-

Friday, October 14, 2011

Buah Impor Vs Buah Lokal

Oleh: DENI KUSMAWAN
SAAT melintas di Pasar Batujajar, Kab. Bandung Barat (KBB), perhatian saya tertuju pada apel impor yang berjejer menghiasi jongko pedagang kaki lima. Melihat warnanya yang ranum membuat lidah ini ingin menikmati rasa manisnya. Buah impor kini memang sudah dekat dengan masyarakat, pergerakan pasarnya hampir memembus pasar tradisional karena harganya yang bersaing dengan buah lokal.

Untuk memperoleh apel washington atau apel fuji, buah pear, buah kiwi, dan jeruk cina, tidak perlu lagi datang ke supermaket atau swalayan. Buah-buahan impor ini berdampingan dengan buah lokal seperti apel malang, mangga indramayu, dan jeruk medan.

Entah mengapa ada rasa ketir tersendiri saat melihat akselerasi buah impor yang merupakan bagian dari bergulirnya pasar bebas. Pertanyaan mendasar yang muncul dari benak apakah petani kita bisa bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat? Melihat pada kenyataan tesebut, perdagangan bebas yang mengondisikan barang keluar masuk lintas negara dengan bebas, menegaskan bahwa globalisasi berimbas juga pada agroindustri lokal.

Berdasarkan catatan, Indonesia meratifikasi WTO pada tahun 1994. Sejak menjadi anggota WTO, tarif impor rata-rata, produk pertanian Indonesia cenderung terus menurun. Pada tahun 1994 tarif impor rata-rata produk pertanian berkisar 26,1 % dan terus menurun hingga 5 % pada tahun 1998. Sepanjang masa itu produk pertanian impor mendapatkan insentif untuk masuk ke pasar dalam negeri. Sepanjang masa itu preferensi konsumen dalam negeri mulai bergeser ke produk pertanian impor.

Masyarakat kita kadang lebih bangga dan terkesan bergengsi apabila mengonsumsi buah atau pun sayuran impor. Mereka tidak sadar bahwa perilaku seperti itu tidak ada pembelaan terhadap eksistensi petani yang berjuang untuk tetap mempertahankan buah lokal di pasaran.

Sebagai masyarakat konsumen kadang kita tidak berpikir jauh. Tampilan fisik barang atau makanan yang menarik itu yang menjadi daya tarik bagi kita. Padahal kualitas dan kandungan zat pada buah lokal tidak kalah dengan buah impor. Kepastian ini saya lihat pada saat nonton TV tentang buah lokal yang dikatakan si rupa buruk yang berkualitas. Sedangkan untuk buah impor disindir sebagai si cantik yang belum tentu baik.

Masyarakat awam seperti kita, pernyataan dari seorang ahli pertanian IPB bahwa masa panen dan perjalanan buah impor yang cukup panjang dan sampai ke konsumen bisa mengurangi kualitas buah, meskipun secara fisik terlihat tidak ada yang berubah. Namun berbeda dengan buah lokal yang berdekatan dengan masa panen dan saat buah tiba di hadapan kita untuk dinikmati.

Hingga akhirnya, kita harus menggiring masyarakat pada kearifan agar tetap mendukung dan memerhatikan buah-buah lokal yang dihasilkan secara susah payah oleh petani kita. Oleh karena itu, tidak tabu menikmati buah impor. Namun buah lokal harus diutamakan. Artinya lebih mencintai produk dalam negeri dibanding produk luar negeri.

Akhir kata, saya ingin menyampaikan selamat berjuang kepada para petani yang tetap konsisten di tengah gempuran produk impor. Mempertahankan eksistensi buah lokal di pasaran adalah harga mati yang harus diperjuangkan! (Wartawan Galamedia)**

Artikel yang Berkaitan

0 komentar:

-

Post a Comment