Oleh: M.L. NIHWAN SAMURANJE
TATKALA khalifah Umar bin Khaththab berkirim dan berbalas surat dengan kerajaan tetangga, sang raja menanyakan isi suratnya, tanggalnya ada, harinya ada, bulannya ada, tapi tahunnya tahun berapa? Ya, memang masa-masa sebelumnya tahun dalam kalender Islam didasarkan pada kejadian alam. Umpamanya Nabi Muhammad saw dilahirkan pada 12 Rabiul Awwal, tahun Gajah, karena waktu Nabi lahir bersamaan dengan serangan Abrahah yang berpasukan penunggang gajah.
Menyadari sekaligus menyikapi bahwa umat Islam belum punya kalender tahun, Umar segera mengumpulkan para pembesar terkait dan menggelar rapat. Semua sepakat, bahwa tahun hitungan Islam itu perlu. Sejumlah usulan muncul. Ada yang mengusulkan tahun baru Islam dimulai dari lahirnya Nabi Muhammad. Lainnya berpendapat dihitung dari turunnya Alquran. Opsi berikutnya, diawali dari peristiwa Isra Mikraj. Selanjutnya, didasarkan pada pertimbangan hijrahnya Nabi Muhammad dan para sahabat dari Mekah ke Madinah. Dan, ada juga yang berpendapat bahwa tahun baru Islam hendaknya dihitung untuk pertama kali dari sejak wafatnya Muhammad Rasulullah.
Seperti biasa dalam sebuah rapat apalagi memutuskan perkara yang mahapenting, selalu diwarnai debat yang menghangat, tapi dalam rapat ini tidak sampai memanas. Akhir kesimpulan diperoleh kesepakatan bahwa, tahun baru Islam dimulai sejak hijrahnya Muhammad Rasulullah dari Mekah ke Madinah.
Alasannya, lebih rasional dan lebih menghargai proses kerja ikhtiar seorang hamba Allah dibanding dengan sekadar menomorsatukan figur Muhammad sebagai sosok pribadi. Nabi Muhammad juga tidak memperkenankan umatnya untuk melukiskan wajah beliau. Terdapat kekhawatiran besar atas umatnya terjebak dalam kultus individu. Beliau pernah mengingatkan, "laa tusayyiduunii! (Jangan kalian sayyidkan aku). Tetapi jika ungkapan sayyid sebatas takzim, memuliakan akhlak yang memang suci, rasanya tidak masalah. Itu bagus. Nabi saw juga sempat mengunkapkan ana sayyidu waladubnu adam (aku adalah sayyidnya anak-anak Adam), Ana sayyidul mursaliin (aku adalah sayyidnya para utusan). Juga ada gelar sayyidul anbiya, sayyidnya para nabi. Yang menggelari sayyid bukan Muhamahad sendiri, tapi langsung informasi itu datangnya dari Allah swt.
Pesan hijriah
Dijadikannya hijrahnya Nabi saw dari Mekah ke Madinah sebagai tahun baru Islam, bukan hanya sebatas tonggak sejarah biasa, melainkan memuat pesan moral-sosial-spiritual luar biasa. Ini selaras dengan penamaan Islam sebagai agama. Bukan agama Muhammad melainkan agama Islam. Muhammad hanya pembawa agama Islam. Bukan pencipta Islam. Dalam bahasa Alquran, Islam memiliki lebih dari satu arti (lafad musytarak), makna Islam yaitu selamat, damai, sejahtera, dan patuh.
