Oleh: ADE FARIYANI
BULAN Oktober dikenal sebagai bulan bahasa. Momen ini dirayakan sebagai tugu penghormatan dan kebanggaan atas bahasa Indonesia. Adalah bahasa Indonesia yang sejak tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda dijadikan sebagai bahasa persatuan. Masih kita ingat bahwa terdapat tiga poin yang disepakati dalam kumpulan pemuda terpelajar se-Indonesia saat itu. Yakni bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Bisa kita bayangkan situasi saat itu, perwakilan pemuda negeri dari berbagai suku seperti Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Madura, dan lain-lain bermusyawarah untuk menyepakati salah satu hal vital bagi sebuah bangsa. Jauh sebelum panji kemerdekaan berkibar, para pemuda bervisi ke depan itu sudah merancang bahasa yang kelak akan digunakan sebagai tonggak komunikasi negara.
Dengan latar belakang budaya yang berbeda, para pemuda yang dominan lahir dari keluarga bangsawan itu berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Karena saat itu, baik dalam pendidikan dan pergaulan mereka menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Sedangkan bahasa suku hanya digunakan untuk membangun keakraban di keluarga atau dengan masyarakat awam.
Setelah peristiwa Sumpah Pemuda, pada Kongres Bahasa Indonesia II di Medan tahun 1954 ditetapkanlah bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pemilihan dan penetapan ini tak luput dari adu mulut dan bersitegang. Karena saat itu hingga kini pun bahasa melayu adalah bahasa pergaulan ketiga yang kerap digunakan setelah bahasa Jawa dan Sunda. Dapat kita lihat jumlah penduduk Jawa yang merajai sebagian besar penduduk Indonesia. Namun dengan hati legowo, kemufakatan ini dapat dicapai.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional ini merupakan usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Pemilihan bahasa Melayu ini sangat diperhitungkan secara matang. Salah satu pertimbangannya adalah ia sudah digunakan sejak masa kerajaan Hindu-budha masih berkuasa. Dapat dilihat dalam Prasasti Kedukan Bukit (638 M) di Palembang yang menggunakan bahasa Melayu meski ditulis dalam huruf Pallawa. Bahasa Melayu pun menjadi linguis franca (bahasa pergaulan) saat kafilah dagang dari Gujarat dan Cina singgah di nusantara. Sejak zaman majapahit, ia menjadi bahasa pergaulan di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan sebagainya) hingga Asia Tenggara.
Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu khususnya bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, "Jang dinamakan ëBahasa Indonesiaà jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ëMelajoe RiaoeÃ, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.".
Peran bahasa amatlah vital bagi sebuah negara. Ia adalah tiang konektivitas dalam menjalankan pemerintahan dalam sebuah negara. Memilikinya merupakan pokok utama dalam perkembangan suatu bangsa baik itu di bidang pendidikan, politik, pertahanan dan keamanan. Selepas pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan perkembangan kebangkitan bangsa mulai menggeliat.
Bahasa Indonesia dibagi menjadi dua fungsi yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Pada UUD 1945 pasal 36 bab XV disebutkan bahwa bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Bahasa negara berfungsi sebagai bahasa resmi dalam pemerintahan, bahasa pengantar dalam pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan bahasa nasional digunakan dalam pergaulan antarsuku sebagai kebanggaan dan identitas nasional. Bahasa ini diaplikasikan agar tercipta satu kepaduan dan konektivitas yang sama. Dapat kita bayangkan jika tak ada bahasa penghubung, percakapan maka suku Bugis dan Jawa takkan mencapai titik temu.
Sempat terdengar wacana, bahwa bahasa Indonesia akan diusung dalam pemilihan bahasa ASEAN. Di satu sisi kita patut berbangga. Namun di sisi lain, adakah bahasa persatuan kita ini mampu untuk unggul dari bahasa dari naegara lain? Dibandingkan negara seperti Jepang, Korea, Cina, India yang memiliki keunggulan dengan mampunya mempertahankan bahasa dan hurufnya yang otentik. Sedangkan Indonesia lebih memilih untuk menggunakan huruf latin dan seakan mengubur huruf Pallawa yang notabene salah satu kekayaan bangsa yang patut dibanggakan.
Mengapa bahasa asing?
Penggunaan bahasa gaul atau lebih yang kini populer dengan bahasa alay serta sikap antipati generasi muda kini terhadap karya sastra Indonesia perlu menjadi renungan. Padahal disanalah dapat kita akrabi dan jelajahi kekayaan literasi Indonesia. Mejamurnya novel remaja seperti chicklit, teenlit seakan menggeser kesohoran Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Buya Hamka, Idrus, Abdul Moeis, dan penulis seangkatannya.
Pun ketidaktegasan pemerintah memberlakukan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) menyampaikan bahasa asing sebagai pengantar pendidikan. Bukankah sudah jelas dalam UUD 1945 bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia, yang salah satu fungsinya adalah sebagai pengantar dalam pendidikan? Bila dibiarkan bergulir seperti ini, maka merupakan sebuah keniscayaan jika kecintaan bangsa terhadap bahasa Indonesia kian terkikis.
