haram atau halal, jujur atau licik. Yang penting berhasil mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan fisik material itu saja.
Karena itu, orang-orang hedonis tak memiliki hati nurani. Egois. Menganggap segala sesuatu semata-mata urusan pribadi sebagai hak asasi. Sehingga, orang lain tak perlu ikut campur merecoki, menilai salah atau benar. Hak asasi pribadi tak bisa dilanggar siapa pun. Apakah akan menghambur-hamburkan, memamerkan, dijadikan sumber kebaikan atau modal maksiat, tidak perlu dipermasalahkan. Tak perlu memikirkan apakah orang lain tergiur atau tersinggung.
Maka terjadilah kini, banyak orang suka pamer kekayaan. Membuat gedung-gedung megah mewah, vila-vila resik asri, sementara kebanyakan orang sengsara melarat di rumah-rumah reyot, gubuk butut, bahkan terdampar di kolong jembatan.
Maka terjadilah, banyak orang seliweran di atas mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah, di tengah sebagian besar orang berdesakan dalam kendaraan umum yang tak nyaman dan tak aman, yang tak lagi memenuhi syarat keselamatan transportasi. Maka terjadilah, banyak orang menghambur-hamburkan makanan dan minuman, di tengah mayoritas penduduk kelaparan, susah mendapat kerja dan sumber nafkah, makan pagi sore tidak, dan tak tahu apa yang akan dimakan esok hari.
Bagi umat Islam yang takwa, tunduk patuh melaksanakan segala perintah Allah SWT, serta siap meninggalkan segala larangan-Nya, tak usah susah dan bingung menghadapi fenomena hedonisme ini, sebab sudah mendapat pedoman nyata, berupa Quran dan Sunah Rasulullah Muhammad SAW.
Q.S. al Kahfi ayat 103-104, menyebutkan, tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya di dunia. Yaitu orang yang berbuat sia-sia, namun menyangka dirinya sudah melakukan kebaikan dan kebajikan. Mereka adalah orang-orang kufur (tidak percaya) kepada ayat-ayat Allah, dan kufur terhadap hari akhir, tatkala semua manusia dibangkitkan kembali, dihitung segala amal-amalannya, untuk mendapat ganjaran setimpal atas segala kebaikan, atau siksa atas segala dosa kejahatan.
Para mufasir menandaskan, ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang hedonis. Yang hanya percaya akan kehidupan di alam fana saja. Tidak mengetahui dan mempercayai, bahkan menolak, kehidupan di alam baka yang lebih lama dan panjang, serta menjadi kawasan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan di hadapan Mahkamah Allah Azza wajalla.
Orang-orang hedonis semacam itu, dalam Quran, Surat al Lail, ayat 8-9, dikategorikan "bakhil". Kikir, tak punya tenggang rasa, asal senang sendiri. Dan astagna. Merasa diri sendiri lebih dari cukup. Disertai sikap kadzdzaba bil husna. Tidak percaya kehidupan setelah mati, hari akhir dan hisab (perhitungan) amal baik dan buruk.
Menghadapi fenomena ini, setiap muslim beriman harus memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta menumbuhsuburkan amal saleh kepada sesama manusia dengan nyata dalam kehidupan sehari-hari. **
Galamedia Jumat, 18 November 2011
ISTILAH hedonis mengandung arti, mencari kesenangan fisik-material selama hidup di muka bumi. Orang-orang hedonis berpendapat, kebahagiaan itu terdapat dalam timbunan harta, kedudukan, pangkat, jabatan, dan sejenisnya yang bersifat lahiriah. Karena itu, hidup mewah bergelimang kekayaan merupakan cara untuk mencapai kebahagiaan itu, tanpa peduli bagaimana memperolehnya. Apakah haram atau halal, jujur atau licik. Yang penting berhasil mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan fisik material itu saja.
Karena itu, orang-orang hedonis tak memiliki hati nurani. Egois. Menganggap segala sesuatu semata-mata urusan pribadi sebagai hak asasi. Sehingga, orang lain tak perlu ikut campur merecoki, menilai salah atau benar. Hak asasi pribadi tak bisa dilanggar siapa pun. Apakah akan menghambur-hamburkan, memamerkan, dijadikan sumber kebaikan atau modal maksiat, tidak perlu dipermasalahkan. Tak perlu memikirkan apakah orang lain tergiur atau tersinggung.
Maka terjadilah kini, banyak orang suka pamer kekayaan. Membuat gedung-gedung megah mewah, vila-vila resik asri, sementara kebanyakan orang sengsara melarat di rumah-rumah reyot, gubuk butut, bahkan terdampar di kolong jembatan.
Maka terjadilah, banyak orang seliweran di atas mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah, di tengah sebagian besar orang berdesakan dalam kendaraan umum yang tak nyaman dan tak aman, yang tak lagi memenuhi syarat keselamatan transportasi. Maka terjadilah, banyak orang menghambur-hamburkan makanan dan minuman, di tengah mayoritas penduduk kelaparan, susah mendapat kerja dan sumber nafkah, makan pagi sore tidak, dan tak tahu apa yang akan dimakan esok hari.
Bagi umat Islam yang takwa, tunduk patuh melaksanakan segala perintah Allah SWT, serta siap meninggalkan segala larangan-Nya, tak usah susah dan bingung menghadapi fenomena hedonisme ini, sebab sudah mendapat pedoman nyata, berupa Quran dan Sunah Rasulullah Muhammad SAW.
Q.S. al Kahfi ayat 103-104, menyebutkan, tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya di dunia. Yaitu orang yang berbuat sia-sia, namun menyangka dirinya sudah melakukan kebaikan dan kebajikan. Mereka adalah orang-orang kufur (tidak percaya) kepada ayat-ayat Allah, dan kufur terhadap hari akhir, tatkala semua manusia dibangkitkan kembali, dihitung segala amal-amalannya, untuk mendapat ganjaran setimpal atas segala kebaikan, atau siksa atas segala dosa kejahatan.
Para mufasir menandaskan, ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang hedonis. Yang hanya percaya akan kehidupan di alam fana saja. Tidak mengetahui dan mempercayai, bahkan menolak, kehidupan di alam baka yang lebih lama dan panjang, serta menjadi kawasan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan di hadapan Mahkamah Allah Azza wajalla.
Orang-orang hedonis semacam itu, dalam Quran, Surat al Lail, ayat 8-9, dikategorikan "bakhil". Kikir, tak punya tenggang rasa, asal senang sendiri. Dan astagna. Merasa diri sendiri lebih dari cukup. Disertai sikap kadzdzaba bil husna. Tidak percaya kehidupan setelah mati, hari akhir dan hisab (perhitungan) amal baik dan buruk.
Menghadapi fenomena ini, setiap muslim beriman harus memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta menumbuhsuburkan amal saleh kepada sesama manusia dengan nyata dalam kehidupan sehari-hari. **
Galamedia Jumat, 18 November 2011