Sangat banyak hal yang dikerjakan Rasululah di Madinah. Di antaranya membangun persatuan sesama penduduk Madinah lewat Piagam Madinah. Sebuah kesepakatan dan kesepemahaman bersama yang disetujui seluruh komponen: Islam, Nashrani, Yahudi dan aliran kepercayaan. Tidak saling ganggu dalam masalah keyakinan dan ibadah. Saling bantu di wilayah muamalah (pergaulan sosial-kemanusiaan). Jika ada yang mengganggu ketentraman Madinah, berarti gangguan itu dijadikan musuh bersama. Para sejarawan menilai, Piagam Madinah selain konstitusi perdamaian tertulis-tertua di dunia, juga merupakan perjanjian antara pemeluk keyakinan serta suku yang berbeda di semenanjung Arabia. Lebih lengkapnya, silakan baca poin-poin Piagam Madinah di sangat banyak buku sejarah Islam. Para sejarawan juga menyatakan, inilah perjanjian damai pertama di tanah Arab setelah beratus-ratus tahun terjadi saling serang antar suku. Egoisme kesukuan dikikis habis oleh Rasulullah. Persamaan derajat dijunjung tinggi. Tetapi sayang, suku-suku asal Yahudi berkhianat membuat makar dalam negara, yang akhirnya Allah swt mengizinkan Nabi Saw dan semua unsur kekuatan Madinah untuk memerangi seluruh kaum Yahudi yang bekerja sama dengan kafir Quraisy.
Kawasan Madinah semula bernama Yasrib. Madinah yang salah satu artinya adalah kota sengaja dicetuskan oleh Rasululah saw. Kota adalah lambang percepatan peradaban. Kota, simbol kemajuan. Kota, kata lain dialektika dari perubahan sejarah. Kelak, dalam waktu tempo yang sangat singkat, kekuatan sosial-politik Madinah sangat diperhitungkan oleh kalangan level internasional pada masa itu.
"Laa hijrata ba'da hadza (tidak ada hijrah setelah ini, di Madinah)," demikian tutur Nabi Saw. Tidak ada lagi hijrah secara fisik. Hijrah dalam arti bedol negara. Yang ada hijrah dalam pengertian sikap, mental, akhlak, ikhtiar ke arah yang jauh lebih baik, berkualitas dan produktif disemangati oleh niat melamar ridha Allah.
Semangat hijriah berarti kesiapan memacu diri dan masyarakat sekitar berjalan bahkan berlari menggedor tembok kebuntuan sejarah untuk kemudian mencari strategi baru guna menggali sejumlah solusi dalam menjalani tugas kekhalifahan kita. Menguakkan rahasia yang selama ini menggelapkan diri dari jalan kegamangan serta ketidakmenentuan nilai. Menyibakkan sejumlah alternatif buat kemaslahatan umat. Merumuskan dan mengagendakan apa saja yang mesti kita kerjakan.
Pesan hijriah, menuntut perpindahan suatu sikap optimistis dan kerja keras ke sesuatu nilai tambah, efesiensi, strategis dan manfaat yang lebih dari yang semula diperoleh. Dalam diri manusia sudah Allah sediakan energi pertumbuhan hingga mencapai buah terbaik dari perjalanan yang ditempuhnya.
Dalam proses ikhtiar menapaki rute-rute sejarah sudah pasti kita butuh adaptasi atas suasana tertentu yang boleh jadi kita rasa tak bersahabat. Malah cenderung memusuhi. Kita sering dengar: Allah tidak akan memberikan beban kepada suatu kaum, kecuali sesuai dengan kekuatan kaum itu. Namun kenyataan sedemikian menohok di depan mata kita. Yakni: banyak yang memilih bunuh diri. Bunuh diri dalam arti memilih mempercepat kematian dengan cara gantung diri atau yang semacamnya, maupun bunuh diri dalam arti frustasi sosial. Mematikan harapan. Membunuh potensi yang belum digali sama sekali. Mengkerdilkan kemampuan-kelebihan titipan anugerah Allah yang Ia titipkan untuk dieksplorasi.
Barang mati
Jika kita sepakat memahami kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka setiap manusia adalah budayawan. Penghasil produk kebudayaan. Hasilnya bisa berbeda-beda. Watak zaman dan kondisi geografis senantiasa menyuguhkan tantangannya tersendiri. Watak zaman dan kondisi geografis tidak sama dari satu generasi ke generasi berikutnya dan memerlukan kebijakan yang solutif. Segenap rasa dan pikir sejatinya bisa menangkap isyarah-isyarah perubahan dan menyelesaikannya dengan tuntas.
