Perkembangan pembangunan di Kota Bandung seperti di perkotaan lain di Indonesia, sangatlah dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi (manusia) akibat urbanisasi, terutama para pendatang yang akhirnya menetap. Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung menyebutkan Sejak tahun 1970-an, khususnya pada dekade pertama, sampai tahun 1980-an, 35% dari pertumbuhan total di semua sektor pembangunan lingkungan perkotaan adalah akibat gelombang urbanisasi yang dipacu oleh pembangunan fisik sarana dan prasarana kota yang merupakan daya tarik sekaligus daya dorong bagi para warga yang ingin memperoleh peluang kehidupan lebih baik. Laju pembangunan itu pula yang menyebabkan perkembangan kota seolah tanpa arah (urban sprawl). Hal tersebut berdampak terhadap keadaan biofisik lingkungan yang “tertekan” dengan semakin buruknya sanitasi lingkungan, menurunnya kualitas air permukaan dan udara Kota dan diperparah dengan semakin rendahnya laju produksi air tanah di wilayah cekungan bandung.
Kondisi lingkungan hidup di Bandung masih berada di bawah rata-rata Standar Indeks Kualitas Lingkungan Hidup nasional yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Indeks kualitas lingkungan hidup tersebut di nilai dari tiga parameter yang dikeluarkan KLH yaitu penutupan lahan, kualitas air dan kualitas udara.Menurut data yang kami peroleh, saat ini nilai indeks lingkungan hidup Kota Bandung hanya mencapai 49,59 padahal penilaian yang dikeluarkan KLH dari 0 sampai 100, standar minimal nasional yang harus dicapai nilainya 60”. Tiga parameter penilaian tersebutmenyebutkanKota Bandung masih kurang dalam penutupan lahan dan kualitas air.
Penutupan lahan di Bandungmasih kurang dari 10%, padahal menurut standar tata ruang, penutupan lahan itu minimalnya mencapai angka 30%. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, secara khusus Undang- Undang ini mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di perkotaan, yang proporsi luasnya ditetapkan minimal 30 % dari luas wilayah kota, yang diisi dengan tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Seluas 20% harus dibangun oleh Pemerintah Kota (disebut dengan Ruang Terbuka Hijau Publik), dan 10% nya harus dibangun oleh warga di halaman atau pekarangan milik warga (disebut dengan Ruang Terbuka Hijau Privat).
Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Pertamanan, kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menunjukkan bahwa luas RTH Bandung sebesar 1.466 ha atau sekitar 8,76% dari seluruh luas wilayah Kota Bandung. Jauh dari kondisi ideal yaitu 30% luas wilayah kota.Lahan-lahan hijau dan pepohonan di Kota Bandung kini banyak yang kehilangan fungsinya sebagai penyejuk kota dan peredam pencemaran, dan berganti dengan bangunan-bangunan komersial. Lingkungan Bandung semakin memperhatinkan.Selain masalah degradasi lingkungan Bandung masih memiliki permasalahan utama yaitu sampah dan polusi yang kian meningkat.
Berkurangnya luas lahan terbuka hijau dan jumlah pepohonan menjadikan udara semakin panas. Jumlah pohon yang kurang menjadikan ketersediaan oksigen semakin berkurang juga. Padahal oksigen sangat diperlukan untuk menentukan kualitas udara sekitar kehidupan manusia. Berkurang lahan terbuka diperparah dengan polusi udara yang secara khusus dihasilkan oleh asap knaplot kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan bermotor yang “berseliweran” di Kota Bandung sekitar ratus ribu buah. Begitupun kendaraan roda empat, semakin bertambah dan memadati ruas jalan yang tidak bertambah dan berkembang.
Kalau kita melihat dari puncak Kawasan Utara, semisal Dago Bengkok, Kota Bandung nampak cekung dengan sekelilingnya dibatasi pegunungan. Kalau dipagi hari tanpak agak bersih dan sesekali muncul embun, tapi ketika disiang hari tanpa kehitam-hitaman yang ditengarai karena penumpukan asap dari knalpot motor dan mobil. Asap polutan itu lama sirnanya, mengingat kurang tertiup angin dan kalaupun angin berhembus tidak serta merta menghilangkan polutan itu karena Kota Bandung berbentuk cekung. Hal demikian berbeda apabila kondisinya di pantai yang seberkas polusi itu akan mudah terhempas angin.
Polusi yang tidak mudah hilang, dan ditambah udara yang lembab diperkirakan polusi akan berada dan menyatu dengan embun-embun. Apabila ini tetap berada dan dihirup oleh kita, maka menimbulkan rasa sesak dan pusing-pusing.
Menurut pengamatan kami, udara kota Bandung kurang cocok untuk olah raga speda. Kecuali untuk kawasan utara Bandung seperti, Dago Bengkok, Lembang sebelah Timur (Cibodas), Gunung Manglayang. Pada kawasan ini, udaranya relatif kecil terkontaminasi polutan asap knalpot. Jadi, jika kita ingin mendapatkan udata yang baik, maka “larilah” ke kawasan tersebut. Paling tidak satu minggu sekali menghirup udara segar, baik dengan jalan kaki maupun berspeda.
Untuk menjadi Kota Bandung segar dan berudara bersih, tentunya harus dilakukan perbanyakan ruang terbuka hijau minimal 20 kali dari ruang yang sekarang tersedia. Memperbanyak pohon-pohon, mungkin ratusan kali banyaknya dibandingkan yang sekarang tersedia. Gerakan menanam pohon harus dijadikan kegiatan harian mulai tingkat pejabat atas sampai masyarakat. Ijin-ijin pendirian mall, pasar modern, pertokoan sudah waktunya distop. Masyarakat dihimbau untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor khususnya dihari seperti Sabtu dan Minggu. Memperluas area Car Free Day dan membudayakan penggunaan speda untuk kesekolah, ke kampus dan ke tempat kerja. Bike To School, Bike To Campus and Bike to work.
