Oleh: ASEP SALAHUDIN
TENTU tidak sama antara agama dan iman. Yang pertama adalah institusi, yang kedua adalah substansi. Yang pertama wadah, yang kedua isi. Dari keimanan sebenarnya toleransi harus dimunculkan, dialog mesti dipijakkan. Kita sebut saja dialog antar iman. Dialog seperti ini yang akan memunculkan keterbukaan, kejujuran, dan sikap empatik kepada sesama.
Dari sini sebenarnya kita layak menambatkan lahirnya fajar keadaban hidup yang dimulai dengan bangunan solidaritas kemanusiaan tanpa digaduhi oleh afiliasi keyakinan apalagi dikarenakan perbedaan sekadar pilihan politik dan ketidaksamaan budaya dan etnik.
Tentu saja dialog seperti ini bukan untuk saling menukar kepercayaan sehingga terciptakan kondisi iman yang labil tapi justru sebagai ikhtiar memperkaya sudut pandang dan memperluas wilayah pengalaman keberagamaan seseorang.
Semakin iman terbuka, semakin besar peluang hidup yang berkualitas. Sebaliknya kian iman tertutup, yang muncul ke permukaan adalah serangkaian kekerasan dan konflik. Tragisnya lagi kekerasan itu diperagakan banyak yang berjubahkan iman, di samping absennya keadilan dan politik yang tidak kunjung memberikan kesejahteraan kecuali bagi para politisi dan kelompoknya. Di sinilah kita mendapati pemandangan logika terbalik: jika kekerasan semakin diperagakan maka seolah grafik keimanan kian meningkat. Iman itu seakan bakal mengalami defisit apabila tidak pernah dibenturkan dengan iman orang lain yang sejak awal sudah divonisnya sebagai menyimpang.
Sejarah umat manusia acapakali dipenuhi drama peperangan dengan mengatasnamakan iman atau lebih mengatasnamakan agama yang telah ditafsirkan secara harfiah dan dicerabut dari konteks sejarahnya. Karen Amstrong dengan jernih telah menelaah persoalan ini dalam tiga buku pentingnya,"Holy War: The Crussade and Their Impact on Today's World" (1988), "A History of God: The 4000Year Quest of Judaism, Christianity and Islam" (1993), dan "The Battle for God: A History of Fundamentalism" (2000).
Konteks kesundaan
Dalam konteks kesundaan religiositas iman yang terbuka ini sesungguhnya telah ditafsirkan oleh sufi dan filosuf terbesar Sunda, Haji Hasan Mustapa (HHM). Tentu pesan tersembunyi penafsiran yang dikemas dalam bentuk guguritan dan dangding ini dilakukan sebagai satu upaya agar bagaimana religiositas manusia Sunda dapat berdialog dengan "orang lain". Sunda menjadi tenda kultural yang terbuka tanpa harus kehilangan identitas budayanya. Sunda (dan manusianya) menjadi simpul dari kebudayaan yang tidak kurung batokeun. Sunda yang bisa makalangan dalam buana yang luas, ngigelan zaman dan ngigelkeun zaman.
Religiositas Sunda yang terbuka dengan sangat demonstratif dipertontonkan haji Hasan Mustapa tidak hanya dalam sejumlah guguritan-nya namun juga dengan kesediaan dirinya untuk menjadi penghulu di Aceh bahkan melakukan pertemanan tahun 1889 dengan Snouck Hurgronye seperti didokumentasikannya dalam "Aantekeningen over Islam en Volklore in West en Midden Java."
Sisi pemahaman
Iman yang melampaui institusi agama tampak dari paradigma pemikirannya yang tidak berhenti sebatas legal formal yang serba skriptural, tapi menyelami aspek terdalam dari pesan-pesan keagamaan yang diimaninya. Menerima otoritas lembaga kekiyaian bahkan kebenaran yang dianut oleh kebanyakan kaum agamawan disangsikan: Kiaina deui kitu/Tepi ka meletik budi/Hidayat ka pangeranan/ Heran ku basa kiai/Naha bet nyembah nyabeulah/Kumaha jadina hiji/.
Tentu saja jika institusi agama dan kyai disangsikan, maka dengan sadar resikonya dia melakukan ziarah nalar yang total: mencari kebenaran. Puguh mun humarurung//Ngadangding ku humariring//Gugunungan dadaratan//Bumi deui bumi deui//Wawalungan lalautan/ /Cai deui cai deui./
Inilah iman yang murni: Iman yang dimatangkan dengan pencarian atas kebenaran yang tidak mengenal tapal batas (tidak pernah reureuh). Untuk kemudian kebenaran yang dicarinya itu dimatangkan dengan cara didialogkan dengan orang lain dengan sikap terbuka dan rendah hati. Kebenaran tidak dicari melalui metode tapi lewat dialektika.
