REPUBLIKA,WASHINGTON--Islam tengah berkembang pesat di AS. Walau demikian, komunitas Muslim AS mengalami persoalan serupa yang umumnya terjadi di negara Muslim yakni menyangkut suara Muslimah. Asma T Uddin, pendiri situs Altmuslimah.com mengatakan, meski AS terbilang negara yang memberikan hak perempuan untuk bersuara, dalam praktiknya ada semacam pengecualian untuk masalah ini, utamanya yang menyangkut perempuan Muslim. Menurut dia, suara Muslimah selalu diabaikan dan kurang dihargai.
Berangkat dari itu, Asma mendirikan Altmuslimah.com. Laman ini dikhususkan untuk menampung aspirasi dari para Muslimah dalam membahas berbagai hal seperti persoalan gender, lingkungan dan hal lainnya. "Saya mengharapkan adanya lingkungan kondusif untuk eksplorasi isu-isu nyata dan menekan dalam umat Islam melalui kombinasi narasi, perdebatan dan analisis," kata dia seperi dilansir The Daily Egypt News, Jumat (17/6).
Namun, Asma harus menghadapi kenyataan pahit bahwa yang diusahakannya itu belumlah cukup. Karena itu, dia bersama koleganya Muslimah AS coba untuk memperluas khazanah dialog melalui penulisan buku yang merujuk pada pengalaman pribadi dirinya dan muslimah lainnya. Dialog pengalaman itu dituangkan dalam sebuah kumpulan esai 4 Muslim AS di bawah usia 40 tahun. Kumpulan esai itu diberi tajuk "Aku Bicara Untuk Diriku Sendiri,".
"Aku Bicara untuk diriku sendiri" menawarkan tampilan yang langka dan jujur tentang kehidupan nyata perempuan Muslim Amerika, dari beberapa aspek," kata dia.
Dijelaskan lebih lanjut, kumpulan esai ini ingin memberitahu adanya pertentangan yang terjadi dalam dunia Muslim dan identitas keislaman. "Pengacara, seniman, guru, insinyur, mahasiswa - para wanita yang ditampilkan dalam buku ini membahas realitas menjadi wanita Muslim di Amerika," kata dia.
Rashida Tlaib, kata Asma, menulis tentang bagaimana ia menyadari bahwa sebagai anggota legislatif untuk perwakilan negara bagian Michigan, dia bisa memberi sumbangsih bagi komunitasnya. Dia menghabiskan tiga bulan untuk melakukan kampanye dari pintu ke pintu dan akhirnya memenangkan kompetisi ketat.
Meskipun ia berlatarbelakang imigran Arab dan Muslim, ia memenangkan satu kursi di sebuah distrik yang sangat beragam. Rashida menang mutlak dengan 44 persen suara. Dia pun ditahbiskan sebagai wanita Muslim pertama di lembaga legislatif negara Michigan.
Dalam cerita lain, Maryam Habib Khan, seorang insinyur Muslim AS untuk US Army Corps of Engineers, menulis tentang pengalamannya waktu mengikuti iringan pasukan AS ke Afghanistan pada tahun 2004 dan 2006. Dia bekerja pada proyek-proyek kemanusiaan, seperti renovasi rumah sakit khusus perempuan di Kabul.
Maryam pulang dengan rasa bangga karena dia tidak mengorbankan harga dirinya sebagai seorang perempuan Muslim maupun sebagai seorang Amerika di Afghanistan, melainkan menjadi teladan untuk menyatukan dan memanfaatkan elemen berbeda dari jati dirinya sebagai seorang wanita, insinyur, Muslim, dan Amerika untuk membantu dan mendidik saudara-saudara jauhnya agar memperoleh kehidupan yang lebih baik. "Kisah saya sendiri berpusat pada spiritual vis-à-vis evolusi intra-komunitas politik," papar Asma.
Dalam bab berjudul "Kerudung Penakluk: Gender dan Islam,", ungkap Asma, dia berbicara tentang pertemuannya dengan literatur misoginis. "Dalam bab itu, saya pernah bicara keras tentang kemunafikan komunitas saya tentang masalah jilbab, simbolisme agama, dan menilai moralitas orang lain atas dasar simbol buatan," ungkapnya.
Pada akhirnya, kata Asma, dia kembali menemukan jalan keluar dari penderitaan rohani yang ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman tersebut dan akhirnya menemukan diri dalam hubungan yang lebih dekat dengan Allah. "Hubungan saya dengan Allah saat ini lebih otentik daripada yang saya pernah alami sebelumnya," ungkap dia.
sumber : www.republika.co.id