Oleh: IDRIS APANDI
KORUPSI terjadi hampir di setiap kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan politisi. Politisi adalah orang yang bergerak atau berkecimpung di dunia politik. Politik sejatinya dapat diartikan sebagai ikhtiar mengelola negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Politik adalah lahan pengabdian untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Menjadi politisi adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia. Para politisi menduduki jabatan-jabatan tertentu di lembaga politik seperti legislatif dan eksekutif. Politisi bisa muncul dari partai politik atau dari perseorangan.
Melihat fenomena beberapa tahun terakhir memang sangat memprihatinkan. Banyak politisi yang harus duduk di meja hijau dan dijeblosan ke penjara karena terlibat kasus korupsi. Bukan hanya politisi di tingkat pusat, politisi di tingkat daerah pun banyak yang terjerat korupsi. Lahan basah yang menjadi objek korupsi para politisi adalah APBD dan APBN. Bahkan ada yang nyambi menjadi calo anggaran.
Kasus-kasus korupsi seperti kasus suap Sesmenpora, suap di Kemenakertrans, kasus surat Palsu MK yang melibatkan politisi dan birokrat sedrta aparat penegak hukum. Saat ini pun muncul tuntutan agar Badan Anggaran (banggar) DPR dibubarkan karena disinyalir hanya menjadi ajang korupsi dan calo anggaran. Beberapa pimpinan banggar DPR beberapa waktu yang lalu diperiksa sebagai saksi oleh KPK. Buntutnya, banggar pun ngambek mengancam menghentikan pembahasan APBN 2012. Selain itu, hubungan antara banggar DPR dan KPK pun menjadi kurang harmonis. Kita juga tentu masih ingat, beberapa waktu yang lalu dua orang pimpinan KPK, yaitu Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto pun pernah diusir oleh Komisi III DPR pada saat menghadiri rapat. Hal tersebut membuktikan bahwa hubungan antara KPK dan DPR kurang harmonis. Sudah cukup banyak anggota DPR yang dijebloskan oleh penjara oleh KPK sementara di satu sisi, para pimpinan KPK tersebut dipilih oleh DPR, sehingga ada semacam anggapan bahwa KPK justru menyerang lembaga yang dulu memilihnya.
Survei Kemitraan tahun 2010 memperlihatkan bahwa lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup dibandingkan lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, eksekutif 32% dan Yudikatif 70%. Hasil survei tersebut dapat menjadi indikator bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga politik atau politisi sudah sangat rendah. Dampaknya, mungkin saja pada saat pemilu atau pemilukada, masyarakat sudah apatis dan memilih menjadi golput karena merasa dikhianati oleh para politisi yang mereka pilih.
Para politisi tersebut dipilih dan diberi amanah oleh masyarakat dengan harapan mampu memberikan perubahan dan mewujudkan kesejahteraan, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Para politisi tersebut justru menjadikan lembaga legislatif dan eksekutif sebagai sarana untuk korupsi dan memperkaya diri sementara rakyat yang memilihnya dilupakan, tetap miskin. Ketika kita bertanya kepada seorang politisi, mengapa mencalonkan diri menjadi caleg, Kepala Daerah, atau Presiden sekalipun, pasti jawabannya ideal, yaitu ingin mengabdi untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Mereka pun berjanji akan melakukan ini dan itu untuk memajukan daerah. Tetapi hal tersebut ternyata hanya menjadi bumbu kampanye, lip service tanpa upaya yang sungguh-sungguh utnuk merealisasikannya. Setelah menjadi pemimpin, justru kekayaan mereka semakin bertambah, sementara rakyat banyak yang hidup kesusahan. Masyarakat pun terpaksa harus kecewa dengan pilihannya tersebut.
Jika kita perhatikan, usia politisi yang terlibat kasus korupsi cenderung semakin muda. Misalnya kasus korupsi yang menimpa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin yang berusia sekitar 30 tahunan yang juga turut menyeret beberapa nama anggota DPR yang berasal dari partai Demokrat yang usianya pun masih muda. Apakah ini merupakan sinyal bahwa terjadi "kaderisasi" korupsi dari politisi senior kepada politisi junior? Jawabannya bisa "ya" atau juga bisa "tidak" tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Yang jelas, para politisi yang masih baru seumur jagung akan melihat gerak-gerik dan perilaku para politisi senior. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Di satu sisi pemerintah gencar memberantas korupsi, tetapi pelaku korupsi semakin banyak dan usianya semakin muda.
