-

Thursday, November 17, 2011

Hutan, Hantu, dan Somari

Oleh: TANDI SKOBER
SOMARI (59), tidak hanya guru ngaji saya tiap kali itikaf dari Magrib hingga Isya. Dia juga mengajarkan kearifan yang tersembunyi dari sebuah pohon. Maklum, kawanku ini adalah aktivis Bandung Green and Clean (BGC), RW 09 Kelurahan Cipadung Kidul, Kecamatan Panyileukan Bandung.

"Tanah dibelah, ditanami, dan makhluk Tuhan itu tumbuh liar memanjat langit. Akarnya menghunjam kokoh. Pada setiap buahnya, ada sungai-sungai sunyi kearifan kontemplatif," tuturnya di teras Masjid Al-Ukhuwwah, Panyileukan, sehari sebelum mengambil uang pembinaan sebesar Rp 500.000 di Gedung Pikiran Rakyat Bandung.

Kearifan kontemplatif? Ah, ini membuat saya ternganga. Terlebih lagi ketika Somari sodorkan antologi puisi wartawan Bandung bertajuk "Risalah" (2007). Konon, bermula dari sajak "Hutan yang Dicuri" Enton Supriyatna, ia temukan cermin hutan yang muram. Somari membacakan satu bait puisi itu, "Ada orang mencuri hutan/ pepohonan diangkut ke meja makan/berserak menjadi segudang tusuk gigi/atau menu pembuka santap malam/para pembuat keputusan".

Tidak jelas di titik mana sebuah puisi menjadi batas sadar peng-ilham kalbu. Yang bisa dijelaskan, seni selalu memberi ruang kalbu manusia untuk mematut diri agar berperilaku elok. Dan Enton tentu tahu betul bahwa bukan salah Bandung mengandung apabila kota beton ini kerap dirundung banjir. Maklum, meski dari album sejarah terungkap nyaris seluruh daratan Bandung ditumbuhi pohon, kini tinggal nostalgia belaka. Hutan di Jawa seluas 5.070.000 hektare berdasar peta vegitasi 1950, sejak 1970 di era Soeharto mengalami deforestrasi sebesar 27 persen. Malangnya, deforestrasi ini lebih banyak disebabkan sistem politik dan ekonomi yang korup. Simak, pada 1998, sebanyak 10 konglomerat di Indonesia telah menguasai lahan seluas 65 ribu hektare. Lantas 10 tahun kemudian, mereka menguasai areal kerja 10,04 juta hektare. Jika dibandingkan dengan luasan hutan 1,5 juta ha yang dihimpun kantor-kantor dinas kehutanan di seluruh Indonesia, tentu ini angka keprihatinan yang pedih. Luas ini sangat kecil jika dibandingkan dengan kepemilikan lahan hutan yang dikelola oleh para korporasi.

Hutan penuh hantu

Itulah sudah! Inilah era erupsi kultural ketika korupsi dijadikan tangan tersembunyi di belantara hutan penuh hantu. Padahal kearifan lokal di tatar Parahiangan ajarkan bahwa langkah lampah carita selalu berawal dari wayang gunungan hutan dan lakon ditutup juga dengan wayang gunungan hutan. Sang penjaga hutan konon sang permaisuri Batara Guru bernama Batara Durga. Agar hutan tetap lestari, maka hutanpun dijaga dedemit setan merkayangan.

Kini itu tak lagi terjadi, "di hutan burung burung kehilangan sayap/harimau marah tanpa auman/seluruh penghuni putus asa/dan orang orang desa tak lagi temukan/jalan setapak menuju mata air," tulis Enton. Kearifan lokal meajarkan bahwa rimba belantara adalah ayat-ayat Tuhan telah dilengserkan oleh perilaku hedonisme barbar! Padahal, untuk satu pohon yang ditanam, butuh suara sakral juga butuh prosesi perenungan yang jauh.