Simak saja mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada para nabi-Nya. Misalnya, Shaleh as bisa mengeluarkan unta dari batu, Ibrahim as tidak terbakar dalam kobaran api, Musa as tongkat jadi ular, Daud as melunakkan besi dengan tangan, Sulaiman as mampu berbicara dengan binatang, Isa as menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang yang telah meninggal dan di masa Nabi Muhammad mukjizat terbesarnya adalah Alquran, selain ratusan mukjizat yang bersifat fisikal.
Menarik kita simak mukjizat yang Allah berikan secara evolutif. Dari yang bersifat fisikal ke dunia pikir. Dari sesuatu yang menakjubkan dalam pandangan panca indra, melaju ke wilayah orgasme ruhaniyah. Dari biologis ke ideologis. Sebuah pertunjukan gerak zaman. Dan umat Muhammad mewakli umat manusia yang seharusnya lebih dewasa.
Apa pun saja yang kita miliki dari semua yang Allah anugerahkan sangat berpotensi untuk kita hijrahkan ke derajat yang jauh lebih tinggi. Yang bersifat kebendaan maupun rasa dan pikiran. Yang ada pada diri kita bukan barang mati. Namun bisa digerakkan dan diberdayagunakan.
Semangat hijriah adalah motivasi menuju puncak optimalisasi potensi dengan mental takwa sebagai jiwa gerakan. Momen hijriah idealnya sentuhan kepekaan terhadap diri dan gairah menaburkan cinta dan keberbagian diantara sesama. Mengubah nafsu ankara ke kondisi muthmainnah. Memilih jalan dalam peta keterbimbingan wahyu dan menanggalkan serta meninggalkan bisikan syahwat pribadi. Semakin berupaya meningkatkan profesionalitas, maka tambah nampak sumbangan sosial-spiritual yang bisa kita setorkan guna keberlangsungan hidup dan kehidupan. Selamat datang di hitungan tahun baru Islam 1433 H. (Penulis adalah penulis lepas, tinggal di Bandung** Galamedia Kamis, 08 Desember 2011
TATKALA khalifah Umar bin Khaththab berkirim dan berbalas surat dengan kerajaan tetangga, sang raja menanyakan isi suratnya, tanggalnya ada, harinya ada, bulannya ada, tapi tahunnya tahun berapa? Ya, memang masa-masa sebelumnya tahun dalam kalender Islam didasarkan pada kejadian alam. Umpamanya Nabi Muhammad saw dilahirkan pada 12 Rabiul Awwal, tahun Gajah, karena waktu Nabi lahir bersamaan dengan serangan Abrahah yang berpasukan penunggang gajah.
Menyadari sekaligus menyikapi bahwa umat Islam belum punya kalender tahun, Umar segera mengumpulkan para pembesar terkait dan menggelar rapat. Semua sepakat, bahwa tahun hitungan Islam itu perlu. Sejumlah usulan muncul. Ada yang mengusulkan tahun baru Islam dimulai dari lahirnya Nabi Muhammad. Lainnya berpendapat dihitung dari turunnya Alquran. Opsi berikutnya, diawali dari peristiwa Isra Mikraj. Selanjutnya, didasarkan pada pertimbangan hijrahnya Nabi Muhammad dan para sahabat dari Mekah ke Madinah. Dan, ada juga yang berpendapat bahwa tahun baru Islam hendaknya dihitung untuk pertama kali dari sejak wafatnya Muhammad Rasulullah.
Seperti biasa dalam sebuah rapat apalagi memutuskan perkara yang mahapenting, selalu diwarnai debat yang menghangat, tapi dalam rapat ini tidak sampai memanas. Akhir kesimpulan diperoleh kesepakatan bahwa, tahun baru Islam dimulai sejak hijrahnya Muhammad Rasulullah dari Mekah ke Madinah.