Religiositas yang melampaui ini menjadi amat menarik dan penting untuk didiskusikan justru ketika religiositas manusia Sunda sekarang menampakan gejala yang aneh: iman yang tertutup. Inilah yang menjadi awal munculnya sikap intoleran terhadap keragaman, antipati terhadap perbedaan penafsiran, dan perbedaan keyakinan.
Seperti hasil penelitian dari Lazuardi Biru (LB) bahwa Jawa Barat menjadi wilayah kedua setelah Daerah Istimewa Aceh (DIA) yang menjadi rawan tindakan radikalisme. Aceh menempati posisi tertinggi 56,8, disusul Jawa Barat dan Banten yang memiliki indeks kerentanan yang sama sebesar 46,6. Sementara secara nasional, indeks kerentanan radikalisme di Indonesia pada 2011 adalah 43,6, jauh di bawah tingkat aman yaitu pada level 33,3. Satu tahun yang lalu Moderate Muslim Society (MMS) juga melansir bahwa Jawa Barat berada di rengking tertinggi dalam urutan wilayah intoleransi di Indonesia. Kekerasan di Bekasi, Bogor, Garut dan Kuningan dijadikan sampel.
Bukti lain bahwa jumlah pelaku bom bunuh diri juga paling banyak dilakukan warga Jawa Barat. Tercatat, Heri kurniawan, Asep Hidayat, M. Salik Firdaus, Dani Dwi Permana, Nana Ikhwan Maulana, dan M. Syarief serta Arnasan berasal dari Banten yang pada waktu kejadian masih merupakan bagian dari Jawa Barat. Sementara yang terakhir adalah Vino Damayanto alias Ahmad Urip alias Ahmad Yosepa Hayat yang merupakan pelaku bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Surakarta, Minggu, 25 September 2011 (Galamedia, 18/10/ 2011).
Kalau ini terus terjadi, sesungguhnya cakrawala keberimanan kita tidak lebih baik dari leluhur kita. Bukankah pada zaman keemasan Sunda masa Prabu Siliwangi rakyat mendapatkan kebebasan penuh memeluk agama yang diyakininya bahkan ketika agama baru datang (Islam) tidak ada larangan dari Prabu Siliwangi bagi rakyatnya untuk memeluk agama baru tersebut. Nyi Subanglarang adalah salah satu istrinya yang memeluk Islam. Agama dalam ijtihad Siliwangi menjadi "modal sosial" untuk silih wangikeun satu dengan yang lainnya. (Penulis, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasik, kandidat doktor Unpad Bandung)**
Galamedia Sabtu, 26 November 2011
TENTU tidak sama antara agama dan iman. Yang pertama adalah institusi, yang kedua adalah substansi. Yang pertama wadah, yang kedua isi. Dari keimanan sebenarnya toleransi harus dimunculkan, dialog mesti dipijakkan. Kita sebut saja dialog antar iman. Dialog seperti ini yang akan memunculkan keterbukaan, kejujuran, dan sikap empatik kepada sesama.
Dari sini sebenarnya kita layak menambatkan lahirnya fajar keadaban hidup yang dimulai dengan bangunan solidaritas kemanusiaan tanpa digaduhi oleh afiliasi keyakinan apalagi dikarenakan perbedaan sekadar pilihan politik dan ketidaksamaan budaya dan etnik.
Tentu saja dialog seperti ini bukan untuk saling menukar kepercayaan sehingga terciptakan kondisi iman yang labil tapi justru sebagai ikhtiar memperkaya sudut pandang dan memperluas wilayah pengalaman keberagamaan seseorang.
Semakin iman terbuka, semakin besar peluang hidup yang berkualitas. Sebaliknya kian iman tertutup, yang muncul ke permukaan adalah serangkaian kekerasan dan konflik. Tragisnya lagi kekerasan itu diperagakan banyak yang berjubahkan iman, di samping absennya keadilan dan politik yang tidak kunjung memberikan kesejahteraan kecuali bagi para politisi dan kelompoknya. Di sinilah kita mendapati pemandangan logika terbalik: jika kekerasan semakin diperagakan maka seolah grafik keimanan kian meningkat. Iman itu seakan bakal mengalami defisit apabila tidak pernah dibenturkan dengan iman orang lain yang sejak awal sudah divonisnya sebagai menyimpang.
Sejarah umat manusia acapakali dipenuhi drama peperangan dengan mengatasnamakan iman atau lebih mengatasnamakan agama yang telah ditafsirkan secara harfiah dan dicerabut dari konteks sejarahnya. Karen Amstrong dengan jernih telah menelaah persoalan ini dalam tiga buku pentingnya,"Holy War: The Crussade and Their Impact on Today's World" (1988), "A History of God: The 4000Year Quest of Judaism, Christianity and Islam" (1993), dan "The Battle for God: A History of Fundamentalism" (2000).
