KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Khaerudin memberi makan ikan yang dibesarkan di keramba jaring apung di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Sabtu (26/3). Lebih dari 3 kuintal pakan setiap hari dibutuhkan untuk membesarkan ikan-ikannya. Sebanyak 14 jenis ikan asli Sungai Citarum diperkirakan punah dalam kurun 40 tahun hingga 2007. Selain oleh perubahan habitat pemijahan dan pembesaran akibat pembendungan sungai, ikan-ikan itu punah karena tak mampu beradaptasi dengan air yang kian tercemar. Jeje (64), nelayan di Desa Galumpit, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta, Rabu (30/3) siang, memejamkan mata sejenak saat diminta mengingat ikan-ikan langka yang pernah tertangkap jaringnya. "Kebogerang, gabus, dan hampal beberapa kali kena, tetapi lika, arengan, dan balidra sudah lama ngga (tertangkap)," ujarnya. Ada beberapa jenis ikan yang sudah tidak dia ingat lagi namanya karena bertahun-tahun tak terjaring. Kini, seperti ratusan nelayan lain di perairan Waduk Ir H Djuanda atau Waduk Jatiluhur, Jeje lebih sering menangkap ikan nila, mas, dan patin yang juga banyak dibudidayakan di petak-petak keramba jaring apung, atau bandeng yang benihnya pernah ditebar pemerintah beberapa tahun terakhir. Nelayan lain yang lebih muda dari Jeje lebih kesulitan menyebut nama-nama ikan asli Citarum. Mereka mengaku belum pernah menangkap atau melihatnya secara langsung. Sejumlah pemancing dan nelayan berusia 28-35 tahun bahkan mengaku baru mendengar beberapa nama ikan seperti genggehek, balidra, dan lika. Aris (34), pemancing asal Pangalengan, Kabupaten Bandung, yang 2-3 kali dalam sepekan memancing di perairan Waduk Cirata, juga lebih sering menangkap ikan budidaya (tebaran) ketimbang ikan asli. "Kalau pun dapat ikan asli, biasanya jenis kebogerang atau gabus," kata Aris. Endi Setiadi Kartamihardja, peneliti Pusat Riset Perikanan Tangkap dalam Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 8 Tahun 2008 menyebutkan, pada kurun 1968-1977 terdapat 31 jenis ikan hidup di Waduk Ir H Djuanda, waduk yang membendung Sungai Citarum di Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Sebanyak 23 jenis di antaranya adalah ikan asli (indigenous species) dan 8 jenis sisanya adalah ikan tebaran. Akan tetapi, pada penelitian tahun 1998-2007, dari 23 jenis ikan asli, hanya ditemukan 9 jenis yakni hampal (Hampala macrolepidota), lalawak (Barbodes bramoides), beunteur (Puntius binotatus), tagih (Mystus nemurus), kebogerang (Mystus negriceps), lais (Lais hexanema), lele (Clarias bratachus), lempuk (Callichrous bimaculatus), dan gabus (Channa striatus). Sementara ikan tebaran, seperti mas (Cyrpinus carpio) dan mujair (Oreochromis mosammbicus), cenderung bertahan. Ikan-ikan yang sudah tidak ditemukan lagi dan diduga kuat punah antara lain julung-julung (Dermogenys pusillus), tilan (Macrognathus aculeatus), tawes (Barbodes gonionotus), genggehek (Mystacoleucus marginatus), arengan (Labeo crysophaekadion), kancra (Tor douronensis), nilem (Osteochillus hasselti), dan paray (Rasbora argyrotaenia). Pencemaran Kepala Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Didik Wahju Hendro Tjahjo menambahkan, penyebab utama berkurangnya keanekaragam jenis ikan di suatu perairan adalah hilangnya habitat. Pembendungan Sungai Citarum seiring dibangunnya Waduk Ir H Djuanda (1967), Saguling (1985), dan Cirata (1987), merubah ekosistem perairan dari mengalir menjadi tergenang. Hal senada dilontarkan Guru Besar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Bandung Johan Iskandar mengatakan penelitiannya di awal 1990-an, menyebutkan ada 23 jenis ikan liar yang umum ditangkap penduduk lokal dari Sungai Citarum. Ikan itu antara lain sidat, lika, kebogerang, hinur, arengan, genggehek, beunteur, lalawak, leat, berod, balidra, gabus, lais, jambal dan lemp Namun keberadaan ikan itu semakin hari semakin berkurang. Bahkan, ada banyak ikan yang dulu banyak ditemukan kini mulai jarang terlihat, seperti arengan, lempuk, balidra dan jambal. Penyebabnya perubahan kontur air sungai Citarum yang deras menjadi waduk yang berair tenang, pencemaran limbah pestisida lahan pertanian, limbah industri dan limbah rumah tangga. Tidak hanya itu, karena banyaknya jenis-jenis ikan yang hilang dapat pula menyebabkan hilangnya berbagai pengetahuan lokal masyarakat, seperti pengetahuan tentang jenis-jenis ikan, kehidupan jenis-jenis ikan, teknik-teknik penangkapan ikan. "Contohnya budaya palika atau penangkap ikan di Jawa Barat. Palika memiliki kemampuan menahan nafas yang sangat lama di dalam air untuk mencari ikan di air derasa seperti Citarum. Seiring tidak ada lagi ikan lincah karena hidup di air deras, palika pun ditinggalkan. Masyarakat cukup menjala atau memancing," katanya. Dalam perkembangannya, fungsi waduk bertambah seiring introduksi teknologi keramba jaring apung (KJA) sejak 1988. Jumlah KJA terus bertambah hingga menambah jumlah kotoran dan sisa pakan yang terbuang dan mengendap di dasar waduk. Menurut Didik, limbah KJA membuat kandungan unsur nitrat, nitrit, dan amonia meningkat sehingga perairan menjadi subur. Organisme perairan seperti plankton, bentos, dan tumbuhan pun berkembang pesat. Dampaknya, kandungan oksigen rentan anjlok karena diperebutkan oleh organisme perairan dalam proses respirasi terutama pada malam hari. Minimnya kandungan oksigen dinilai turut memicu kematian ikan-ikan budidaya secara massal untuk pertama kalinya di Waduk Ir H Djuanda pada tahun 1996. Meledaknya jumlah KJA setelah tahun 2000 melipatgandakan jumlah limbah yang terbuang dan membuat mutu air menurun dan kasus kematian ikan massal berulang. Kondisi itu diperparah dengan masuknya limbah industri dan rumah tangga dari hulu Citarum. Dampak berkurangnya jenis ikan dan keanekaragaman hayati merubah ekosistem perairan dan mengurangi fungsi ekohidrologinya. Fungsi pemurnian air secara alami tidak berjalan semestinya karena sebagian jenis ikan dan biota akuatik yang seharusnya ada dalam daur ekohidrologi menjadi berkurang atau hilang. Upaya memperbaiki mutu perairan seperti dengan penebaran benih ikan pemakan plankton dan tumbuhan, menurut Didik, belum efektif karena jumlahnya belum memadahi dan penangkapan tak terkendali. Waduk Ir H Djuanda, misalnya, membutuhkan 4,2 juta hingga 10 juta bibit ikan pemakan plankton, namun beberapa tahun terakhir jumlah yang ditebar kurang dari separuhnya. Ikan-ikan ukuran kecil yang seharusnya tidak boleh ditangkap juga sering ditemukan di tempat-tempat penampung ikan. Belum lagi limbah organik dan non-organik yang terus masuk ke Citarum, membuat ikan-ikan kian sulit hidup. Jika bisa bicara, hampal, lalawak, beunteur, tagih, dan ikan lain yang masih bertahan mungkin akan teriak, "Selamatkan kami segera!"((M. Kurniawan/Cornelius Helmy)