Oleh: ACEP HERMAWAN
CERITA tentang parpol dan negara demokrasi adalah cerita yang tidak ada habisnya. Begitu pula dengan cerita tentang parpol dan korupsi. Korupsi parpol adalah geneologi kekuasaan, dan kekuasaan selamanya akan bersimbiosis mutualisme dengan parpol. Karena memang sudah "kodrat" parpol sebagai organisasi kekuasaan. Sumber daya parpol terdistribusi di sebagian besar badan atau instansi strategis. Mulai dari lembaga negara, departemen hingga BUMN.
Di lembaga negara, sumber daya parpol tersebar di berbagai lembaga; mulai dari Presiden, DPR, DPRD hingga Menteri. Undang-undang mensyaratkan presiden dari unsur parpol. Demikian pula dengan DPR dan DPRD kabupaten/ kota. Semuanya dari parpol, kecuali DPD. Beberapa menteri negara juga berasal dari unsur parpol. Demikian pula di sejumlah departemen dan BUMN strategis. Pejabatnya diisi oleh kalangan parpol tertentu. Mereka terikat "kontrak" dengan parpol. Semuanya untuk satu tujuan. Menambah pundi-pundi pemasukan parpol.
Kekuasaaan yang besar ini jika tidak dikelola secara professional berpotensi melahirkan korupsi. Sesuai dictum Lord Acton, Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.. Bahwa kekuasaan yang besar cenderung korup. Di Indonesia, cerita tentang korupsi parpol bukanlah isu yang baru muncul. Apalagi pasca tertangkapnya Nazaruddin, mantan bendahara umum partai Demokrat yang membeberkan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan partainya. Termasuk keterlibatan Anas Urbaningrum selaku ketua umum Demokrat dan Kemenpora Andi Malarangeng.
Badan Anggaran (Banggar) DPR juga tidak luput dari korupsi. Praktik mafia anggaran mulai terkuak setelah pengakuan seorang anggota DPR tentang dugaan adanya praktik mafia anggaran. Publik ramai-ramai mengkritisi Banggar yang dianggap menghidupkan calo anggaran di DPR. Calo anggaran dengan beragam topeng dan profesi. Mulai pengusaha sampai pejabat. Topengnya mulai dari keluarga hingga rekan bisnis. Semuanya berkontribusi melanggengkan praktik korupsi di tanah air.
Reduksi kedaulatan negara
Pada akhirnya, kuatnya hegemoni parpol ini telah mereduksi kedaulatan negara. Kedaulatan negara berubah menjadi kedaulatan parpol. Semuanya diatur oleh parpol. Negara hanya sebagai alat untuk melegitimasi hasrat kekuasaan parpol. Undang-undang dan penegak hukum hanya sebagai instrument formal sebagai syarat adanya sebuah negara. Ketika berhadapan dengan kekuatan politik, penegak hukum sungkan bahkan takut memprosesnya.
Lihat saja bagaimana penyelesaian kasus korupsi besar di tanah air. Hampir semuanya selesai di meja politik. Dengan mengorbankan pelaku teri dan melindungi pelaku kakap. Kasus Century selesai pada Robert Tantular. Kasus mafia pajak selesai pada Gayus dan pejabat Dirjen Pajak. Kasus surat palsu (mungkin) selesai di Hasan seorang diri. Kasus wisma atlet juga (mungkin) selesai di seorang Nazaruddin.
Kuatnya hegemoni parpol korup yang kian mengakar akan sulit untuk dibasmi secara tuntas, karena selalu melahirkan generasi-generasi yang mewarisi bakat dan kekuatan yang sama. Dibutuhkan para pejuang seberani Ibrahim as saat berhadapan dengan Namrudz dan setangguh Musa as saat berhadapan dengan Firaun.
Orientasi parpol yang seharusnya memperjuangkan aspirasi masyarakat, bergeser menjadi mesin ATM yang tugasnya mengumpulkan rupiah. Oleh anggotanya, parpol selama ini hanya diposisikan sebagai kendaraan politik. Orientasi ini telah mereduksi fungsi parpol sebagai organisasi politik yang memfasilitasi dan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat. Konsekuensi dari sikap meletakan parpol sekedar sebagai kendaraan politik hanya akan melegitimasi elitisme parpol di Indonesia.
