Galamedia Kamis, 27 Oktober 2011
GELIAT kajian budaya atau cultural studies kini sedang booming. Mengapa demikian? Cultural studies memiliki keunikan yang mampu membedakannya dari cabang ilmu lainnya, seperti: sosiologis, fisika, matematika, dll. Bidang ilmu tersebut memiliki subjek, metode, dan objek yang khusus. Tidak demikian dengan culture studies. Cabang ilmu yang lahir di Birmingham, Inggris, pada era 1957-an itu merupakan bidang ilmu gurita. Culture studies memiliki kajian dan metode yang sangat luas bahkan multidisiplin. Berbagai teori dari cabang ilmu sastra, ekonomi, sampai arsitektur turut dipijaknya hingga dapat dihasilkan kajian atau analisis yang luas, terutama, tentang segala hal yang semula dianggap sebagai benda biasa-biasa saja menjadi tidak biasa. Pertumbuhan superblok (apartemen atau condominium) di perkotaan semula dianggap sebagai benda biasa. Namun, bagi pakar cultural studies hal itu memiliki makna yang sangat dalam berupa, salah satunya, sebagai alat untuk memanggil manusia-manusia kota yang pascareformasi lebih memilih untuk tinggal di wilayah pinggiran kota untuk kembali ke tengah kota. Contoh lain, pesatnya pembangunan jalan layang bak ular membelah kota dianggap sebagai sarana lalulintas biasa. Benda itu memiliki makna yang jauh lebih dalam di kalangan pakar cultural studies sebagai sarana atau alat yang mampu meninggikan pandangan pemilik kendaraan agar tidak menatap atau melihat kesemrawutan dan kemelaratan di bawahnya.
Buku tersebut berupaya untuk memberikan informasi yang tepat dan lengkap dalam keterbatasan media cetak kepada pembacanya ihwal cultural studies. Untuk memudahkan pembacanya, penulis membagi informasi di dalam buku itu menjadi beberapa bagian, yaitu (1) definisi, ruang lingkup, dan pendekatan teoretis dalam cultural studies, (2) asal-usul dan perkembangan isu cultural studies di berbagai wilayah dunia, (3) kritik terhadap cultural studies, (4) budaya kapitalis dan perlawanan budaya, dan (5) perempuan, seks, dan gender dalam kajian cultural studies.
Bab I memaparkan perbandingan awal antara definisi budaya secara umum, cenderung antropologis, yaitu lebih menekankan pada aspek masyarakat yang identik dengan kesenian dan kajian mengenai budaya etnis.
Dengan kata lain, cultural studies memandang makna aspek kebudayaan pada makna yang baru. Tentu saja, karena di dalamnya, cultural studies tidak menggunalan metode dan kajian teori tersendiri melainkan melibatkan teori-teori yang beragam dari berbagai disiplin ilmu, misalnya teori Marxis (sebagai basis utama), teori poskolonial Derrida, atau teori psikoanalisa Sigmund Freud.
Bab II mengetengahkan informasi historis kemunculan cultural studies di Inggris, dan perkembangannya di berbagai belahan dunia, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Prancis, Kanada, negeri timur, dan sains. Bab tersebut juga menyampaikan secara ringkas, siapa tokoh-tokoh pendiri cultural studies berikut karya spektakuler mereka yang dijadikan sebagai bahan acuan kajian dalam bidang ilmu tersebut. Bab tersebut juga memaparkan informasi tentang geliat perlawanan cultural studies terhadap sains (pendekatan positivisme sains)
Bab III merupakan paparan adanya kritik terhadap cultural studies. Bidang kajian yang di antaranya didirikan oleh Robert Hoggart tersebut lebih dikenal sebagai sebagai bidang yang tidak tersatukan secara tunggal, tetapi mengundang dan meminjam berbagai metode, pendekatan, dan perspektif akademik. Hal itu tentu menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan akademisi.