Alasannya, lebih rasional dan lebih menghargai proses kerja ikhtiar seorang hamba Allah dibanding dengan sekadar menomorsatukan figur Muhammad sebagai sosok pribadi. Nabi Muhammad juga tidak memperkenankan umatnya untuk melukiskan wajah beliau. Terdapat kekhawatiran besar atas umatnya terjebak dalam kultus individu. Beliau pernah mengingatkan, "laa tusayyiduunii! (Jangan kalian sayyidkan aku). Tetapi jika ungkapan sayyid sebatas takzim, memuliakan akhlak yang memang suci, rasanya tidak masalah. Itu bagus. Nabi saw juga sempat mengunkapkan ana sayyidu waladubnu adam (aku adalah sayyidnya anak-anak Adam), Ana sayyidul mursaliin (aku adalah sayyidnya para utusan). Juga ada gelar sayyidul anbiya, sayyidnya para nabi. Yang menggelari sayyid bukan Muhamahad sendiri, tapi langsung informasi itu datangnya dari Allah swt.
Pesan hijriah
Dijadikannya hijrahnya Nabi saw dari Mekah ke Madinah sebagai tahun baru Islam, bukan hanya sebatas tonggak sejarah biasa, melainkan memuat pesan moral-sosial-spiritual luar biasa. Ini selaras dengan penamaan Islam sebagai agama. Bukan agama Muhammad melainkan agama Islam. Muhammad hanya pembawa agama Islam. Bukan pencipta Islam. Dalam bahasa Alquran, Islam memiliki lebih dari satu arti (lafad musytarak), makna Islam yaitu selamat, damai, sejahtera, dan patuh.
Sangat banyak hal yang dikerjakan Rasululah di Madinah. Di antaranya membangun persatuan sesama penduduk Madinah lewat Piagam Madinah. Sebuah kesepakatan dan kesepemahaman bersama yang disetujui seluruh komponen: Islam, Nashrani, Yahudi dan aliran kepercayaan. Tidak saling ganggu dalam masalah keyakinan dan ibadah. Saling bantu di wilayah muamalah (pergaulan sosial-kemanusiaan). Jika ada yang mengganggu ketentraman Madinah, berarti gangguan itu dijadikan musuh bersama. Para sejarawan menilai, Piagam Madinah selain konstitusi perdamaian tertulis-tertua di dunia, juga merupakan perjanjian antara pemeluk keyakinan serta suku yang berbeda di semenanjung Arabia. Lebih lengkapnya, silakan baca poin-poin Piagam Madinah di sangat banyak buku sejarah Islam. Para sejarawan juga menyatakan, inilah perjanjian damai pertama di tanah Arab setelah beratus-ratus tahun terjadi saling serang antar suku. Egoisme kesukuan dikikis habis oleh Rasulullah. Persamaan derajat dijunjung tinggi. Tetapi sayang, suku-suku asal Yahudi berkhianat membuat makar dalam negara, yang akhirnya Allah swt mengizinkan Nabi Saw dan semua unsur kekuatan Madinah untuk memerangi seluruh kaum Yahudi yang bekerja sama dengan kafir Quraisy.
Kawasan Madinah semula bernama Yasrib. Madinah yang salah satu artinya adalah kota sengaja dicetuskan oleh Rasululah saw. Kota adalah lambang percepatan peradaban. Kota, simbol kemajuan. Kota, kata lain dialektika dari perubahan sejarah. Kelak, dalam waktu tempo yang sangat singkat, kekuatan sosial-politik Madinah sangat diperhitungkan oleh kalangan level internasional pada masa itu.
"Laa hijrata ba'da hadza (tidak ada hijrah setelah ini, di Madinah)," demikian tutur Nabi Saw. Tidak ada lagi hijrah secara fisik. Hijrah dalam arti bedol negara. Yang ada hijrah dalam pengertian sikap, mental, akhlak, ikhtiar ke arah yang jauh lebih baik, berkualitas dan produktif disemangati oleh niat melamar ridha Allah.
Semangat hijriah berarti kesiapan memacu diri dan masyarakat sekitar berjalan bahkan berlari menggedor tembok kebuntuan sejarah untuk kemudian mencari strategi baru guna menggali sejumlah solusi dalam menjalani tugas kekhalifahan kita. Menguakkan rahasia yang selama ini menggelapkan diri dari jalan kegamangan serta ketidakmenentuan nilai. Menyibakkan sejumlah alternatif buat kemaslahatan umat. Merumuskan dan mengagendakan apa saja yang mesti kita kerjakan.