Sikap positif itulah yang harus dibangun oleh kita, generasi muda Indonesia. Karena masa depan Bahasa Indonesia sebagai penentu eksistensi bangsa ada di tangan kita. Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya "Malay Archipelago" bahwa, penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda. Jika bangsa asing pun begitu memuja kebudayaan kita, mengapa kita tidak? Selamat merayakan bulan bahasa! (Penulis adalah aktivis Forum Lingkar Pena)** Sumber: Galamedia
BULAN Oktober dikenal sebagai bulan bahasa. Momen ini dirayakan sebagai tugu penghormatan dan kebanggaan atas bahasa Indonesia. Adalah bahasa Indonesia yang sejak tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda dijadikan sebagai bahasa persatuan. Masih kita ingat bahwa terdapat tiga poin yang disepakati dalam kumpulan pemuda terpelajar se-Indonesia saat itu. Yakni bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Bisa kita bayangkan situasi saat itu, perwakilan pemuda negeri dari berbagai suku seperti Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Madura, dan lain-lain bermusyawarah untuk menyepakati salah satu hal vital bagi sebuah bangsa. Jauh sebelum panji kemerdekaan berkibar, para pemuda bervisi ke depan itu sudah merancang bahasa yang kelak akan digunakan sebagai tonggak komunikasi negara.
Dengan latar belakang budaya yang berbeda, para pemuda yang dominan lahir dari keluarga bangsawan itu berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Karena saat itu, baik dalam pendidikan dan pergaulan mereka menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Sedangkan bahasa suku hanya digunakan untuk membangun keakraban di keluarga atau dengan masyarakat awam.
Setelah peristiwa Sumpah Pemuda, pada Kongres Bahasa Indonesia II di Medan tahun 1954 ditetapkanlah bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pemilihan dan penetapan ini tak luput dari adu mulut dan bersitegang. Karena saat itu hingga kini pun bahasa melayu adalah bahasa pergaulan ketiga yang kerap digunakan setelah bahasa Jawa dan Sunda. Dapat kita lihat jumlah penduduk Jawa yang merajai sebagian besar penduduk Indonesia. Namun dengan hati legowo, kemufakatan ini dapat dicapai.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional ini merupakan usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Pemilihan bahasa Melayu ini sangat diperhitungkan secara matang. Salah satu pertimbangannya adalah ia sudah digunakan sejak masa kerajaan Hindu-budha masih berkuasa. Dapat dilihat dalam Prasasti Kedukan Bukit (638 M) di Palembang yang menggunakan bahasa Melayu meski ditulis dalam huruf Pallawa. Bahasa Melayu pun menjadi linguis franca (bahasa pergaulan) saat kafilah dagang dari Gujarat dan Cina singgah di nusantara. Sejak zaman majapahit, ia menjadi bahasa pergaulan di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan sebagainya) hingga Asia Tenggara.
Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu khususnya bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, "Jang dinamakan ëBahasa Indonesiaà jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ëMelajoe RiaoeÃ, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.".
Peran bahasa amatlah vital bagi sebuah negara. Ia adalah tiang konektivitas dalam menjalankan pemerintahan dalam sebuah negara. Memilikinya merupakan pokok utama dalam perkembangan suatu bangsa baik itu di bidang pendidikan, politik, pertahanan dan keamanan. Selepas pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan perkembangan kebangkitan bangsa mulai menggeliat.
Bahasa Indonesia dibagi menjadi dua fungsi yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Pada UUD 1945 pasal 36 bab XV disebutkan bahwa bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Bahasa negara berfungsi sebagai bahasa resmi dalam pemerintahan, bahasa pengantar dalam pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan bahasa nasional digunakan dalam pergaulan antarsuku sebagai kebanggaan dan identitas nasional. Bahasa ini diaplikasikan agar tercipta satu kepaduan dan konektivitas yang sama. Dapat kita bayangkan jika tak ada bahasa penghubung, percakapan maka suku Bugis dan Jawa takkan mencapai titik temu.
Sempat terdengar wacana, bahwa bahasa Indonesia akan diusung dalam pemilihan bahasa ASEAN. Di satu sisi kita patut berbangga. Namun di sisi lain, adakah bahasa persatuan kita ini mampu untuk unggul dari bahasa dari naegara lain? Dibandingkan negara seperti Jepang, Korea, Cina, India yang memiliki keunggulan dengan mampunya mempertahankan bahasa dan hurufnya yang otentik. Sedangkan Indonesia lebih memilih untuk menggunakan huruf latin dan seakan mengubur huruf Pallawa yang notabene salah satu kekayaan bangsa yang patut dibanggakan.
Mengapa bahasa asing?
Penggunaan bahasa gaul atau lebih yang kini populer dengan bahasa alay serta sikap antipati generasi muda kini terhadap karya sastra Indonesia perlu menjadi renungan. Padahal disanalah dapat kita akrabi dan jelajahi kekayaan literasi Indonesia. Mejamurnya novel remaja seperti chicklit, teenlit seakan menggeser kesohoran Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Buya Hamka, Idrus, Abdul Moeis, dan penulis seangkatannya.
Pun ketidaktegasan pemerintah memberlakukan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) menyampaikan bahasa asing sebagai pengantar pendidikan. Bukankah sudah jelas dalam UUD 1945 bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia, yang salah satu fungsinya adalah sebagai pengantar dalam pendidikan? Bila dibiarkan bergulir seperti ini, maka merupakan sebuah keniscayaan jika kecintaan bangsa terhadap bahasa Indonesia kian terkikis.
Sikap positif itulah yang harus dibangun oleh kita, generasi muda Indonesia. Karena masa depan Bahasa Indonesia sebagai penentu eksistensi bangsa ada di tangan kita. Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya "Malay Archipelago" bahwa, penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda. Jika bangsa asing pun begitu memuja kebudayaan kita, mengapa kita tidak? Selamat merayakan bulan bahasa! (Penulis adalah aktivis Forum Lingkar Pena)** Sumber: Galamedia