Bab IV, selanjutnya, mengangkat paparan tentang budaya kapitalis, termasuk budaya tandingan dan beberapa isu populer yang dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya atau kuasa dominan, mengangkat isu tentang gender. (Penulis, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung, peminat buku, tinggal di Bandung)**
GELIAT kajian budaya atau cultural studies kini sedang booming. Mengapa demikian? Cultural studies memiliki keunikan yang mampu membedakannya dari cabang ilmu lainnya, seperti: sosiologis, fisika, matematika, dll. Bidang ilmu tersebut memiliki subjek, metode, dan objek yang khusus. Tidak demikian dengan culture studies. Cabang ilmu yang lahir di Birmingham, Inggris, pada era 1957-an itu merupakan bidang ilmu gurita. Culture studies memiliki kajian dan metode yang sangat luas bahkan multidisiplin. Berbagai teori dari cabang ilmu sastra, ekonomi, sampai arsitektur turut dipijaknya hingga dapat dihasilkan kajian atau analisis yang luas, terutama, tentang segala hal yang semula dianggap sebagai benda biasa-biasa saja menjadi tidak biasa. Pertumbuhan superblok (apartemen atau condominium) di perkotaan semula dianggap sebagai benda biasa. Namun, bagi pakar cultural studies hal itu memiliki makna yang sangat dalam berupa, salah satunya, sebagai alat untuk memanggil manusia-manusia kota yang pascareformasi lebih memilih untuk tinggal di wilayah pinggiran kota untuk kembali ke tengah kota. Contoh lain, pesatnya pembangunan jalan layang bak ular membelah kota dianggap sebagai sarana lalulintas biasa. Benda itu memiliki makna yang jauh lebih dalam di kalangan pakar cultural studies sebagai sarana atau alat yang mampu meninggikan pandangan pemilik kendaraan agar tidak menatap atau melihat kesemrawutan dan kemelaratan di bawahnya.
Buku tersebut berupaya untuk memberikan informasi yang tepat dan lengkap dalam keterbatasan media cetak kepada pembacanya ihwal cultural studies. Untuk memudahkan pembacanya, penulis membagi informasi di dalam buku itu menjadi beberapa bagian, yaitu (1) definisi, ruang lingkup, dan pendekatan teoretis dalam cultural studies, (2) asal-usul dan perkembangan isu cultural studies di berbagai wilayah dunia, (3) kritik terhadap cultural studies, (4) budaya kapitalis dan perlawanan budaya, dan (5) perempuan, seks, dan gender dalam kajian cultural studies.
Bab I memaparkan perbandingan awal antara definisi budaya secara umum, cenderung antropologis, yaitu lebih menekankan pada aspek masyarakat yang identik dengan kesenian dan kajian mengenai budaya etnis.
Dengan kata lain, cultural studies memandang makna aspek kebudayaan pada makna yang baru. Tentu saja, karena di dalamnya, cultural studies tidak menggunalan metode dan kajian teori tersendiri melainkan melibatkan teori-teori yang beragam dari berbagai disiplin ilmu, misalnya teori Marxis (sebagai basis utama), teori poskolonial Derrida, atau teori psikoanalisa Sigmund Freud.
Bab II mengetengahkan informasi historis kemunculan cultural studies di Inggris, dan perkembangannya di berbagai belahan dunia, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Prancis, Kanada, negeri timur, dan sains. Bab tersebut juga menyampaikan secara ringkas, siapa tokoh-tokoh pendiri cultural studies berikut karya spektakuler mereka yang dijadikan sebagai bahan acuan kajian dalam bidang ilmu tersebut. Bab tersebut juga memaparkan informasi tentang geliat perlawanan cultural studies terhadap sains (pendekatan positivisme sains)
Bab III merupakan paparan adanya kritik terhadap cultural studies. Bidang kajian yang di antaranya didirikan oleh Robert Hoggart tersebut lebih dikenal sebagai sebagai bidang yang tidak tersatukan secara tunggal, tetapi mengundang dan meminjam berbagai metode, pendekatan, dan perspektif akademik. Hal itu tentu menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan akademisi.
Bab IV, selanjutnya, mengangkat paparan tentang budaya kapitalis, termasuk budaya tandingan dan beberapa isu populer yang dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya atau kuasa dominan, mengangkat isu tentang gender. (Penulis, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung, peminat buku, tinggal di Bandung)**