DALAM upaya meningkatkan kesejahteraan dan penyimpanan kekayaannya, masyarakat masa kini memerlukan jasa perbankan dan salah satu produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah tabungan, yakni simpanan dana yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Dalam fatwanya No. 02/DSN-MUI/Iv/2000 Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) menekankan bahwa kegiatan tabungan tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam (syari'ah).
"Oleh karena itu DSN memandang perlu menetapkan fatwa bentuk-bentuk mu'amalah syar'yah yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tabungan pada bank syari'ah," ungkap Peneliti Senior Direktorat Bank Islam, Bank Indonesia, Agus Fajri Zam kepada "GM", di ruang kerjanya, Jln. Merdeka, Bandung, belum lama ini.
Menurut Agus, yang dijadikan rujukan DSN MUI dalam menetapkan fatwa tersebut antara lain Al Quran Surat (QS) An-Nisa ayat 29 yang artinya "Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramuÖ".
Selain itu, katanya, firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 283 yang artinya "Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya".Juga Firman Allah QS. Al-Ma'idah ayat 1-2 yang artinya, "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu" serta "dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan".
Merujuk pada hadis
Selain beberapa ayat dalam Al-Qur'an, Agus mengatakan, dalam fatwa yang ditandatangani Prof. KH. Ali Yafie (ketua) dan Drs. H.A. Nazri Adlani (sekretaris) itu juga merujuk pada hadis antara lain hadis Nabi yang artinya, "Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya.
Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya" (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas). serta hadis riwayat Ibnu Majah. "Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual." (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).Juga hadis Nabi riwayat Tirmidzi: "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram" (HR. Tirmidzi dari Amr bin Auf).
Landasan lain
Disamping Al-Quran dan hadis, Agus mengatakan, yang dijadikan landasan hukum DSN MUI juga ijma, qiyas, kaidah figihnya serta pernyataan para ulama. Dengan rujukan tersebut, pada 1 April 2000 (26 Dzulhijjah 1420 H) DSN MUI memfatwakan bahwa tabungan ada dua jenis.
Pertama tabungan yang tidak dibenarkan secara syari'ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi'ah.
Ketentuan umum tabungan berdasarkan Mudharabah dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari'ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Sedangkan ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi'ah menurut fatwa tersebut, kata Agus, harus bersifat simpanan. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasar-kan kesepakatan. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank. (aep s.a./"GM")**
Dalam fatwanya No. 02/DSN-MUI/Iv/2000 Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) menekankan bahwa kegiatan tabungan tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam (syari'ah).
"Oleh karena itu DSN memandang perlu menetapkan fatwa bentuk-bentuk mu'amalah syar'yah yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tabungan pada bank syari'ah," ungkap Peneliti Senior Direktorat Bank Islam, Bank Indonesia, Agus Fajri Zam kepada "GM", di ruang kerjanya, Jln. Merdeka, Bandung, belum lama ini.
Menurut Agus, yang dijadikan rujukan DSN MUI dalam menetapkan fatwa tersebut antara lain Al Quran Surat (QS) An-Nisa ayat 29 yang artinya "Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramuÖ".
Selain itu, katanya, firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 283 yang artinya "Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya".Juga Firman Allah QS. Al-Ma'idah ayat 1-2 yang artinya, "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu" serta "dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan".
Merujuk pada hadis
Selain beberapa ayat dalam Al-Qur'an, Agus mengatakan, dalam fatwa yang ditandatangani Prof. KH. Ali Yafie (ketua) dan Drs. H.A. Nazri Adlani (sekretaris) itu juga merujuk pada hadis antara lain hadis Nabi yang artinya, "Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya.
Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya" (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas). serta hadis riwayat Ibnu Majah. "Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual." (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).Juga hadis Nabi riwayat Tirmidzi: "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram" (HR. Tirmidzi dari Amr bin Auf).
Landasan lain
Disamping Al-Quran dan hadis, Agus mengatakan, yang dijadikan landasan hukum DSN MUI juga ijma, qiyas, kaidah figihnya serta pernyataan para ulama. Dengan rujukan tersebut, pada 1 April 2000 (26 Dzulhijjah 1420 H) DSN MUI memfatwakan bahwa tabungan ada dua jenis.
Pertama tabungan yang tidak dibenarkan secara syari'ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi'ah.
Ketentuan umum tabungan berdasarkan Mudharabah dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari'ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Sedangkan ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi'ah menurut fatwa tersebut, kata Agus, harus bersifat simpanan. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasar-kan kesepakatan. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank. (aep s.a./"GM")**