Oleh: ROSYAD ABDULLAH M.
DALAM UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
UUD 1945 mengamanatkan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan melalui transfer ke daerah, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Kenyataan di lapangan, kondisi pendidikan kita, khususnya menyangkut sarana prasarana pendudukung kegiatan belajar mengajar (KBM), belum sesuai apa yang diamanatkan undang-undang tersebut, jika bukan memilukan.
Tengok saja, salah satu contoh kondisi di Kab.Bandung. Sesuai data yang diperoleh dari Disdik Kab.Bandung, selama 2011, jumlah ruang kelas yang rusak dan belum direhabilitasi mencapai 1436 ruang.
Selama tahun anggaran 2011, tak satu pun ruang kelas yang dapat direhab atau dibangun. Ironisnya, hal itu karena terkendala aturan, yang satu pihak mengharuskan menggunakan sistem lelang tapi di pihak lain menginginkan sistem swakelola.
Menurut Sekretaris Disdik Kab.Bandung, Agus Firman, Rabu (7/12), dana alokasi khusus (DAK) tahun anggaran 2011 yang jumlahnya puluhan miliar khususnya untuk pembangunan (rehab) ruang kelas, sedikitpun tak ada yang terserap.
Hal itu akibat belum jelasnya sistem penganggaran dana. Sistem lelang atau swakelola? Dana tersebut lanjutnya, belum termasuk dana bantuan gubernur untuk rehab ruang kelas yang jumlahnya Rp 550 juta.
Diakui Agus, total ruang kelas yang seharusnya direhab tahun anggaran 2011 sebanyak 1436 ruang, terdiri dari Sekolah Dasar 1026 ruang, SMP 399 ruang, SMA 3 ruang san SMK 8 ruang. Tentu saja ironisme semacam ini sudah seharusnya mendapat penanganan serius, paling tidak dari lembaga terkait seperti pemeriontah Daerah dan DPRD.
Pada akhirnya, ironisme ini harus sampai kepada pihak Depdiknas untuk melakukan evaluasi, sejauhmana efektivitas pendanaan yang digulirkan selama ini yang jumlahnya tak sedikit. Jangan sampai, anggaran dana pendidikan cuma enak terdengar, tapi tak sedap dirasakan, karena masih banyaknya ruang sekolah yang rusak yang dapat menghambat proses KBM. Akhirnya kembali lagi, idealnya produk UU tetap memerlukan idealisme pelaksana UU. Tanpa itu, nonsense! (Wartawan HU Galamedia)** Kamis, 22 Desember 2011
DALAM UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
UUD 1945 mengamanatkan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan melalui transfer ke daerah, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Kenyataan di lapangan, kondisi pendidikan kita, khususnya menyangkut sarana prasarana pendudukung kegiatan belajar mengajar (KBM), belum sesuai apa yang diamanatkan undang-undang tersebut, jika bukan memilukan.
Tengok saja, salah satu contoh kondisi di Kab.Bandung. Sesuai data yang diperoleh dari Disdik Kab.Bandung, selama 2011, jumlah ruang kelas yang rusak dan belum direhabilitasi mencapai 1436 ruang.
Selama tahun anggaran 2011, tak satu pun ruang kelas yang dapat direhab atau dibangun. Ironisnya, hal itu karena terkendala aturan, yang satu pihak mengharuskan menggunakan sistem lelang tapi di pihak lain menginginkan sistem swakelola.
Menurut Sekretaris Disdik Kab.Bandung, Agus Firman, Rabu (7/12), dana alokasi khusus (DAK) tahun anggaran 2011 yang jumlahnya puluhan miliar khususnya untuk pembangunan (rehab) ruang kelas, sedikitpun tak ada yang terserap.
Hal itu akibat belum jelasnya sistem penganggaran dana. Sistem lelang atau swakelola? Dana tersebut lanjutnya, belum termasuk dana bantuan gubernur untuk rehab ruang kelas yang jumlahnya Rp 550 juta.
Diakui Agus, total ruang kelas yang seharusnya direhab tahun anggaran 2011 sebanyak 1436 ruang, terdiri dari Sekolah Dasar 1026 ruang, SMP 399 ruang, SMA 3 ruang san SMK 8 ruang. Tentu saja ironisme semacam ini sudah seharusnya mendapat penanganan serius, paling tidak dari lembaga terkait seperti pemeriontah Daerah dan DPRD.
Pada akhirnya, ironisme ini harus sampai kepada pihak Depdiknas untuk melakukan evaluasi, sejauhmana efektivitas pendanaan yang digulirkan selama ini yang jumlahnya tak sedikit. Jangan sampai, anggaran dana pendidikan cuma enak terdengar, tapi tak sedap dirasakan, karena masih banyaknya ruang sekolah yang rusak yang dapat menghambat proses KBM. Akhirnya kembali lagi, idealnya produk UU tetap memerlukan idealisme pelaksana UU. Tanpa itu, nonsense! (Wartawan HU Galamedia)** Kamis, 22 Desember 2011