Maraknya korupsi yang dilakukan oleh politisi seolah-olah mengidentikkan dunia politik dengan korupsi. Stigma yang muncul adalah bahwa setiap politisi pasti (pernah) korupsi. Para pemimpin saat ini memang banyak yang dihujat oleh rakyatnya karena terjerat korupsi. Saat ini sulit sekali mencari pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Walaupun demikian, diantara banyaknya politisi yang korup, penulis melihat masih ada politisi yang bersih dan bisa menjadi panutan. Joko Widodo, Walikota Solo, Jawa Tengah adalah salah satu politisi yang menurut penulis perlu mendapatkan credit point. Beliau begitu dicintai rakyatnya karena dinilai sebagai sosok pemimpin yang bersih, merakyat, berpihak kepada kepentingan rakyat, mampu melindungi pasar tradisional sebagai urat nadi perekonomian rakyat dari serbuan pasar modern dengan melarang berdirinya mall di kota Solo. Meskipun tidak sepaham dengan Bibit waluyo, Gubernur Jawa Tengah dalam konsep pengembangan ekonomi, tetapi Joko Widodo punya prinsip dan mendapat dukungan masyarakat Solo.
Selain itu Adam Dambea, Walikota Gorontalo. Beliau sungguh-sungguh memberantas korupsi di kota Gorontalo. Beliau pun terjun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan masyarakat, tanggap terhadap setiap keluhan masyarakat, dan menjadi sosok terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beliau terkenal pemimpin yang tegas, tak segan-segan menindak stafnya yang tidak melaksanakan tugas dengan baik. Beliau menjadi sosok pemimpin yang disegani oleh bawahan dan dicintai oleh rakyat karena satunya perkataan dan perbuatan.
Penulis melihat bahwa korupsi yang terjadi di kalangan politisi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena rendahnya moralitas dan integritas sehingga menyebabkan mereka tergiur untuk korupsi. Ketika pertama kali masuk ke dunia politik, seorang politisi mungkin masih memiliki idealisme, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan sistem yang kotor, maka idealismenya tersebut lambat laun terus menurun bahkan hilang.
Kedua, mahalnya biaya politik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ketika seseorang mencalonkan diri menjadi caleg atau Kepala Daerah, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dana tersebut disamping berasal dari dirinya sendiri, juga berasal dari "sumbangan" pengusaha sehingga ketika dia terpilih, maka langka yang pertama dilakukan adalah mengembalikan modalnya dan harus memberikan bakpas budi kepada pihak-pihak yang telah menyumbang dan menjadi tim suksesnya. Peribahasa Inggris mengatakan "no lunch free" alias tak ada makan siang gratis. Sumbangan yang diberikan dari pihak tertentu kepada seorang politisi tentunya disertai dengan motif tertentu, sangat sulit lepas dari kepentingan terselubung penyumbang.
Ketiga, gagalnya kaderisasi dan pendidikan politik di partai politik. Realita menunjukan bahwa ketika seseorang ingin menjadi ketua parpol, maka dia harus memiliki "gizi" yang banyak, sehingga politik uang, politik transaksional pun terjadi ketika pemilihan ketua parpol. Orang yang tidak berdarah-darah meniti karir politik dari bawah mendadak bisa menjadi elit partai karena memiliki uang. Salah satu fungsi parpol adalah menjadi sarana pendidikan politik, membentuk orang-orang muda untuk menjadi politisi yang idealis,bermoral, dan militan, tetapi ternyata hanya melahirkan politisi karbitan dan pragmatis, hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Hal ini tidak lepas dari praktek di internal parpol sendiri yang penuh dengan instrik dan politik uang.
Penulis menilai bahwa parpol adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap korupsi yang dilakukan oleh politisi karena parpol telah gagal menjalankan fungsinya. Dalam sebuah negara demokrasi, keberadaan parpol adalah sebuah keniscayaan sebagai agen untuk melahirkan pemimpin. Keikutsertaan parpol dalam pemilu adalah sebuah ikhtiar konstitusional untuk membangun sebuah tatanan negara dan pemerintahan yang bisa mewujudkan negara bangsa yang makmur dan sejahtera. Oleh karena itu, keberadaan parpol dibutuhkan dalam sebuah negara demokratis. Partai politik pun kerap dituding sebagai bunker yang melindungi koruptor sehingga komitmen parpol sebagai lembaga yang antikorupsi pun semakin diragukan.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah rendah tersebut, partai politik secara institusi dan politisi secara individu harus introspeksi diri, memperbaiki diri, membersihkan dirinya dari para kader yang korup. Integritas dan kejujuran merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh kader-kader parpol. Jika tidak, maka keberadaan parpol semakin tidak dipercaya dan semakin tidak dibutuhkan oleh masyarakat. (Penulis, praktisi pendidikan, pemerhati sosial)** Galamedia
KORUPSI terjadi hampir di setiap kalangan masyarakat, tak terkecuali di kalangan politisi. Politisi adalah orang yang bergerak atau berkecimpung di dunia politik. Politik sejatinya dapat diartikan sebagai ikhtiar mengelola negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Politik adalah lahan pengabdian untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Menjadi politisi adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia. Para politisi menduduki jabatan-jabatan tertentu di lembaga politik seperti legislatif dan eksekutif. Politisi bisa muncul dari partai politik atau dari perseorangan.
