oleh: Hayyu Adnan
Segala sesuatu mempunyai dua kutub berbeda. Ada kanan ada kiri. Ada bawah ada atas, ada pintar ada pula bodoh, ada baik ada buruk, ada malaikat dan ada pula setan. Begitu juga manusia, dalam dirinya manusia punya dua sisi tersebut. Terkadang malaikat yang lebih dominan, namun di lain waktu setanlah yang menguasai.
Saat kita melihat seseorang dengan pakaian compang-camping mengais sampah untuk mencari nasi, hati ini tergugah untuk memberinya makan makanan yang layak seperti yang kita makan. Degan memberinya sepiring nasi sepertinya kita sudah menjadi malaikat yang telah menjadi penolong orang lain.
Di sisi lain saat ada seseorang berbuat kesalahan, kita sulit sekali memaafkannya, menampakkan muka angkuh di hadapannya, menyiratkan pandangan kebencian terhadapnya, bahkan menyapanyapun tidak mau. Tetapi saat itu kita tidak merasa diri ini setan bukan?
Rasulullah mengajarkan “saat tangan kanan memberi maka tangan kiri tidak boleh tahu”. Tetapi apa yang kita lakukan? Saat tangan kanan memberi, dengan sengaja ia mengundang tangan kiri untuk mendampinginya. Apakah manusia merasa dirinya setan dalam situasi seperti ini?
Ada orang merasa dirinya besar jika ia mampu pergi ke Tanah Suci. Berdoa dan didoakan menjadi haji yang mabrur. Menunaikan haji dan pulang membawa air zam-zam dan pernak-perniknya, mengajak kumpul para tetangga dan mengeluarkan banyak harta untuk disedekahkan. Namun, ia berbangga dengan gelar hajinya, tidak boleh orang memanggilnya “Bapak Fulan” tetapi harus “Bapak Haji Fulan”. Orang-orang dibuat bingung akan kehadiran Fulan ini. Haruskah ia dipuji seperti malaikat ataukan dicaci seperti setan?
Manusia selalu merasa dirinya malaikat tetapi tidak pernah merasa dirinya setan meskipun ia seorang pembunuh, koruptor, perampok, ataupun perampas hak-hak orang kecil. Topeng malaikat terlalu kuat melekat dalam hati manusia sehingga menyamarkan jatidirinya. Orang-orang tidak dapat lagi membedakan yang mana malaikat dan yang mana setan. Mereka memuji-muji sang setan dan mencaci sang malaikat. Mengikuti yang salah dan mengabaikan kebenaran sehingga membentuk topeng-topeng malaikat baru dalam jiwa-jiwanya.
Kita tidak pernah menyadari yang mana setan dan yang mana malaikat dalam diri ini. Namun yang harus kita sadari adalah mereka ada dalam jiwa kita. Manusia itu sendirilah yang menghidupkan salah satu dari mereka. Malaikat akan hidup dengan cinta, kasih sayang, memaafkan, rendah hati. Sedangkan setan akan hidup dengan benci, dendam, prasangka, dan kesombongan. Kembali kepada manusia itu sendiri sisi mana yang ingin ia hidupkan. Wallahua’lam.
Penulis adalah sahabat Republika Online
sumber : www.republika.co.id
Segala sesuatu mempunyai dua kutub berbeda. Ada kanan ada kiri. Ada bawah ada atas, ada pintar ada pula bodoh, ada baik ada buruk, ada malaikat dan ada pula setan. Begitu juga manusia, dalam dirinya manusia punya dua sisi tersebut. Terkadang malaikat yang lebih dominan, namun di lain waktu setanlah yang menguasai.
Saat kita melihat seseorang dengan pakaian compang-camping mengais sampah untuk mencari nasi, hati ini tergugah untuk memberinya makan makanan yang layak seperti yang kita makan. Degan memberinya sepiring nasi sepertinya kita sudah menjadi malaikat yang telah menjadi penolong orang lain.
Di sisi lain saat ada seseorang berbuat kesalahan, kita sulit sekali memaafkannya, menampakkan muka angkuh di hadapannya, menyiratkan pandangan kebencian terhadapnya, bahkan menyapanyapun tidak mau. Tetapi saat itu kita tidak merasa diri ini setan bukan?
Rasulullah mengajarkan “saat tangan kanan memberi maka tangan kiri tidak boleh tahu”. Tetapi apa yang kita lakukan? Saat tangan kanan memberi, dengan sengaja ia mengundang tangan kiri untuk mendampinginya. Apakah manusia merasa dirinya setan dalam situasi seperti ini?
Ada orang merasa dirinya besar jika ia mampu pergi ke Tanah Suci. Berdoa dan didoakan menjadi haji yang mabrur. Menunaikan haji dan pulang membawa air zam-zam dan pernak-perniknya, mengajak kumpul para tetangga dan mengeluarkan banyak harta untuk disedekahkan. Namun, ia berbangga dengan gelar hajinya, tidak boleh orang memanggilnya “Bapak Fulan” tetapi harus “Bapak Haji Fulan”. Orang-orang dibuat bingung akan kehadiran Fulan ini. Haruskah ia dipuji seperti malaikat ataukan dicaci seperti setan?
Manusia selalu merasa dirinya malaikat tetapi tidak pernah merasa dirinya setan meskipun ia seorang pembunuh, koruptor, perampok, ataupun perampas hak-hak orang kecil. Topeng malaikat terlalu kuat melekat dalam hati manusia sehingga menyamarkan jatidirinya. Orang-orang tidak dapat lagi membedakan yang mana malaikat dan yang mana setan. Mereka memuji-muji sang setan dan mencaci sang malaikat. Mengikuti yang salah dan mengabaikan kebenaran sehingga membentuk topeng-topeng malaikat baru dalam jiwa-jiwanya.
Kita tidak pernah menyadari yang mana setan dan yang mana malaikat dalam diri ini. Namun yang harus kita sadari adalah mereka ada dalam jiwa kita. Manusia itu sendirilah yang menghidupkan salah satu dari mereka. Malaikat akan hidup dengan cinta, kasih sayang, memaafkan, rendah hati. Sedangkan setan akan hidup dengan benci, dendam, prasangka, dan kesombongan. Kembali kepada manusia itu sendiri sisi mana yang ingin ia hidupkan. Wallahua’lam.
Penulis adalah sahabat Republika Online
sumber : www.republika.co.id