Kita harus berusaha terus menerus. Agar Kota Bandung kembali segar dan berudara bersih. Itu semua memerlukan kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Tanpa itu, niscaya sulit tercapai dan Kota Bandung akan semakin terperosok pada jurang kehancuran. Mulailah dari sekarang.
Kondisi lingkungan hidup di Bandung masih berada di bawah rata-rata Standar Indeks Kualitas Lingkungan Hidup nasional yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Indeks kualitas lingkungan hidup tersebut di nilai dari tiga parameter yang dikeluarkan KLH yaitu penutupan lahan, kualitas air dan kualitas udara.Menurut data yang kami peroleh, saat ini nilai indeks lingkungan hidup Kota Bandung hanya mencapai 49,59 padahal penilaian yang dikeluarkan KLH dari 0 sampai 100, standar minimal nasional yang harus dicapai nilainya 60”. Tiga parameter penilaian tersebutmenyebutkanKota Bandung masih kurang dalam penutupan lahan dan kualitas air.
Penutupan lahan di Bandungmasih kurang dari 10%, padahal menurut standar tata ruang, penutupan lahan itu minimalnya mencapai angka 30%. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, secara khusus Undang- Undang ini mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di perkotaan, yang proporsi luasnya ditetapkan minimal 30 % dari luas wilayah kota, yang diisi dengan tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Seluas 20% harus dibangun oleh Pemerintah Kota (disebut dengan Ruang Terbuka Hijau Publik), dan 10% nya harus dibangun oleh warga di halaman atau pekarangan milik warga (disebut dengan Ruang Terbuka Hijau Privat).
Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Pertamanan, kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menunjukkan bahwa luas RTH Bandung sebesar 1.466 ha atau sekitar 8,76% dari seluruh luas wilayah Kota Bandung. Jauh dari kondisi ideal yaitu 30% luas wilayah kota.Lahan-lahan hijau dan pepohonan di Kota Bandung kini banyak yang kehilangan fungsinya sebagai penyejuk kota dan peredam pencemaran, dan berganti dengan bangunan-bangunan komersial. Lingkungan Bandung semakin memperhatinkan.Selain masalah degradasi lingkungan Bandung masih memiliki permasalahan utama yaitu sampah dan polusi yang kian meningkat.
Berkurangnya luas lahan terbuka hijau dan jumlah pepohonan menjadikan udara semakin panas. Jumlah pohon yang kurang menjadikan ketersediaan oksigen semakin berkurang juga. Padahal oksigen sangat diperlukan untuk menentukan kualitas udara sekitar kehidupan manusia. Berkurang lahan terbuka diperparah dengan polusi udara yang secara khusus dihasilkan oleh asap knaplot kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan bermotor yang “berseliweran” di Kota Bandung sekitar ratus ribu buah. Begitupun kendaraan roda empat, semakin bertambah dan memadati ruas jalan yang tidak bertambah dan berkembang.
Kalau kita melihat dari puncak Kawasan Utara, semisal Dago Bengkok, Kota Bandung nampak cekung dengan sekelilingnya dibatasi pegunungan. Kalau dipagi hari tanpak agak bersih dan sesekali muncul embun, tapi ketika disiang hari tanpa kehitam-hitaman yang ditengarai karena penumpukan asap dari knalpot motor dan mobil. Asap polutan itu lama sirnanya, mengingat kurang tertiup angin dan kalaupun angin berhembus tidak serta merta menghilangkan polutan itu karena Kota Bandung berbentuk cekung. Hal demikian berbeda apabila kondisinya di pantai yang seberkas polusi itu akan mudah terhempas angin.
Polusi yang tidak mudah hilang, dan ditambah udara yang lembab diperkirakan polusi akan berada dan menyatu dengan embun-embun. Apabila ini tetap berada dan dihirup oleh kita, maka menimbulkan rasa sesak dan pusing-pusing.
Menurut pengamatan kami, udara kota Bandung kurang cocok untuk olah raga speda. Kecuali untuk kawasan utara Bandung seperti, Dago Bengkok, Lembang sebelah Timur (Cibodas), Gunung Manglayang. Pada kawasan ini, udaranya relatif kecil terkontaminasi polutan asap knalpot. Jadi, jika kita ingin mendapatkan udata yang baik, maka “larilah” ke kawasan tersebut. Paling tidak satu minggu sekali menghirup udara segar, baik dengan jalan kaki maupun berspeda.
Untuk menjadi Kota Bandung segar dan berudara bersih, tentunya harus dilakukan perbanyakan ruang terbuka hijau minimal 20 kali dari ruang yang sekarang tersedia. Memperbanyak pohon-pohon, mungkin ratusan kali banyaknya dibandingkan yang sekarang tersedia. Gerakan menanam pohon harus dijadikan kegiatan harian mulai tingkat pejabat atas sampai masyarakat. Ijin-ijin pendirian mall, pasar modern, pertokoan sudah waktunya distop. Masyarakat dihimbau untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor khususnya dihari seperti Sabtu dan Minggu. Memperluas area Car Free Day dan membudayakan penggunaan speda untuk kesekolah, ke kampus dan ke tempat kerja. Bike To School, Bike To Campus and Bike to work.
Kita harus berusaha terus menerus. Agar Kota Bandung kembali segar dan berudara bersih. Itu semua memerlukan kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Tanpa itu, niscaya sulit tercapai dan Kota Bandung akan semakin terperosok pada jurang kehancuran. Mulailah dari sekarang.