Oleh: BAMBANG SOEGIHARTO
JIKA kita menerawang ke masa lampau pada zaman kemerdekaan, maka 2 momen bersejarah yang menjadi titik pangkal bangkitnya rasa nasionalisme, kebangsaan, persatuan bangsa Indonesia sebelum Indonesia Merdeka 1945. Momen pertama di awali dengan berdirinya Budi Utomo tanggal 20 mei 1908 yang hingga saat ini kita peringati sebagai hari Kebangkitan Nasional dan momen yang kedua adalah Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Mungkin sebagian besar para pemuda Indonesia sudah banyak yang melupakan peristiwa Sumpah Pemuda. Tidak seharusnya hal ini terjadi pada bangsa yang sedang tumbuh dan berkembang seperti negara indonesia ini. Karena negara yang besar adalah negara yang mampu menhormati jasa para pahlawannya. Termasuk jasa-jasa dan semangat para pemuda kita di era kelahiran kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa sejarah Sumpah Pemuda merupakan suatu pengakuan dari pemuda-pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari kerapatan pemuda-pemudi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Kongres Pemuda II dilaksanakan tiga sesi di tiga tempat oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Uy Kay Siang, dan Tjoi jien Kwie.
Isi Dari Sumpah Pemuda Hasil Kongres Pemuda II, "Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Dalam peristiwa sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Supratman. Lagu "Indonesia Raya" dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.
Sumpah Pemuda mempunyai makna yang sangat mendalam bagi bangsa ini, sumpah pemuda berisi ikrar bersatunya dan disatukannya tunas-tunas bangsa oleh kesamaan tanah air, bangsa dan bahasa. Ini mengingatkan kembali jati diri kita sebagai bagian dari NKRI yang harus senantiasa menjaga dan mempertahankan NKRI dari segala macam tantangan, ancaman maupun krisis.
Saya mencoba merefleksikannya. Jika kita mengaku bertumpah darah yang satu adalah maka sangat tercela melakukan perbuatan yang merugikan bangsa sendiri. Bukan berarti boleh merugikan bangsa lain. Jika dulu, musuh utama kita adalah penjajah kolonial Belanda, maka saat ini adalah para penguasa atau pemegang salah satu otoritas yang dengan itu telah melakukan kesewenang-wenangan dalam bentuk korupsi dan manipulasi menghisap uang negara (rakyat) sama dengan perilaku penjajah menyedot sumber daya alam dan manusia bangsa ini.
Perilaku korup ini atau yang lebih dikenal dengan istilah KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) telah menyebabkan semakin suburnya persoalan kemiskinan yang dihadapi bangsa ini. Berbagai kebijakan program pembangunan secara ril malah menguntungkan segolongan orang yang sudah menikmati kemewahan.
Mengaku bertumpah darah yang satu, menegaskan bahwa bangsa ini harus tegak di dalam kemandirian yang kokoh. Pondasi perekonomian kita yang secara makro masih tergantung pada bantuan luar negeri serta beberapa sumber daya alam yang dikuasai oleh pihak asing menandakan bahwa kebijakan tersebut tidak mencerminkan seseorang yang mengaku bertumpah darah yang satu. Bentuk penguasaan ini adalah koloni era masa penjajahan baru yang lebih halus, maknanya sama apa yang telah dilakukan penjajah kolonial Belanda, Portugis dan Jepang, sama walau tak serupa.
Mengaku berbangsa yang satu berarti mengejawantahkan perlunya pembanguan karakter national building, diperlukan pengelolaan peran yang lebih proporsional secara assimilatif menembus batas-batas wilayah, suku dan golongan, semua berlandaskan pada basis kompetensi yang handal dan semua orang memiliki akses yang sama meraih kompetensi tersebut. Sekat-sekat aliran dan primordialisme harus diminimalisir pada scala yang lebih kecil agar tidak menjadi kendala dan menjadi isu massif untuk meraih kepentingan-kepentingan tertentu.
Sejarah bangsa ini berasal dari Sabang sampai Merauke, nasionalisme manajemen pengelolaan peran harus bisa mengakomodasi dan memberikan akses seluas-luasnya sesuai kompetensi yang dimiliki. Nasionalisme budaya harus berdiri pada kekuatan entitas lokal, namun pada saat yang sama penguatan entitas lokal sebagai budaya nasional tidak mempengaruhi di dalam assimilasi pengelolaan peran.