Dalam kondisi demikian, publik melihat parpol sebenarnya tidak lebih dari sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit yang berkuasa untuk memuaskan birahi kekuasaannya sendiri. Parpol hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui melalui pemilihan umum, untuk memaksanakan berlakunya kebijakan-kebjiakan publik tertentu untuk kepentingan segolongan orang. Bahkan menurut Robert Michels, Parpol seperti organisasi pada umumnya, selalu melahirkan dominasi yang bersifat oligarkis.
Teriakan Dick the Butcher
The first thing we do, let's kill all the lawyer! Demikian teriakan Dick the Butcher, tokoh yang mengkreasi William Shakespeare dalam Henry IV, Part II sering dikumandangkan masyarakat yang kecewa dengan aparat penegak hukum yang korup. Let's kill all the lawyer adalah ekspresi kekecewaan masyarakat pada aparat penegak hukum yang korup, khususnya terhadap advokat (lawyers) yang seharusnya menjadi panutan dalam penegakan hukum.
Boleh jadi, teriakan itu juga dialamatkan pada parpol korup jika dari sekarang parpol ini tidak memperbaiki komitmennya pada negara, utamanya pada rakyat sebagai konstituennya, dengan tidak melakukan atau membuka ruang bagi korupsi.
Kedudukan dan peranan setiap lembaga di negara demokrasi memang diidealkan sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Namun, jika lembaga-lembaga negara tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah penegak hokum yang curang dan parpol koruplah yang merajalela, menguasai, mengendalikan fungsi-fungsi pemerintahan, dan melahirkan generasi baru yang mewarisi bakat korupsi dan syahwat kekuasaan.
Karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi prinsip check and balances dalam arti luas. (Penulis, kandidat doktor pendidikan UIN SGD Bandung, Direktur Eksekutif Najah Islamic Centre Cileunyi)**
CERITA tentang parpol dan negara demokrasi adalah cerita yang tidak ada habisnya. Begitu pula dengan cerita tentang parpol dan korupsi. Korupsi parpol adalah geneologi kekuasaan, dan kekuasaan selamanya akan bersimbiosis mutualisme dengan parpol. Karena memang sudah "kodrat" parpol sebagai organisasi kekuasaan. Sumber daya parpol terdistribusi di sebagian besar badan atau instansi strategis. Mulai dari lembaga negara, departemen hingga BUMN.
Di lembaga negara, sumber daya parpol tersebar di berbagai lembaga; mulai dari Presiden, DPR, DPRD hingga Menteri. Undang-undang mensyaratkan presiden dari unsur parpol. Demikian pula dengan DPR dan DPRD kabupaten/ kota. Semuanya dari parpol, kecuali DPD. Beberapa menteri negara juga berasal dari unsur parpol. Demikian pula di sejumlah departemen dan BUMN strategis. Pejabatnya diisi oleh kalangan parpol tertentu. Mereka terikat "kontrak" dengan parpol. Semuanya untuk satu tujuan. Menambah pundi-pundi pemasukan parpol.
Kekuasaaan yang besar ini jika tidak dikelola secara professional berpotensi melahirkan korupsi. Sesuai dictum Lord Acton, Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.. Bahwa kekuasaan yang besar cenderung korup. Di Indonesia, cerita tentang korupsi parpol bukanlah isu yang baru muncul. Apalagi pasca tertangkapnya Nazaruddin, mantan bendahara umum partai Demokrat yang membeberkan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan partainya. Termasuk keterlibatan Anas Urbaningrum selaku ketua umum Demokrat dan Kemenpora Andi Malarangeng.
