KOMPAS - Sekitar 10 tahun yang lalu, Mufriatun (28), warga Desa Jatirokeh, Kecamatan Songgom, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah mencoba peruntungan di negeri orang. Bertekad ingin mendapatkan pekerjaan dan penghasilan memadai, ia pun berangkat ke Arab Saudi, dan menja di TKI di negara tersebut. Gadis lulusan SMP tersebut bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Lima tahun pertama, ia jalani pekerjaan sesuai kontrak, karena kebetulan ia mendapatkan majikan yang baik. Namun lima tahun terakhir, ia terpaksa berpindah-pindah dari satu majikan ke majikan lain, tanpa memiliki identitas. Hingga akhirnya pada 4 April lalu, ia kembali ke Indonesia, setelah mendapatkan fasilitas pemulangan gratis dari pemerintah. Mufriatun saat ditemui di rumahnya, Sabtu (7/5/11) menuturkan, ia nekat berangkat ke luar negeri pada usia 17 tahun, karena ingin mendapatkan pekerjaan. Terlebih selama ini, banyak warga Jatirokeh yang bekerja sebagai TKI. Di sini (Brebes) susah mendapatkan pekerjaan, katanya. Awalnya, ia bekerja di Jeddah selama sekitar tiga tahun. Setelah kembali ke Indonesia selama sekitar satu bulan, ia berangkat lagi ke Arab Saudi, dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di wilayah Abha selama 2,5 tahun. Selama bekerja di Jeddah maupun Abha, ia tidak menemui masalah berarti. Pekerjaan dilakoninya dengan lancar, sehingga ia pun bisa membantu perekonomian orang tuanya, Uzer (65) dan Tamah (60), yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Namun masalah muncul, saat ia bekerja untuk ketiga kalinya di Arab Saudi, tepatnya di Riyadh. Bekerja di Riyadh ia lakoni usai bekerja dari Abha, setelah sebelumnya sempat pulang ke Brebes selama satu bulan. Saat itu, Mufriatun mengaku mendapatkan majikan yang galak, sehingga ia memilih kabur setelah dua pekan bekerja di sana. "Saya tidak betah, karena majikan galak. Kerja 24 jam, dan tidak ada waktu untuk istirahat," ujarnya. Ia kabur dari majikannya, tanpa membawa identitas apa pun, karena paspor dan dokumen kerja miliknya ditahan oleh majikan. Untunglah saat itu, ia ditolong orang dan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun tanpa identitas, ia mengaku diperlakukan baik oleh majikannya. Namun selama empat tahun bekerja pada majikannya tersebut, ia tidak mendapat kenaikan gaji. Gaji yang diterimanya hanya sekitar 600 real (setara Rp 1,2 juta) per bulan, sehingga kemudian ia memilih kabur lagi. Dalam pelarian, ia kembali ditolong orang dan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, dengan gaji 1.200 real per bulan. Delapan bulan bekerja pada majikan tersebut, ia mendapat kabar dari teman sesama TKI di Jeddah, bahwa pemerintah memberikan fasilitas pulang gratis. Ia pun kemudian memutuskan kembali ke Indonesia. Kini, anak ketujuh dari sembilan bersaudara tersebut telah kembali berkumpul dengan keluarganya. Ibunya, Tamah,mengaku sangat lega dan senang melihat anaknya pulang dengan selamat. Selama ini, gadis tersebut menjadi andalan orang tua, karena ia merupakan satu di antara dua anak Ujer dan Tamah yang masih tersisa. Dari sembilan anak Ujer, tujuh di antaranya sudah meninggal dunia, sehingga hanya tersisa Mufriatun dan kakaknya, Sulastri (32) yang juga menjadi TKI di Riyadh. Menurut Mufriatun, kabur dari majikan karena mendapat perlakukan kasar, tidak hanya ia alami sendiri. Ratusan TKI mengalami nasib serupa, sehingga mereka memilih kabur dari majikannya. Para TKI mengistilahkannya sebagai TKI kaburan. Bagi yang beruntung, mereka bisa bekerja sebagai pembantu pada majikan lain, namun yang tidak beruntung, mereka terpaksa hidup di jalan, termasuk di kolong jembatan. Bahkan beberapa di antaranya terpaksa melacurkan diri, agar bisa bertahan hidup. Ironisnya, harga perempuan Indonesia murah, sehingga menurut Mufriatun, sempat muncul istilah Orang Indonesia Bisa Dibeli dengan Kangkung. Orang Bangladesh kalau menyebut orang Indonesia seperti itu, tuturnya. Fenomena seperti itu, dibenarkan oleh Zaenudin (50), TKI asal Desa Jatirokeh lainnya. Selama 20 tahun terakhir, Zaenudin bekerja sebagai sopir pribadi di Arab Saudi. Namun, ia bekerja secara resmi. Saat ditemui di Desa Jatirokeh, ia tengah cuti selama 2,5 bulan, untuk menemui istri dan anak-anaknya. Menurut dia, hingga saat ini masih banyak TKI ilegal di Arab Saudi. Mereka hidup di jalan, karena mendapat perlakukan kasar dari majikan, dan tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Ia menilai, selama ini pemerintah Indonesia tidak tegas melindungi TKI. Bahkan, para TKI yang mengadu kepada pemerintah karena mendapat perlakukan kasar dari majikan, sering hanya diminta bersabar saja. Saat ini ada sekitar 1,5 juta TKI di Arab Saudi. TKI yang ilegal masih banyak, katanya. Pemulangan gratis secara besar-besaran oleh pemerintah, lanjutnya, bisa jadi akan mengurangi jumlah TKI ilegal di Arab. Namun apabila pemerintah tidak tegas dan tidak memperketat izin TKI ke luar negeri, kasus-kasus TKI ilegal akan kembali muncul di kemudian hari, bahkan dalam jumlah yang banyak.