Melihat fenomena beberapa tahun terakhir memang sangat memprihatinkan. Banyak politisi yang harus duduk di meja hijau dan dijeblosan ke penjara karena terlibat kasus korupsi. Bukan hanya politisi di tingkat pusat, politisi di tingkat daerah pun banyak yang terjerat korupsi. Lahan basah yang menjadi objek korupsi para politisi adalah APBD dan APBN. Bahkan ada yang nyambi menjadi calo anggaran.
Kasus-kasus korupsi seperti kasus suap Sesmenpora, suap di Kemenakertrans, kasus surat Palsu MK yang melibatkan politisi dan birokrat sedrta aparat penegak hukum. Saat ini pun muncul tuntutan agar Badan Anggaran (banggar) DPR dibubarkan karena disinyalir hanya menjadi ajang korupsi dan calo anggaran. Beberapa pimpinan banggar DPR beberapa waktu yang lalu diperiksa sebagai saksi oleh KPK. Buntutnya, banggar pun ngambek mengancam menghentikan pembahasan APBN 2012. Selain itu, hubungan antara banggar DPR dan KPK pun menjadi kurang harmonis. Kita juga tentu masih ingat, beberapa waktu yang lalu dua orang pimpinan KPK, yaitu Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto pun pernah diusir oleh Komisi III DPR pada saat menghadiri rapat. Hal tersebut membuktikan bahwa hubungan antara KPK dan DPR kurang harmonis. Sudah cukup banyak anggota DPR yang dijebloskan oleh penjara oleh KPK sementara di satu sisi, para pimpinan KPK tersebut dipilih oleh DPR, sehingga ada semacam anggapan bahwa KPK justru menyerang lembaga yang dulu memilihnya.
Survei Kemitraan tahun 2010 memperlihatkan bahwa lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup dibandingkan lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, eksekutif 32% dan Yudikatif 70%. Hasil survei tersebut dapat menjadi indikator bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga politik atau politisi sudah sangat rendah. Dampaknya, mungkin saja pada saat pemilu atau pemilukada, masyarakat sudah apatis dan memilih menjadi golput karena merasa dikhianati oleh para politisi yang mereka pilih.
Para politisi tersebut dipilih dan diberi amanah oleh masyarakat dengan harapan mampu memberikan perubahan dan mewujudkan kesejahteraan, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Para politisi tersebut justru menjadikan lembaga legislatif dan eksekutif sebagai sarana untuk korupsi dan memperkaya diri sementara rakyat yang memilihnya dilupakan, tetap miskin. Ketika kita bertanya kepada seorang politisi, mengapa mencalonkan diri menjadi caleg, Kepala Daerah, atau Presiden sekalipun, pasti jawabannya ideal, yaitu ingin mengabdi untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Mereka pun berjanji akan melakukan ini dan itu untuk memajukan daerah. Tetapi hal tersebut ternyata hanya menjadi bumbu kampanye, lip service tanpa upaya yang sungguh-sungguh utnuk merealisasikannya. Setelah menjadi pemimpin, justru kekayaan mereka semakin bertambah, sementara rakyat banyak yang hidup kesusahan. Masyarakat pun terpaksa harus kecewa dengan pilihannya tersebut.
Jika kita perhatikan, usia politisi yang terlibat kasus korupsi cenderung semakin muda. Misalnya kasus korupsi yang menimpa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin yang berusia sekitar 30 tahunan yang juga turut menyeret beberapa nama anggota DPR yang berasal dari partai Demokrat yang usianya pun masih muda. Apakah ini merupakan sinyal bahwa terjadi "kaderisasi" korupsi dari politisi senior kepada politisi junior? Jawabannya bisa "ya" atau juga bisa "tidak" tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Yang jelas, para politisi yang masih baru seumur jagung akan melihat gerak-gerik dan perilaku para politisi senior. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Di satu sisi pemerintah gencar memberantas korupsi, tetapi pelaku korupsi semakin banyak dan usianya semakin muda.
