BUDAYA minum kopi atau ngopi bagi masyarakat Bandung, kini sudah mulai tumbuh kembali. Padahal budaya minum kopi di kalangan masyarakat Bandung sudah hilang sejak tahun 1970-an, atau saat minuman botol atau softdrink masuk ke Indonesia, termasuk Kota Bandung.
Kini pamor minum kopi mulai naik kembali, terutama setelah munculnya sejumlah kafe yang menyediakan minuman kopi beraneka rasa dan gaya. Ada ungkapan bahwa minum kopi menunjukkan derajat seseorang. Itu mulai berlaku saat ini. Coba saja tengok, masyarakat yang minum kopi dengan aneka rasa dan gaya di kafe-kafe bisa disebut masyarakat kalangan menengah ke atas.
Ini berbeda dengan masyarakat yang meminum kopi di pinggir jalan maupun warung kopi. Tentunya kopi yang diminum pun rasa dan harganya sangat berbeda.
Zaman dulu pun seperti itu. Orang yang mampu minum kopi, termasuk orang-orang kalangan menak karena kopi merupakan minuman berharga. Apalagi, ketika itu kopi merupakan minuman khas para pembesar kolonial Belanda dan bawahannya, karena mereka yang membawa kopi ke wilayah Indonesia.
Kopi saat itu hanya bisa dibeli oleh kalangan bangsawan. Sementara masyarakat jelata hanya mampu membeli kopi jagung yang dibakar dan ditumbuk dengan kasar. Pendeknya, kopi adalah minuman berkelas yang tidak bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Budaya ngopi bagi masyarakat Indonesia sudah muncul sejak tahun 1700-an. Sedangkan penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 sekitar tahun 1646 yang mendapatkan biji arabica mocca dari Arabia ke Jakarta. Kopi arabika pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di timur Jatinegara, yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi.
Kemudian kopi arabika menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, Bandung, dan Priangan, melalui sistem tanam paksa. Setelah menyebar ke Pulau Jawa, tanaman kopi kemudian menyebar ke daerah lain, seperti Pulau Sumatra, Sulawesi, Bali, dan Timor.
"Bahkan kopi arabika yang semula ditanam di Brasil (negara produsen kopi terbesar di dunia) konon bibitnya berasal dari Pulau Jawa," ungkap Widya Pratama, produsen Kopi Aroma di Kota Bandung.
Menurut Widya, kawasan Bandung yang pernah dijadikan kebun kopi, yakni daerah Cisarua dan Jambudipa di kawasan Lembang. Kontur tanahnya yang berbukit-bukit dan sangat kurang mengandung zat asam membuat tanaman kopi di wilayah ini tumbuh dengan subur, kala itu. Tidak heran jika kopi dari kawasan Bandung ini dikenal sebagai Java coffee dan preanger coffee, dan pernah diekspor ke luar negeri oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dalam sejarahnya, Indonesia bahkan pernah menjadi produsen kopi arabika terbesar di dunia, walaupun tidak lama akibat munculnya serangan hama karat daun. Serangan hama yang disebabkan cendawan hemileia vastatrix tersebut menyerang tanaman kopi di Indonesia sekitar abad ke-19.
Ekspor kopi pertama dilakukan tahun 1711 oleh VOC dan dalam tempo 10 tahun ekspor meningkat sampai 60 ton/tahun. Indonesia adalah tempat perkebunan pertama di luar Arabia dan Ethiopia dan VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun 1725 sampai 1780.
Di tahun 1700-an harga kopi yang dikirim dari Batavia sekitar 3 guilder/kg di Amsterdam dan itu sama dengan beberapa ratus dolar AS/kg dengan kurs saat ini. Harga kopi memang sangat mahal saat itu. Akhir abad ke-18 harga kopi mulai turun menjadi 0,6 guilder/kg sehingga kopi bisa diminum untuk kalangan yang lebih luas lagi.
Budaya ngopi
Budaya ngopi di Bandung sudah hilang sejak 1970-an akibat masuknya minuman botol. Masyarakat menilai, minuman botol ini lebih berkelas dibanding ngopi. Hilangnya budaya ngopi di Kota Bandung berlangsung hampir dua dekade, padahal budaya ngopi di Bandung ini merupakan cikal bakal budaya ngopi di Indonesia, khususnya di Jabar.
"Budaya itu hilang karena pengaruh budaya dari luar. Tetapi kita patut berbangga, karena budaya ngopi mulai muncul di masyarakat Kota Bandung," ungkap penggemar kopi, Hemawan Rianto dan Sonny Sung.