Badan Anggaran (Banggar) DPR juga tidak luput dari korupsi. Praktik mafia anggaran mulai terkuak setelah pengakuan seorang anggota DPR tentang dugaan adanya praktik mafia anggaran. Publik ramai-ramai mengkritisi Banggar yang dianggap menghidupkan calo anggaran di DPR. Calo anggaran dengan beragam topeng dan profesi. Mulai pengusaha sampai pejabat. Topengnya mulai dari keluarga hingga rekan bisnis. Semuanya berkontribusi melanggengkan praktik korupsi di tanah air.
Reduksi kedaulatan negara
Pada akhirnya, kuatnya hegemoni parpol ini telah mereduksi kedaulatan negara. Kedaulatan negara berubah menjadi kedaulatan parpol. Semuanya diatur oleh parpol. Negara hanya sebagai alat untuk melegitimasi hasrat kekuasaan parpol. Undang-undang dan penegak hukum hanya sebagai instrument formal sebagai syarat adanya sebuah negara. Ketika berhadapan dengan kekuatan politik, penegak hukum sungkan bahkan takut memprosesnya.
Lihat saja bagaimana penyelesaian kasus korupsi besar di tanah air. Hampir semuanya selesai di meja politik. Dengan mengorbankan pelaku teri dan melindungi pelaku kakap. Kasus Century selesai pada Robert Tantular. Kasus mafia pajak selesai pada Gayus dan pejabat Dirjen Pajak. Kasus surat palsu (mungkin) selesai di Hasan seorang diri. Kasus wisma atlet juga (mungkin) selesai di seorang Nazaruddin.
Kuatnya hegemoni parpol korup yang kian mengakar akan sulit untuk dibasmi secara tuntas, karena selalu melahirkan generasi-generasi yang mewarisi bakat dan kekuatan yang sama. Dibutuhkan para pejuang seberani Ibrahim as saat berhadapan dengan Namrudz dan setangguh Musa as saat berhadapan dengan Firaun.
Orientasi parpol yang seharusnya memperjuangkan aspirasi masyarakat, bergeser menjadi mesin ATM yang tugasnya mengumpulkan rupiah. Oleh anggotanya, parpol selama ini hanya diposisikan sebagai kendaraan politik. Orientasi ini telah mereduksi fungsi parpol sebagai organisasi politik yang memfasilitasi dan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat. Konsekuensi dari sikap meletakan parpol sekedar sebagai kendaraan politik hanya akan melegitimasi elitisme parpol di Indonesia.
Dalam kondisi demikian, publik melihat parpol sebenarnya tidak lebih dari sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit yang berkuasa untuk memuaskan birahi kekuasaannya sendiri. Parpol hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui melalui pemilihan umum, untuk memaksanakan berlakunya kebijakan-kebjiakan publik tertentu untuk kepentingan segolongan orang. Bahkan menurut Robert Michels, Parpol seperti organisasi pada umumnya, selalu melahirkan dominasi yang bersifat oligarkis.
Teriakan Dick the Butcher
The first thing we do, let's kill all the lawyer! Demikian teriakan Dick the Butcher, tokoh yang mengkreasi William Shakespeare dalam Henry IV, Part II sering dikumandangkan masyarakat yang kecewa dengan aparat penegak hukum yang korup. Let's kill all the lawyer adalah ekspresi kekecewaan masyarakat pada aparat penegak hukum yang korup, khususnya terhadap advokat (lawyers) yang seharusnya menjadi panutan dalam penegakan hukum.
Boleh jadi, teriakan itu juga dialamatkan pada parpol korup jika dari sekarang parpol ini tidak memperbaiki komitmennya pada negara, utamanya pada rakyat sebagai konstituennya, dengan tidak melakukan atau membuka ruang bagi korupsi.
Kedudukan dan peranan setiap lembaga di negara demokrasi memang diidealkan sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Namun, jika lembaga-lembaga negara tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah penegak hokum yang curang dan parpol koruplah yang merajalela, menguasai, mengendalikan fungsi-fungsi pemerintahan, dan melahirkan generasi baru yang mewarisi bakat korupsi dan syahwat kekuasaan.
Karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi prinsip check and balances dalam arti luas. (Penulis, kandidat doktor pendidikan UIN SGD Bandung, Direktur Eksekutif Najah Islamic Centre Cileunyi)**