PERBUATAN yang tercela dan memiliki dampak negatif cukup besar bagi umat Islam adalah gibah. Sebab dapat mencerai-beraikan ikatan kasih sayang dan ukhuwah sesama manusia.
Seseorang yang berbuat gibah berarti dia telah menebarkan kedengkian dan kejahatan dalam masyarakat. Walaupun telah jelas besarnya bahaya gibah, namun masih banyak orang yang melakukannya dan menganggap remeh bahaya menggunjing.
Diceritakan dalam rangkaian Isra Mikraj, Nabi Muhammad SAW melewati suatu kaum yang sedang mencakar-cakar wajah mereka sendiri dengan kukunya. Nabi bertanya kepada malaikat Jibril yang mendampinginya waktu itu, "Apa itu Jibril?". Malaikat penyampai wahyu Allah itu menjawab, "Itulah gambaran orang yang suka menggunjing sesamanya (gibah)".
Gibah adalah membicarakan kejelekan atau aib orang lain atau menyebut masalah orang lain yang tidak disukainya, sekalipun hal tersebut benar-benar terjadi.
Dalam Alquran, Allah SWT mengibaratkan gibah dengan "memakan daging mayat saudara sendiri". Seperti disebutkan dalam Alquran Surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Meskipun kejelekan atau kekurangan orang lain itu faktual, benar-benar terjadi alias sesuai dengan kenyataan, tetap saja itu gibah.
Dalam hadis Rasulullah SAW berikut menyebutkan: "Gibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci." Si penanya kembali bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya?" Rasulullah menjawab, "Kalau memang benar ada padanya, itu gibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada)." (H.R. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Sementara ada gibah yang diperbolehkan seperti disampaikan Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, bahwa gibah hanya diperbolehkan untuk tujuan syara' yaitu yang disebabkan enam kriteria yaitu: (1) orang yang mazhlum (teraniaya), (2) meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar, (3) istifta' (meminta fatwa) akan sesuatu hal, (4) memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan, (5) menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bidah, dan (6) bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti. Bukan untuk tujuan menghina. (Penulis adalah Kepala Seksi Penerangan Agama Islam pada Masyarakat pada Kantor Kementerian Agama Kota Bandung)** Oleh: Mimin Sutisna, S.Ag.
Seseorang yang berbuat gibah berarti dia telah menebarkan kedengkian dan kejahatan dalam masyarakat. Walaupun telah jelas besarnya bahaya gibah, namun masih banyak orang yang melakukannya dan menganggap remeh bahaya menggunjing.
Diceritakan dalam rangkaian Isra Mikraj, Nabi Muhammad SAW melewati suatu kaum yang sedang mencakar-cakar wajah mereka sendiri dengan kukunya. Nabi bertanya kepada malaikat Jibril yang mendampinginya waktu itu, "Apa itu Jibril?". Malaikat penyampai wahyu Allah itu menjawab, "Itulah gambaran orang yang suka menggunjing sesamanya (gibah)".
Gibah adalah membicarakan kejelekan atau aib orang lain atau menyebut masalah orang lain yang tidak disukainya, sekalipun hal tersebut benar-benar terjadi.
Dalam Alquran, Allah SWT mengibaratkan gibah dengan "memakan daging mayat saudara sendiri". Seperti disebutkan dalam Alquran Surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
Meskipun kejelekan atau kekurangan orang lain itu faktual, benar-benar terjadi alias sesuai dengan kenyataan, tetap saja itu gibah.
Dalam hadis Rasulullah SAW berikut menyebutkan: "Gibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci." Si penanya kembali bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya?" Rasulullah menjawab, "Kalau memang benar ada padanya, itu gibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada)." (H.R. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Sementara ada gibah yang diperbolehkan seperti disampaikan Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, bahwa gibah hanya diperbolehkan untuk tujuan syara' yaitu yang disebabkan enam kriteria yaitu: (1) orang yang mazhlum (teraniaya), (2) meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar, (3) istifta' (meminta fatwa) akan sesuatu hal, (4) memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan, (5) menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bidah, dan (6) bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti. Bukan untuk tujuan menghina. (Penulis adalah Kepala Seksi Penerangan Agama Islam pada Masyarakat pada Kantor Kementerian Agama Kota Bandung)** Oleh: Mimin Sutisna, S.Ag.