Kini, kopi sudah menjadi minuman umum bagi masyarakat Indonesia walaupun belum menjadi kuliner. Pasalnya, tidak semua rakyat Indonesia mau ngopi, walaupun disajikan dengan aneka rasa dan jenis, seperti cappuccino, latte, espresso, dry cappuccino, frappe, kopi hitam, dan sebagainya. Di Kota Bandung pun, budaya ngopi mulai tumbuh di kalangan masyarakat, walaupun di antara mereka baik penjual maupun penikmat kopi belum tahu cara yang benar menyeduh kopi.
"Rata-rata mereka membuat minuman kopi maupun ngopi hanya untuk dikonsumsi saja," ujar Sony.
Menjamurnya kafe yang menyajikan minuman kopi aneka rasa, ternyata meningkatkan permintaan kopi nasional dan ini berdampak pada produksi kopi lokal. Jika setiap tahun ada sekitar 10% warga Indonesia yang mengonsumsi kopi, maka produksi kopi nasional tidak akan ada yang diekspor, karena habis di pasar lokal.
"Kita berharapnya ke arah sana, bahwa produksi kopi nasinoal harus habis oleh pasar lokal," tandas Yanti Tambunan dari Bandar Kopi.
Kopi sehat
Sony pun memberikan tips bagaimana membuat minuman kopi yang benar, yakni air harus mendidih mencapai 100 derajat, lalu tuangan ke dalam gelas atau cangkir yang sudah diberi kopi. Biarkan sebentar kemudian diaduk. Setelah diaduk baru diberi gula. "Kopi yang sehat adalah, jika dituang air panas akan mengeluarkan busa dan jika diseduh mengeluarkan kremer berwarna cokelat. Selain itu jika diminum kopi ini akan menyegarkan tubuh," ujarnya.
Selama ini, minuman kopi yang dibuat masyarakat Indonesia dicampur terlebih dulu dengan gula sebelum diseduh air panas. Akibatnya aroma kopi tidak bisa lepas secara bebas karena terbungkus gula. Minuman kopi yang seperti ini, menurut Widya, sangat jelek bagi kesehatan karena akan menyebabkan perut kembung dan menghambat peredaran darah.
"Sifat kopi dalam tubuh adalah memperlancar peredaran darah. Makanya, minum minuman kopi yang baik untuk kesehatan adalah adalah kopi hitam tanpa dicampur apa-apa, baik susu, kremer maupun lainnya. Kalau gula merah atau gula pasir bolehlah untuk sedikit penambah rasa," papar Widya.
Masyarakat Indonesia pun masih menganggap minum kopi sebagai penghilang rasa kantuk dan penawar racun nikotin dari rokok. Dikatakan Hermawan, hal itu merupakan mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia sejak dulu.
"Kalau untuk menyegarkan badan bolehlah, tapi sebagai penawar nikotin belum ada penelitian ke arah sana. Minuman kopi akan memberikan dampak kesehatan, apabila proses menyeduhnya benar dan tanpa dicampur apa pun serta kopi yang digunakan pun harus arabika," ujarnya.
Bahkan Widya menyebutkan, minum kopi arabika bisa menyembuhkan penyakit darah tinggi dan diabetes maupun tremor. Asalkan kopi yang dikonsumsi adalah kopi yang tidak lebih dari 72 jam atau 3 hari setelah proses digiling. "Artinya kopi yang dinikmati harus benar-benar biji kopi yang masih segar," tambahnya.
Festival kopi
Baik Hermawan, Sony, Yanto maupun Widya sangat berharap minuman kopi bisa menjadi kuliner di Kota Bandung serta Indonesia. Dengan demikian masyarakat petani kopi Indonesia akan terbantu. Oleh karena itu, bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, mereka akan menggelar pra-even "Indonesia Coffee Festival" di Cihampelas Walk pada 23 Desember mendatang. Sedangkan festival yang sesungguhnya akan digelar di Bali tahun 2012 mendatang.
Pengagas Indonesian Coffee Festival, Yanti Tambunan menjelaskan bahwa kegiatan tersebut juga untuk menyosialisasikan proses pembuatan hingga menyeduh kopi. "Kami ingin menyosialisasikan semua tentang kopi melalui road festival ini," jelasnya kepada wartawan setelah menjelaskan sejarah kopi, Rabu (14/12).
Yanti mengatakan, Coffee Festival akan diselenggarakan di Ciwalk pada tanggal 23 Desember mendatang. Pihaknya akan mengumpulkan masyarakat dari mulai pelaku kopi sampai pencinta kopi untuk saling bertukar pikiran.