Sebagai misal menyahuti komitmen ini, dengan mempertimbangkan tingginya tingkat kepadatan penduduk pulau Jawa terutama wilayah DKI, perlu dipikirkan lebih lanjut untuk memindahkan ibukota pemerintahan negara ke luar dari pulau Jawa. DKI cukup menjadi pusat bisnis dan industri serta perlu dikembangkannya pusat-pusat industri baru yang berbasis sumber daya alam yang dimiliki di setiap wilayah kepulauan dan daratan.
Intinya tantangan besar ke depan yang dihadapi adalah meminimalisir kesenjangan pembangunan antar wilayah, kepentingan nasional harus lebih dikedepankan dari kepentingan golongan dan pribadi, namun pada saat yang sama kepentingan nasional tidak boleh berdiri dengan mengorbankan kepentingan pribadi seorang pun.
Pendidikan adalah ideologi pembebasan bagi setiap orang dan hanya orang terdidik yang memiliki potensi menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Bahasa mencerminkan sikap perilaku, moral dan budaya bangsa, dengan demikian semua jenjang pendidikan negeri atau yang difasilitasi oleh negara seharusnya dapat dinikmati gratis, berapun dana yang dibutuhkan untuk itu dan semua orang bisa mengaksesnya sesuai kemampuan dalam kompetensi yang jujur, transparan dan akuntabel. Semua lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta tidak boleh menjadi lahan bisnis, semua pelaku pendidikan harus mendapat jaminan kesejahtraan yang layak dari profesi mereka masing-masing di segala level tingkatan.
PAda peringatan Sumpah Pemuda, saatnya kita mengimbau semua pihak untuk merenungkan kembali perjalanan bangsa ini, bagaimana para pemuda di masa lalu bisa bersatu dalam kondisinya yang terbatas, belum ada lagi tanda-tanda kemerdekaan tapi mereka menyadari pentingnya persatuan guna memperkuat pegangan menghadapi masa depan yang lebih baik.
Nah, kita yang sudah mengecap kemerdekaan selama 66 tahun seharusnya lebih terbuka untuk menyelesaikan agenda reformasi yang terbengkalai agar kemajuan bangsa dan negara tidak sebatas mimpi di siang bolong. Justru itu, saat ini kita memerlukan pejuang-pejuang yang dapat menumbuhkan kembali semangat sumpah pemuda dan nasionalisme yang kian memudar mengingat tantangan ke depan semakin berat dan kompeks. (Penulis, guru IPS di SMP Negeri 51 Bandung)**Galamedia
JIKA kita menerawang ke masa lampau pada zaman kemerdekaan, maka 2 momen bersejarah yang menjadi titik pangkal bangkitnya rasa nasionalisme, kebangsaan, persatuan bangsa Indonesia sebelum Indonesia Merdeka 1945. Momen pertama di awali dengan berdirinya Budi Utomo tanggal 20 mei 1908 yang hingga saat ini kita peringati sebagai hari Kebangkitan Nasional dan momen yang kedua adalah Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Mungkin sebagian besar para pemuda Indonesia sudah banyak yang melupakan peristiwa Sumpah Pemuda. Tidak seharusnya hal ini terjadi pada bangsa yang sedang tumbuh dan berkembang seperti negara indonesia ini. Karena negara yang besar adalah negara yang mampu menhormati jasa para pahlawannya. Termasuk jasa-jasa dan semangat para pemuda kita di era kelahiran kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa sejarah Sumpah Pemuda merupakan suatu pengakuan dari pemuda-pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari kerapatan pemuda-pemudi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Kongres Pemuda II dilaksanakan tiga sesi di tiga tempat oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Uy Kay Siang, dan Tjoi jien Kwie.
Isi Dari Sumpah Pemuda Hasil Kongres Pemuda II, "Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Dalam peristiwa sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Supratman. Lagu "Indonesia Raya" dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.
Sumpah Pemuda mempunyai makna yang sangat mendalam bagi bangsa ini, sumpah pemuda berisi ikrar bersatunya dan disatukannya tunas-tunas bangsa oleh kesamaan tanah air, bangsa dan bahasa. Ini mengingatkan kembali jati diri kita sebagai bagian dari NKRI yang harus senantiasa menjaga dan mempertahankan NKRI dari segala macam tantangan, ancaman maupun krisis.
Saya mencoba merefleksikannya. Jika kita mengaku bertumpah darah yang satu adalah maka sangat tercela melakukan perbuatan yang merugikan bangsa sendiri. Bukan berarti boleh merugikan bangsa lain. Jika dulu, musuh utama kita adalah penjajah kolonial Belanda, maka saat ini adalah para penguasa atau pemegang salah satu otoritas yang dengan itu telah melakukan kesewenang-wenangan dalam bentuk korupsi dan manipulasi menghisap uang negara (rakyat) sama dengan perilaku penjajah menyedot sumber daya alam dan manusia bangsa ini.