Konteks kesundaan
Dalam konteks kesundaan religiositas iman yang terbuka ini sesungguhnya telah ditafsirkan oleh sufi dan filosuf terbesar Sunda, Haji Hasan Mustapa (HHM). Tentu pesan tersembunyi penafsiran yang dikemas dalam bentuk guguritan dan dangding ini dilakukan sebagai satu upaya agar bagaimana religiositas manusia Sunda dapat berdialog dengan "orang lain". Sunda menjadi tenda kultural yang terbuka tanpa harus kehilangan identitas budayanya. Sunda (dan manusianya) menjadi simpul dari kebudayaan yang tidak kurung batokeun. Sunda yang bisa makalangan dalam buana yang luas, ngigelan zaman dan ngigelkeun zaman.
Religiositas Sunda yang terbuka dengan sangat demonstratif dipertontonkan haji Hasan Mustapa tidak hanya dalam sejumlah guguritan-nya namun juga dengan kesediaan dirinya untuk menjadi penghulu di Aceh bahkan melakukan pertemanan tahun 1889 dengan Snouck Hurgronye seperti didokumentasikannya dalam "Aantekeningen over Islam en Volklore in West en Midden Java."
Sisi pemahaman
Iman yang melampaui institusi agama tampak dari paradigma pemikirannya yang tidak berhenti sebatas legal formal yang serba skriptural, tapi menyelami aspek terdalam dari pesan-pesan keagamaan yang diimaninya. Menerima otoritas lembaga kekiyaian bahkan kebenaran yang dianut oleh kebanyakan kaum agamawan disangsikan: Kiaina deui kitu/Tepi ka meletik budi/Hidayat ka pangeranan/ Heran ku basa kiai/Naha bet nyembah nyabeulah/Kumaha jadina hiji/.
Tentu saja jika institusi agama dan kyai disangsikan, maka dengan sadar resikonya dia melakukan ziarah nalar yang total: mencari kebenaran. Puguh mun humarurung//Ngadangding ku humariring//Gugunungan dadaratan//Bumi deui bumi deui//Wawalungan lalautan/ /Cai deui cai deui./
Inilah iman yang murni: Iman yang dimatangkan dengan pencarian atas kebenaran yang tidak mengenal tapal batas (tidak pernah reureuh). Untuk kemudian kebenaran yang dicarinya itu dimatangkan dengan cara didialogkan dengan orang lain dengan sikap terbuka dan rendah hati. Kebenaran tidak dicari melalui metode tapi lewat dialektika.
Religiositas yang melampaui ini menjadi amat menarik dan penting untuk didiskusikan justru ketika religiositas manusia Sunda sekarang menampakan gejala yang aneh: iman yang tertutup. Inilah yang menjadi awal munculnya sikap intoleran terhadap keragaman, antipati terhadap perbedaan penafsiran, dan perbedaan keyakinan.
Seperti hasil penelitian dari Lazuardi Biru (LB) bahwa Jawa Barat menjadi wilayah kedua setelah Daerah Istimewa Aceh (DIA) yang menjadi rawan tindakan radikalisme. Aceh menempati posisi tertinggi 56,8, disusul Jawa Barat dan Banten yang memiliki indeks kerentanan yang sama sebesar 46,6. Sementara secara nasional, indeks kerentanan radikalisme di Indonesia pada 2011 adalah 43,6, jauh di bawah tingkat aman yaitu pada level 33,3. Satu tahun yang lalu Moderate Muslim Society (MMS) juga melansir bahwa Jawa Barat berada di rengking tertinggi dalam urutan wilayah intoleransi di Indonesia. Kekerasan di Bekasi, Bogor, Garut dan Kuningan dijadikan sampel.
Bukti lain bahwa jumlah pelaku bom bunuh diri juga paling banyak dilakukan warga Jawa Barat. Tercatat, Heri kurniawan, Asep Hidayat, M. Salik Firdaus, Dani Dwi Permana, Nana Ikhwan Maulana, dan M. Syarief serta Arnasan berasal dari Banten yang pada waktu kejadian masih merupakan bagian dari Jawa Barat. Sementara yang terakhir adalah Vino Damayanto alias Ahmad Urip alias Ahmad Yosepa Hayat yang merupakan pelaku bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Surakarta, Minggu, 25 September 2011 (Galamedia, 18/10/ 2011).
Kalau ini terus terjadi, sesungguhnya cakrawala keberimanan kita tidak lebih baik dari leluhur kita. Bukankah pada zaman keemasan Sunda masa Prabu Siliwangi rakyat mendapatkan kebebasan penuh memeluk agama yang diyakininya bahkan ketika agama baru datang (Islam) tidak ada larangan dari Prabu Siliwangi bagi rakyatnya untuk memeluk agama baru tersebut. Nyi Subanglarang adalah salah satu istrinya yang memeluk Islam. Agama dalam ijtihad Siliwangi menjadi "modal sosial" untuk silih wangikeun satu dengan yang lainnya. (Penulis, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasik, kandidat doktor Unpad Bandung)**
Galamedia Sabtu, 26 November 2011