"Nantinya kita akan saling bertukar pikiran dalam suatu forum yang membahas tentang kopi. Pembahasan itu bukan hanya bagaimana membuat kopi, tapi juga bagaimana Indonesia dapat memajukan ekonominya lewat kopi," tuturnya. (kiki/adit/"GM")**
Galamedia Kamis, 15 Desember 2011
Kini pamor minum kopi mulai naik kembali, terutama setelah munculnya sejumlah kafe yang menyediakan minuman kopi beraneka rasa dan gaya. Ada ungkapan bahwa minum kopi menunjukkan derajat seseorang. Itu mulai berlaku saat ini. Coba saja tengok, masyarakat yang minum kopi dengan aneka rasa dan gaya di kafe-kafe bisa disebut masyarakat kalangan menengah ke atas.
Ini berbeda dengan masyarakat yang meminum kopi di pinggir jalan maupun warung kopi. Tentunya kopi yang diminum pun rasa dan harganya sangat berbeda.
Zaman dulu pun seperti itu. Orang yang mampu minum kopi, termasuk orang-orang kalangan menak karena kopi merupakan minuman berharga. Apalagi, ketika itu kopi merupakan minuman khas para pembesar kolonial Belanda dan bawahannya, karena mereka yang membawa kopi ke wilayah Indonesia.
Kopi saat itu hanya bisa dibeli oleh kalangan bangsawan. Sementara masyarakat jelata hanya mampu membeli kopi jagung yang dibakar dan ditumbuk dengan kasar. Pendeknya, kopi adalah minuman berkelas yang tidak bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Budaya ngopi bagi masyarakat Indonesia sudah muncul sejak tahun 1700-an. Sedangkan penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 sekitar tahun 1646 yang mendapatkan biji arabica mocca dari Arabia ke Jakarta. Kopi arabika pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di timur Jatinegara, yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi.
Kemudian kopi arabika menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, Bandung, dan Priangan, melalui sistem tanam paksa. Setelah menyebar ke Pulau Jawa, tanaman kopi kemudian menyebar ke daerah lain, seperti Pulau Sumatra, Sulawesi, Bali, dan Timor.
"Bahkan kopi arabika yang semula ditanam di Brasil (negara produsen kopi terbesar di dunia) konon bibitnya berasal dari Pulau Jawa," ungkap Widya Pratama, produsen Kopi Aroma di Kota Bandung.
Menurut Widya, kawasan Bandung yang pernah dijadikan kebun kopi, yakni daerah Cisarua dan Jambudipa di kawasan Lembang. Kontur tanahnya yang berbukit-bukit dan sangat kurang mengandung zat asam membuat tanaman kopi di wilayah ini tumbuh dengan subur, kala itu. Tidak heran jika kopi dari kawasan Bandung ini dikenal sebagai Java coffee dan preanger coffee, dan pernah diekspor ke luar negeri oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dalam sejarahnya, Indonesia bahkan pernah menjadi produsen kopi arabika terbesar di dunia, walaupun tidak lama akibat munculnya serangan hama karat daun. Serangan hama yang disebabkan cendawan hemileia vastatrix tersebut menyerang tanaman kopi di Indonesia sekitar abad ke-19.
Ekspor kopi pertama dilakukan tahun 1711 oleh VOC dan dalam tempo 10 tahun ekspor meningkat sampai 60 ton/tahun. Indonesia adalah tempat perkebunan pertama di luar Arabia dan Ethiopia dan VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun 1725 sampai 1780.
Di tahun 1700-an harga kopi yang dikirim dari Batavia sekitar 3 guilder/kg di Amsterdam dan itu sama dengan beberapa ratus dolar AS/kg dengan kurs saat ini. Harga kopi memang sangat mahal saat itu. Akhir abad ke-18 harga kopi mulai turun menjadi 0,6 guilder/kg sehingga kopi bisa diminum untuk kalangan yang lebih luas lagi.
Budaya ngopi
Budaya ngopi di Bandung sudah hilang sejak 1970-an akibat masuknya minuman botol. Masyarakat menilai, minuman botol ini lebih berkelas dibanding ngopi. Hilangnya budaya ngopi di Kota Bandung berlangsung hampir dua dekade, padahal budaya ngopi di Bandung ini merupakan cikal bakal budaya ngopi di Indonesia, khususnya di Jabar.
"Budaya itu hilang karena pengaruh budaya dari luar. Tetapi kita patut berbangga, karena budaya ngopi mulai muncul di masyarakat Kota Bandung," ungkap penggemar kopi, Hemawan Rianto dan Sonny Sung.