Maraknya korupsi yang dilakukan oleh politisi seolah-olah mengidentikkan dunia politik dengan korupsi. Stigma yang muncul adalah bahwa setiap politisi pasti (pernah) korupsi. Para pemimpin saat ini memang banyak yang dihujat oleh rakyatnya karena terjerat korupsi. Saat ini sulit sekali mencari pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya. Walaupun demikian, diantara banyaknya politisi yang korup, penulis melihat masih ada politisi yang bersih dan bisa menjadi panutan. Joko Widodo, Walikota Solo, Jawa Tengah adalah salah satu politisi yang menurut penulis perlu mendapatkan credit point. Beliau begitu dicintai rakyatnya karena dinilai sebagai sosok pemimpin yang bersih, merakyat, berpihak kepada kepentingan rakyat, mampu melindungi pasar tradisional sebagai urat nadi perekonomian rakyat dari serbuan pasar modern dengan melarang berdirinya mall di kota Solo. Meskipun tidak sepaham dengan Bibit waluyo, Gubernur Jawa Tengah dalam konsep pengembangan ekonomi, tetapi Joko Widodo punya prinsip dan mendapat dukungan masyarakat Solo.
Selain itu Adam Dambea, Walikota Gorontalo. Beliau sungguh-sungguh memberantas korupsi di kota Gorontalo. Beliau pun terjun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan masyarakat, tanggap terhadap setiap keluhan masyarakat, dan menjadi sosok terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beliau terkenal pemimpin yang tegas, tak segan-segan menindak stafnya yang tidak melaksanakan tugas dengan baik. Beliau menjadi sosok pemimpin yang disegani oleh bawahan dan dicintai oleh rakyat karena satunya perkataan dan perbuatan.
Penulis melihat bahwa korupsi yang terjadi di kalangan politisi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena rendahnya moralitas dan integritas sehingga menyebabkan mereka tergiur untuk korupsi. Ketika pertama kali masuk ke dunia politik, seorang politisi mungkin masih memiliki idealisme, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan sistem yang kotor, maka idealismenya tersebut lambat laun terus menurun bahkan hilang.
Kedua, mahalnya biaya politik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ketika seseorang mencalonkan diri menjadi caleg atau Kepala Daerah, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dana tersebut disamping berasal dari dirinya sendiri, juga berasal dari "sumbangan" pengusaha sehingga ketika dia terpilih, maka langka yang pertama dilakukan adalah mengembalikan modalnya dan harus memberikan bakpas budi kepada pihak-pihak yang telah menyumbang dan menjadi tim suksesnya. Peribahasa Inggris mengatakan "no lunch free" alias tak ada makan siang gratis. Sumbangan yang diberikan dari pihak tertentu kepada seorang politisi tentunya disertai dengan motif tertentu, sangat sulit lepas dari kepentingan terselubung penyumbang.
Ketiga, gagalnya kaderisasi dan pendidikan politik di partai politik. Realita menunjukan bahwa ketika seseorang ingin menjadi ketua parpol, maka dia harus memiliki "gizi" yang banyak, sehingga politik uang, politik transaksional pun terjadi ketika pemilihan ketua parpol. Orang yang tidak berdarah-darah meniti karir politik dari bawah mendadak bisa menjadi elit partai karena memiliki uang. Salah satu fungsi parpol adalah menjadi sarana pendidikan politik, membentuk orang-orang muda untuk menjadi politisi yang idealis,bermoral, dan militan, tetapi ternyata hanya melahirkan politisi karbitan dan pragmatis, hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Hal ini tidak lepas dari praktek di internal parpol sendiri yang penuh dengan instrik dan politik uang.
Penulis menilai bahwa parpol adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap korupsi yang dilakukan oleh politisi karena parpol telah gagal menjalankan fungsinya. Dalam sebuah negara demokrasi, keberadaan parpol adalah sebuah keniscayaan sebagai agen untuk melahirkan pemimpin. Keikutsertaan parpol dalam pemilu adalah sebuah ikhtiar konstitusional untuk membangun sebuah tatanan negara dan pemerintahan yang bisa mewujudkan negara bangsa yang makmur dan sejahtera. Oleh karena itu, keberadaan parpol dibutuhkan dalam sebuah negara demokratis. Partai politik pun kerap dituding sebagai bunker yang melindungi koruptor sehingga komitmen parpol sebagai lembaga yang antikorupsi pun semakin diragukan.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sudah rendah tersebut, partai politik secara institusi dan politisi secara individu harus introspeksi diri, memperbaiki diri, membersihkan dirinya dari para kader yang korup. Integritas dan kejujuran merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh kader-kader parpol. Jika tidak, maka keberadaan parpol semakin tidak dipercaya dan semakin tidak dibutuhkan oleh masyarakat. (Penulis, praktisi pendidikan, pemerhati sosial)** Galamedia