REPUBLIKA,BRUSSEL - Kaum Muslim di Eropa perlu meng-Eropa-kan diri. Hal ini agar Islam tidak dipandang sebagai ancaman. Stereotip negatif tentan Islam dan ketegangan seputar Islam di Barat membawa dampak global.
Namun demikian, Indonesia dapat menjadi model pluralitas bagi Eropa. Demikian misi delegasi Interfaith Indonesia yang pekan lalu bertemu dengan Parlemen Eropa, kalangan Gereja, Universitas Katolik di Leuven, dan Interfaith di Luxemburg.
Apa yang disebut 'Eropanisasi Islam' ini dikemukakan Profesor Azyumardi Azra dengan menyarankan agar Eropa lebih akomodatif terhadap umat Islam. Migran Muslim Eropa sebaliknya lebih sensitif terhadap lingkungan sosialnya.
Meskipun di Indonesia masih ramai soal Ahmadiyah, kontroversi tempat ibadah, isu NII (Negara Islam Indonesia) dan soal teror, namun delegasi Interfaith Indonesia yang melawat ke Belgia itu menawarkan Indonesia menjadi model pluralitas bagi Eropa.
''Misi ini bertolak dari anggapan bahwa Eropa itu monokultur. Sedangkan, Indonesia sudah berabad-abad berpengalaman multikultur,'' ujar Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat yang bersama Pendeta Toradja Lydia Tandirerung memimpin delegasi Interfaith Indonesia. ''Kita juga ingin share bagaimana kebijakan pemerintah yang selama ini dijalankan di Indonesia. Kekuatan-kekuatan civil society apa yang mendukung terbentuknya harmonisasi di Indonesia.''
Pendeta Toradja Lydia Tandirerung mengungkap bahwa pihak-pihak di Belgia sebenarnya juga mempertanyakan hubungan antar agama di Indonesia. Namun, menurutnya, Eropa dapat belajar dari indigenousization, yaitu membumikan agama yang datang dari luar ke dalam kontek kearifan lokal seperti di Indonesia. Untuk Eropa, pendeta Lydia merujuk gagasan Azyumardi Azra yaitu Eropanisasi Islam.
sumber : www.republika.co.id