Perilaku korup ini atau yang lebih dikenal dengan istilah KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) telah menyebabkan semakin suburnya persoalan kemiskinan yang dihadapi bangsa ini. Berbagai kebijakan program pembangunan secara ril malah menguntungkan segolongan orang yang sudah menikmati kemewahan.
Mengaku bertumpah darah yang satu, menegaskan bahwa bangsa ini harus tegak di dalam kemandirian yang kokoh. Pondasi perekonomian kita yang secara makro masih tergantung pada bantuan luar negeri serta beberapa sumber daya alam yang dikuasai oleh pihak asing menandakan bahwa kebijakan tersebut tidak mencerminkan seseorang yang mengaku bertumpah darah yang satu. Bentuk penguasaan ini adalah koloni era masa penjajahan baru yang lebih halus, maknanya sama apa yang telah dilakukan penjajah kolonial Belanda, Portugis dan Jepang, sama walau tak serupa.
Mengaku berbangsa yang satu berarti mengejawantahkan perlunya pembanguan karakter national building, diperlukan pengelolaan peran yang lebih proporsional secara assimilatif menembus batas-batas wilayah, suku dan golongan, semua berlandaskan pada basis kompetensi yang handal dan semua orang memiliki akses yang sama meraih kompetensi tersebut. Sekat-sekat aliran dan primordialisme harus diminimalisir pada scala yang lebih kecil agar tidak menjadi kendala dan menjadi isu massif untuk meraih kepentingan-kepentingan tertentu.
Sejarah bangsa ini berasal dari Sabang sampai Merauke, nasionalisme manajemen pengelolaan peran harus bisa mengakomodasi dan memberikan akses seluas-luasnya sesuai kompetensi yang dimiliki. Nasionalisme budaya harus berdiri pada kekuatan entitas lokal, namun pada saat yang sama penguatan entitas lokal sebagai budaya nasional tidak mempengaruhi di dalam assimilasi pengelolaan peran.
Sebagai misal menyahuti komitmen ini, dengan mempertimbangkan tingginya tingkat kepadatan penduduk pulau Jawa terutama wilayah DKI, perlu dipikirkan lebih lanjut untuk memindahkan ibukota pemerintahan negara ke luar dari pulau Jawa. DKI cukup menjadi pusat bisnis dan industri serta perlu dikembangkannya pusat-pusat industri baru yang berbasis sumber daya alam yang dimiliki di setiap wilayah kepulauan dan daratan.
Intinya tantangan besar ke depan yang dihadapi adalah meminimalisir kesenjangan pembangunan antar wilayah, kepentingan nasional harus lebih dikedepankan dari kepentingan golongan dan pribadi, namun pada saat yang sama kepentingan nasional tidak boleh berdiri dengan mengorbankan kepentingan pribadi seorang pun.
Pendidikan adalah ideologi pembebasan bagi setiap orang dan hanya orang terdidik yang memiliki potensi menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Bahasa mencerminkan sikap perilaku, moral dan budaya bangsa, dengan demikian semua jenjang pendidikan negeri atau yang difasilitasi oleh negara seharusnya dapat dinikmati gratis, berapun dana yang dibutuhkan untuk itu dan semua orang bisa mengaksesnya sesuai kemampuan dalam kompetensi yang jujur, transparan dan akuntabel. Semua lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta tidak boleh menjadi lahan bisnis, semua pelaku pendidikan harus mendapat jaminan kesejahtraan yang layak dari profesi mereka masing-masing di segala level tingkatan.
PAda peringatan Sumpah Pemuda, saatnya kita mengimbau semua pihak untuk merenungkan kembali perjalanan bangsa ini, bagaimana para pemuda di masa lalu bisa bersatu dalam kondisinya yang terbatas, belum ada lagi tanda-tanda kemerdekaan tapi mereka menyadari pentingnya persatuan guna memperkuat pegangan menghadapi masa depan yang lebih baik.
Nah, kita yang sudah mengecap kemerdekaan selama 66 tahun seharusnya lebih terbuka untuk menyelesaikan agenda reformasi yang terbengkalai agar kemajuan bangsa dan negara tidak sebatas mimpi di siang bolong. Justru itu, saat ini kita memerlukan pejuang-pejuang yang dapat menumbuhkan kembali semangat sumpah pemuda dan nasionalisme yang kian memudar mengingat tantangan ke depan semakin berat dan kompeks. (Penulis, guru IPS di SMP Negeri 51 Bandung)**Galamedia