Pesan hijriah, menuntut perpindahan suatu sikap optimistis dan kerja keras ke sesuatu nilai tambah, efesiensi, strategis dan manfaat yang lebih dari yang semula diperoleh. Dalam diri manusia sudah Allah sediakan energi pertumbuhan hingga mencapai buah terbaik dari perjalanan yang ditempuhnya.
Dalam proses ikhtiar menapaki rute-rute sejarah sudah pasti kita butuh adaptasi atas suasana tertentu yang boleh jadi kita rasa tak bersahabat. Malah cenderung memusuhi. Kita sering dengar: Allah tidak akan memberikan beban kepada suatu kaum, kecuali sesuai dengan kekuatan kaum itu. Namun kenyataan sedemikian menohok di depan mata kita. Yakni: banyak yang memilih bunuh diri. Bunuh diri dalam arti memilih mempercepat kematian dengan cara gantung diri atau yang semacamnya, maupun bunuh diri dalam arti frustasi sosial. Mematikan harapan. Membunuh potensi yang belum digali sama sekali. Mengkerdilkan kemampuan-kelebihan titipan anugerah Allah yang Ia titipkan untuk dieksplorasi.
Barang mati
Jika kita sepakat memahami kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka setiap manusia adalah budayawan. Penghasil produk kebudayaan. Hasilnya bisa berbeda-beda. Watak zaman dan kondisi geografis senantiasa menyuguhkan tantangannya tersendiri. Watak zaman dan kondisi geografis tidak sama dari satu generasi ke generasi berikutnya dan memerlukan kebijakan yang solutif. Segenap rasa dan pikir sejatinya bisa menangkap isyarah-isyarah perubahan dan menyelesaikannya dengan tuntas.
Simak saja mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada para nabi-Nya. Misalnya, Shaleh as bisa mengeluarkan unta dari batu, Ibrahim as tidak terbakar dalam kobaran api, Musa as tongkat jadi ular, Daud as melunakkan besi dengan tangan, Sulaiman as mampu berbicara dengan binatang, Isa as menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan orang yang telah meninggal dan di masa Nabi Muhammad mukjizat terbesarnya adalah Alquran, selain ratusan mukjizat yang bersifat fisikal.
Menarik kita simak mukjizat yang Allah berikan secara evolutif. Dari yang bersifat fisikal ke dunia pikir. Dari sesuatu yang menakjubkan dalam pandangan panca indra, melaju ke wilayah orgasme ruhaniyah. Dari biologis ke ideologis. Sebuah pertunjukan gerak zaman. Dan umat Muhammad mewakli umat manusia yang seharusnya lebih dewasa.
Apa pun saja yang kita miliki dari semua yang Allah anugerahkan sangat berpotensi untuk kita hijrahkan ke derajat yang jauh lebih tinggi. Yang bersifat kebendaan maupun rasa dan pikiran. Yang ada pada diri kita bukan barang mati. Namun bisa digerakkan dan diberdayagunakan.
Semangat hijriah adalah motivasi menuju puncak optimalisasi potensi dengan mental takwa sebagai jiwa gerakan. Momen hijriah idealnya sentuhan kepekaan terhadap diri dan gairah menaburkan cinta dan keberbagian diantara sesama. Mengubah nafsu ankara ke kondisi muthmainnah. Memilih jalan dalam peta keterbimbingan wahyu dan menanggalkan serta meninggalkan bisikan syahwat pribadi. Semakin berupaya meningkatkan profesionalitas, maka tambah nampak sumbangan sosial-spiritual yang bisa kita setorkan guna keberlangsungan hidup dan kehidupan. Selamat datang di hitungan tahun baru Islam 1433 H. (Penulis adalah penulis lepas, tinggal di Bandung** Galamedia Kamis, 08 Desember 2011