SEBELUMNYA diceritakan pada zaman DI/TII masyarakat Garut membuat tempat persembunyian di dalam ”bewak”, sebuah lubang besar seperti goa. Suatu ketika ada anggota gorombolan (sebutan untuk anggota DI/TII) masuk ke bewak dan mati. Bukan tertembak atau dikeroyok melainkan dipatuk ular. Bagaimana lanjutan ceritanya? H.Usep Romli H.M. masih mengisahkannya. DI tempat-tempat genting, yang sering menjadi sasaran serangan "gorombolan" DI/TII (disebut juga "urang leuweung"/orang hutan), yang berkecamuk th. 1949-1962, ditempatkan pasukan TNI. Di daerah Limbangan, (Garut), atau Cicalengka dan sekitarnya, tentara yang ditugaskan, tetap dari batalyon yang menggunakan angka "30", seperti 304, 305 dan 308, dll. Sehingga menjadi kacapangan (bahan pembicaraan) penduduk setempat sebgai "tentara tilu enol". Pernah ada tetangga mendapat kunjungan saudaranya, yang menjadi tentara di Jakarta. Para tetangga lain datang menyambut ramah, sambil melampiaskan rasa ingin tahu. "Euh, Aden teh tentara? Tilu enol sabaraha?" Sangkaannya, semua tentara berasal dari batalyon "30". Tentu saja yang ditanya terheran-heran. Maklum tentara dari Jakarta, yang kesatuannya mungkin menggunakan angka lain. Bukan "tilu enol" seperti yang bertugas di Limbangan dan Cicalengka. Ketika SM Kartosuwiryo, panglima tertinggi DI/TII, tertangkap oleh pasukan 328/Kujang II Siliwangi, taun 1962, seorang tua yang suka "nyanyahoanan" berkata, "Tuh, nya mun ti bareto ku "tilu dua", meureun gancang eleh gorombolan teh. Teu cara ku "tilu enol" hese pisan taluk." Selain tentara, yang ikut berjuang melawan gorombolan, adalah Organisasi Keamanan Desa (OKD). Sebuah organiasi warga sipil yang mendapat latihan dasar militer sekedarnya, serta mendapat kepercayaan memegang senjata api laras panjang. Sebelum menjadi OKD , dinamakan Pemuda Desa (PD).Taun 1957, diubah menjadi OKD. Taun 1961 diubah lagi menjadi Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR). Setelah aman (1962), OPR menjelma menjadi Hansip/Hanra yang berada di bawah kordinasi Kepala Desa. Dilihat dari tahun pembentukan, hingga berubah menjadi OPR, OKD berjasa besar membantu tentara melawan gorombolan,dan membela rakyat dari ancaman DI/TII. Selama kurun waktu empat tahun (1957-1961), kondisi awa Barat amat gawat. Gorombolan sering menyerang. Membuat tentara sering kewalahan. Sehingga muncul berita dalam buletin Antara, berjudul "Gerombolan Makin Ganas, Tentara Makin Lalai". Oleh seorang wartawan koran Sunda Sipatahunan, langsung diterjemahkan secara harfiah, menjadi "Gorombolan Beuki Ganas, Tentara Beuki Lalay". Konon, Pangdam Siliwangi waktu itu, Kol. Kosasih Prawiranegara, marah-marah kepada wartawan/redaktur Sipatahunan, sambil berkata keras. "Piraku anak buah aing ngahakanan lalay, hah! Rangsum kejo ge rea keneh, deuleu!" Jika terjadi baku tembak, suara bedil tentara, OKD dan gorombolan dapat dibedakan. Tentara rata-rata menggunakan"geren" (Garand), yang pertamakali dipakai pada Perang Dunia 2 (1939-1945), serta "bren" (bren carrier), "sten" (Sten Gun), atau"karel" (Karel Gustav). Semua otomatis. Mampu menembakkan belasan bahkan puluhan peluru dalamsekali tekan pelatuk. Suara tembakan bedil yang digunakan OKD mah, selang-selang agak lambat. Sebab kebanyakan menggunakan bedil "dorlok" . Jika peluru "dor" meletus, untuk mengeluarkan selongsong agar dapat diisi lagi peluru baru, harus dicolok. Sedangkan tembakan senjata gorombolan, selalu diikuti suara "tak dung". Konon, itulah bunyi peluru deungdeum (dumdum). Bagitu peluru keluar dari laras, meletus. Ketika mengenai sasaran, proyektilnya meletus lagi. Mengakibatkan luka besar menganga. Memang, banyak warga sipil tertembak gormbolan, lukanya parah sekali. Kata desas-desus, gorombolan punya banyak peluru "deungdeum" kiriman dari Amerika. Entah bagaimana caranya, peluru yang biasa dipaka menembak bison itu, bisa masuk ke hutan belantara Tatar Sunda. Setiap hari Sabtu pagi, pasukan OKD suka dilatih baris-berbaris di alun-alun depan kecamatan. Pakaiannya tidak seragam. Ada satu dua memakai baju hijau. Mungkin pemberian tentara. Tapi kebanyakan "kulir" saja. Maklum, OKD tidak mendapat gaji resmi. Tidak mendapat pembagian beras atau pakaian seragam seperti tentara, walaupun mereka menjalankan tugas ketentaraan hampir sepenuhnya. Rekrutmen juga asal saja.Siapa yang mau, yang siap, jadilah OKD. Yang disebut gaji, mungkin 10-20 kg gabah setiap musim panen dari pemerintah desa, hasil pungutan dari warga masyarakat. Karena itu tidak mengherankan jika siang hari para anggota OKD bekerja serabutan untuk menafkahi keluarga, malam hari melaksanakan tugas militer. Betul-betul ihlas, clik putih clak herang, tanpa pamrih, mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara dalam skala kecil. Anak-anak sekolah sangat menyukai parade para OKD. Sebelum latihan baris-berbaris, mereka apel dulu. Dimpimpin oleh seorang komandan OKD yang mirip tentara tulen. Baju seragam loreng, pada ikat pinggang kopelriem tergantung pistol Buldog besar. Sepatu lars. Pokoknya tegap we. Jauh sekali dari dandanan dan penampilan anak buahya yang warna-warni. sumber klik-galamedia.com |