Kini, kopi sudah menjadi minuman umum bagi masyarakat Indonesia walaupun belum menjadi kuliner. Pasalnya, tidak semua rakyat Indonesia mau ngopi, walaupun disajikan dengan aneka rasa dan jenis, seperti cappuccino, latte, espresso, dry cappuccino, frappe, kopi hitam, dan sebagainya. Di Kota Bandung pun, budaya ngopi mulai tumbuh di kalangan masyarakat, walaupun di antara mereka baik penjual maupun penikmat kopi belum tahu cara yang benar menyeduh kopi.
"Rata-rata mereka membuat minuman kopi maupun ngopi hanya untuk dikonsumsi saja," ujar Sony.
Menjamurnya kafe yang menyajikan minuman kopi aneka rasa, ternyata meningkatkan permintaan kopi nasional dan ini berdampak pada produksi kopi lokal. Jika setiap tahun ada sekitar 10% warga Indonesia yang mengonsumsi kopi, maka produksi kopi nasional tidak akan ada yang diekspor, karena habis di pasar lokal.
"Kita berharapnya ke arah sana, bahwa produksi kopi nasinoal harus habis oleh pasar lokal," tandas Yanti Tambunan dari Bandar Kopi.
Kopi sehat
Sony pun memberikan tips bagaimana membuat minuman kopi yang benar, yakni air harus mendidih mencapai 100 derajat, lalu tuangan ke dalam gelas atau cangkir yang sudah diberi kopi. Biarkan sebentar kemudian diaduk. Setelah diaduk baru diberi gula. "Kopi yang sehat adalah, jika dituang air panas akan mengeluarkan busa dan jika diseduh mengeluarkan kremer berwarna cokelat. Selain itu jika diminum kopi ini akan menyegarkan tubuh," ujarnya.
Selama ini, minuman kopi yang dibuat masyarakat Indonesia dicampur terlebih dulu dengan gula sebelum diseduh air panas. Akibatnya aroma kopi tidak bisa lepas secara bebas karena terbungkus gula. Minuman kopi yang seperti ini, menurut Widya, sangat jelek bagi kesehatan karena akan menyebabkan perut kembung dan menghambat peredaran darah.
"Sifat kopi dalam tubuh adalah memperlancar peredaran darah. Makanya, minum minuman kopi yang baik untuk kesehatan adalah adalah kopi hitam tanpa dicampur apa-apa, baik susu, kremer maupun lainnya. Kalau gula merah atau gula pasir bolehlah untuk sedikit penambah rasa," papar Widya.
Masyarakat Indonesia pun masih menganggap minum kopi sebagai penghilang rasa kantuk dan penawar racun nikotin dari rokok. Dikatakan Hermawan, hal itu merupakan mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia sejak dulu.
"Kalau untuk menyegarkan badan bolehlah, tapi sebagai penawar nikotin belum ada penelitian ke arah sana. Minuman kopi akan memberikan dampak kesehatan, apabila proses menyeduhnya benar dan tanpa dicampur apa pun serta kopi yang digunakan pun harus arabika," ujarnya.
Bahkan Widya menyebutkan, minum kopi arabika bisa menyembuhkan penyakit darah tinggi dan diabetes maupun tremor. Asalkan kopi yang dikonsumsi adalah kopi yang tidak lebih dari 72 jam atau 3 hari setelah proses digiling. "Artinya kopi yang dinikmati harus benar-benar biji kopi yang masih segar," tambahnya.
Festival kopi
Baik Hermawan, Sony, Yanto maupun Widya sangat berharap minuman kopi bisa menjadi kuliner di Kota Bandung serta Indonesia. Dengan demikian masyarakat petani kopi Indonesia akan terbantu. Oleh karena itu, bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, mereka akan menggelar pra-even "Indonesia Coffee Festival" di Cihampelas Walk pada 23 Desember mendatang. Sedangkan festival yang sesungguhnya akan digelar di Bali tahun 2012 mendatang.
Pengagas Indonesian Coffee Festival, Yanti Tambunan menjelaskan bahwa kegiatan tersebut juga untuk menyosialisasikan proses pembuatan hingga menyeduh kopi. "Kami ingin menyosialisasikan semua tentang kopi melalui road festival ini," jelasnya kepada wartawan setelah menjelaskan sejarah kopi, Rabu (14/12).
Yanti mengatakan, Coffee Festival akan diselenggarakan di Ciwalk pada tanggal 23 Desember mendatang. Pihaknya akan mengumpulkan masyarakat dari mulai pelaku kopi sampai pencinta kopi untuk saling bertukar pikiran.
"Nantinya kita akan saling bertukar pikiran dalam suatu forum yang membahas tentang kopi. Pembahasan itu bukan hanya bagaimana membuat kopi, tapi juga bagaimana Indonesia dapat memajukan ekonominya lewat kopi," tuturnya. (kiki/adit/"GM")**
Galamedia Kamis, 15 Desember 2011