Lihat, orang Uluiwoi, Tolaki Sulawesi Tenggara, tiap kali melangkah di belantara hutan selalu memandang wotika, yaitu tiga bintang yang berbaris sejajar terletak di sebelah timur. Juga mem- perhatikan suara meualo burung tekiki. Mereka dengarkan suara alam sebab dari situ ada isyarat tentang roh hutan yang bertasbih kinasih Tuhan yang Agung.

Menanam pohon, sekecil apa pun, pada hakikatnya, di akhirat kelak akan tumbuh menjadi taman surga. Manusia Jawa Pesisir menyebutnya "bela sunat". Saat saya dikhitan, di antara bendrong alon wayang purwa berlakon Sastra Jendra Hayuningrat konon kriwilan kulit yang disunat itu ditanam bersama bibit pelem. "Jadilah kamu cah kasep," ujar Sang Dalang Wayang Dermayonan, "Seperti pohon mangga. Tumbuh besar, akarnya menghunjam tanah, buahnya lebat. Tiap kali ada yang melempar dengan batu, maka dibalas dengan jatuhnya buah mangga Dermayu yang harum dan manis".

Nusantara memang tercipta dari serpihan surga yang membias. Meski luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi, di tanah surga ini ada 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Dari sinilah, banyak impian bisa dialirkan. "Bila tak pernah menanam pohon, jangan dipetik daun yang hijau". Ini menjadi ungkapan khas Melayu Deli. Mengapa? Saat sidang akbar di padang mashar ukhrawi, kelak daun yang dipetik akan menuntut tangan zalim kita. Dari selembar daun, tidak mustahil akan tumbuh bunga. Dari kelopak bunga, tidak mustahil tumbuh cikal-bakal buah. Artinya, saat daun itu dipetik, saat itu pula terjadi deforestrasi.

Disebabkan hal itu, "Kelak kalau saya tunaikan ibadah haji," tutur Somari, "Prosesi syukur bin nimah jelang berangkat haji akan saya laksanakan dengan menanam pohon di halaman rumah. Ini tak sekadar pohon kenangan apabila pada akhirnya wafat di tanah suci, tapi juga memiliki harapan akan menjadi penebus dosa ketika secara sadar atau tidak sadar saya pernah iseng memetik daun, memotong ranting, atau menumbangkan pohon".

Sebatang pohon pada akhirnya seserpih surga forestrasi! Saat anak-anak lahir, bagi masyarakat Jawa, ketika uri dimasukkan dalam kendi, saat itu juga uri jabang bayi dan sebatang pohon ditanam, dicahayai lampu bambu yang berkerdip-kerdip. "Gusti Allah yang Maha Pemelihara, jadikan pohon itu teman sedulur papat kelima pancer sang jabang bayi". Ada rotasi kearifan kultural yang dituturkan nenek moyang kita bahwa pohon dan manusia adalah dua sisi mata uang yang memanunggal. Mulai dari kelahiran, khitanan, pacaran, pernikahan, berangkat haji, kematian, hingga alam barzah, tak pernah lepas dari menanam pohon.

Yang malang, "rimba raya menjelma di mana mana," tulis Enton. Kita sulit membedakan mana sang bintang dan mana pula sang binatang. Mereka telah menjadi para perampok, adalah "satwa-satwa telah pindah ke kota/naik mobil dan menghuni gedung/pakai dasi dan mengisap cerutu/ada yang jadi anggota parlemen/pengusaha atau pemimpin negeri/".

Somari tersenyum saat saya bacakan sajak itu. Seperti hari kemarin, usai salat Subuh tak pernah letih menyensus pohon, menyirami pohon, dan duduk jongkok membersihkan tiap pohon dari gangguan rumput ilalang."Bersucilah dengan tanah basah, Tandi. Berzikirlah dengan pohon yang tertanam dalam rahim tanah. Alirkan air mata tanah air hingga pohon-pohon itu tumbuh, tumbuh, dan terus tumbuh menjadi kearifan global menghijau". (Penulis adalah Penasihat Kebudayaan Indonesia Police Watch)**
Galamedia Sabtu, 12 November 2011

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment