Oleh: IWAN ARDHIE PRIYANA
KOTA Bandung telah lama dikenal sebagai kota tujuan wisata yang menawarkan pemandangan alam priangan yang eksotis, bahkan belakangan sudah sangat popular dengan wisata kuliner. Pada bulan September ini kota Bandung berusia lebih dari dua abad. Alih-alih menjadi kota wisata yang nyari, faktanya kota Bandung menjadi kota yang "ngeri". Kenapa? Karena sebagai kota yang tumbuh menjadi kota besar, Bandung punya seabrek masalah yang sampai saat ini belum berhasil diatasi oleh Pemkot Bandung. Beberapa masalah besar yang sampai saat ini menjadi perhatian banyak pihak adalah kemacetan, sampah, dan kehadiran pedagang kaki lima (PKL).
Untuk masalah yang terakhir ini, Pemkot Bandung benar-benar dibuat tak berdaya. Di samping jumlahnya yang terus bertambah, kehadiran PKL pun mengandung dilema. Jika ditertibkan dengan pendekatan represif, maka bisa menimbulkan masalah tersendiri. Sementara itu, jika dengan pendekatan persuasif, terbukti tidak terlalu efektif. Pendeknya, penyelesaian masalah PKL ini mirip judul salah satu film warkop "Maju Kena Mundur Kena".
Padahal, kalau kita menengok ke belakang, saat aparat penertiban itu masih bernama tibum (ketertiban umum) dikenal tegas dan tanpa kompromi menggaruk PKL. Tidak hanya PKL, tibum pun terbilang sukses menggaruk WTS dan waria. Saking tegasnya, tibum ini sudah dianggap public enemy setidaknya oleh para waria, PSK dan PKL. Di tengah keramaian kota, jika seseorang berteriak "tibuuum!", maka nyali pedagang ciut. Tak ada yang berani menghadang, apalagi kucing-kucingan. Mereka lari belingsatan.
Sudahlah, tulisan ini tidak bermaksud bernostalgia dengan tibum. Tulisan ini sekadar mengingatkan, jika pemerintah bisa sedikit tegas, maka akan menegakkan wibawa Pemkot Bandung. Bukankah selama ini sudah ada payung hukum yang menjadi landasan Pemkot Bandung untuk menegakkan ketertiban, khususnya PKL yakni Perda K 3? Memang, harus diakui penertiban PKL memerlukan langkah yang ekstra hati-hati, seperti kata pepatah Caina herang laukna beunang (Maksud tercapai tanpa ada kerusuhan). Para PKL adalah orang-orang kecil yang sedang cari makan dan penghidupan. Menjadi PKL bukan pilihan yang menyenangkan, di tengah sulitnya menembus dunia kerja, PKL adalah pilihan yang paling mudah. Menurut seorang pengamat, PKL adalah "katup pengaman" ketika kondisi perekonomian kita dalam keadaan tidak mengutungkan, ketika sektor formal tidak banyak memberi peluang.
Namun tidak berarti argumen kehadiran PKL dengan mengetengahkan sisi kemanusian, menyebabkan ada toleransi untuk tetap mebiarkannya. Tetap usaha harus dilakukan. Pemerintah Kota Bandung pun sudah berupaya, misalnya dengan memberikan uang dengan jumlah tertentu bagi para PKL di sekitar Alun-alun agar mereka mau pindah ke kampung halamannya. Sayang, cara ini pun bukan solusi. Sebab, PKL di Alun-alun dan di kawasan tujuh titik semakin "menggila", mereka memang sudah menjadi pemilik trotoar sehingga tidak memberi ruang bagi pejalan kaki.
Saat Pemkot Bandung berkonsentrasi menertibkan kawasan tujuh titik, di sisi lain, muncul pula titik yang lain. Misalnya di seputar Jalan Soekarno Hatta, dekat kantor kantor Samsat, meski itu hanya seminggu sekali. Ada juga PKL mingguan di sekitar Metro, dan kawasan PKL terbesar di Asia Tenggara yakni Gasibu. Jika ada yang menyebut Bandung sebagai lautan PKL, maka tidaklah terlalu berlebihan.
Sebelum PKL di berbagai tempat itu menjamur seperti saat ini, sebenarnya kehadiran mereka itu bertahap, mula-mula hanya ada satu dua pedagang, mula-mula satu lapak satu lapak, lalu bertambah, dan kalau ternyata banyak menyedot pengunjung jumlah mereka semakin banyak. Dengan kata, lain selapak demi selapak lama-lama sepanjang jalan. Padahal jika aparat terkait secara preventif berupaya agar kehadirannya tidak semakin bertambah, baik dengan mengawasi kawasan maupun dengan pendekatan secara persuasif kepada mereka saat jumlahnya hanya beberapa gelintir, hal ini tentu akan lebih tepat dan relatif mudah.
Oleh karena itu, di samping tetap fokus pada PKL di titik tertentu, hendaknya Pemkot Bandung juga mengawasi kahadiran PKL di tempat yang lain, meski untuk hal ini, pemkot sering berdalih kekurangan tenaga. Tentu saja hal itu tidak menjadi alasan untuk melakukan pembiaran. Di samping itu, sikap aparat Satpol PP pun tampaknya harus pengkuh pada tugasnya, sehingga tidak dimanfaatkan oleh pihak lain. Sebab sering beredar rumor, adanya oknum aparat yang menerima uang damai dari PKL agar mereka tidak diganggu atau setidaknya mereka aman.
Dalam hal penertiban PKL, sebenarnya ada beberapa kota yang sukses menata PKL. Misalnya kota Solo. Wali kota Solo, Jokowi, berhasil merelokasi lebih dari 1.000 pedagang kaki lima tanpa ada unjuk rasa, melalui pendekatan dialog, pemberian kios gratis, serta pemberian SIUP dan TDP cuma-cuma sehingga status PKL menjadi formal dan bisa mendapatkan kredit bank.
Sebagai hasilnya, pedagang tradisional ini tak lagi menjadi beban. Malah, selama empat tahun terakhir, retribusi dari pasar tradisional dan pedagang kaki lima (PKL) di Kota Surakarta tercatat sebagai penyumbang bagi pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi dibandingkan sejumlah obyek retribusi lainnya. Sumbangan mereka lebih besar dibandingkan pendapatan dari perhotelan, reklame, parkir, dan restoran.
Jadi, tak ada salahnya Pemkot Bandung belajar ke Kota Solo untuk menata PKL. Wilujeng tepung taun Bandung! Apanjang apunjung. (Penulis pemerhati dan pencinta Bandung)**
KOTA Bandung telah lama dikenal sebagai kota tujuan wisata yang menawarkan pemandangan alam priangan yang eksotis, bahkan belakangan sudah sangat popular dengan wisata kuliner. Pada bulan September ini kota Bandung berusia lebih dari dua abad. Alih-alih menjadi kota wisata yang nyari, faktanya kota Bandung menjadi kota yang "ngeri". Kenapa? Karena sebagai kota yang tumbuh menjadi kota besar, Bandung punya seabrek masalah yang sampai saat ini belum berhasil diatasi oleh Pemkot Bandung. Beberapa masalah besar yang sampai saat ini menjadi perhatian banyak pihak adalah kemacetan, sampah, dan kehadiran pedagang kaki lima (PKL).
Untuk masalah yang terakhir ini, Pemkot Bandung benar-benar dibuat tak berdaya. Di samping jumlahnya yang terus bertambah, kehadiran PKL pun mengandung dilema. Jika ditertibkan dengan pendekatan represif, maka bisa menimbulkan masalah tersendiri. Sementara itu, jika dengan pendekatan persuasif, terbukti tidak terlalu efektif. Pendeknya, penyelesaian masalah PKL ini mirip judul salah satu film warkop "Maju Kena Mundur Kena".
Padahal, kalau kita menengok ke belakang, saat aparat penertiban itu masih bernama tibum (ketertiban umum) dikenal tegas dan tanpa kompromi menggaruk PKL. Tidak hanya PKL, tibum pun terbilang sukses menggaruk WTS dan waria. Saking tegasnya, tibum ini sudah dianggap public enemy setidaknya oleh para waria, PSK dan PKL. Di tengah keramaian kota, jika seseorang berteriak "tibuuum!", maka nyali pedagang ciut. Tak ada yang berani menghadang, apalagi kucing-kucingan. Mereka lari belingsatan.
Sudahlah, tulisan ini tidak bermaksud bernostalgia dengan tibum. Tulisan ini sekadar mengingatkan, jika pemerintah bisa sedikit tegas, maka akan menegakkan wibawa Pemkot Bandung. Bukankah selama ini sudah ada payung hukum yang menjadi landasan Pemkot Bandung untuk menegakkan ketertiban, khususnya PKL yakni Perda K 3? Memang, harus diakui penertiban PKL memerlukan langkah yang ekstra hati-hati, seperti kata pepatah Caina herang laukna beunang (Maksud tercapai tanpa ada kerusuhan). Para PKL adalah orang-orang kecil yang sedang cari makan dan penghidupan. Menjadi PKL bukan pilihan yang menyenangkan, di tengah sulitnya menembus dunia kerja, PKL adalah pilihan yang paling mudah. Menurut seorang pengamat, PKL adalah "katup pengaman" ketika kondisi perekonomian kita dalam keadaan tidak mengutungkan, ketika sektor formal tidak banyak memberi peluang.
Namun tidak berarti argumen kehadiran PKL dengan mengetengahkan sisi kemanusian, menyebabkan ada toleransi untuk tetap mebiarkannya. Tetap usaha harus dilakukan. Pemerintah Kota Bandung pun sudah berupaya, misalnya dengan memberikan uang dengan jumlah tertentu bagi para PKL di sekitar Alun-alun agar mereka mau pindah ke kampung halamannya. Sayang, cara ini pun bukan solusi. Sebab, PKL di Alun-alun dan di kawasan tujuh titik semakin "menggila", mereka memang sudah menjadi pemilik trotoar sehingga tidak memberi ruang bagi pejalan kaki.
Saat Pemkot Bandung berkonsentrasi menertibkan kawasan tujuh titik, di sisi lain, muncul pula titik yang lain. Misalnya di seputar Jalan Soekarno Hatta, dekat kantor kantor Samsat, meski itu hanya seminggu sekali. Ada juga PKL mingguan di sekitar Metro, dan kawasan PKL terbesar di Asia Tenggara yakni Gasibu. Jika ada yang menyebut Bandung sebagai lautan PKL, maka tidaklah terlalu berlebihan.
Sebelum PKL di berbagai tempat itu menjamur seperti saat ini, sebenarnya kehadiran mereka itu bertahap, mula-mula hanya ada satu dua pedagang, mula-mula satu lapak satu lapak, lalu bertambah, dan kalau ternyata banyak menyedot pengunjung jumlah mereka semakin banyak. Dengan kata, lain selapak demi selapak lama-lama sepanjang jalan. Padahal jika aparat terkait secara preventif berupaya agar kehadirannya tidak semakin bertambah, baik dengan mengawasi kawasan maupun dengan pendekatan secara persuasif kepada mereka saat jumlahnya hanya beberapa gelintir, hal ini tentu akan lebih tepat dan relatif mudah.
Oleh karena itu, di samping tetap fokus pada PKL di titik tertentu, hendaknya Pemkot Bandung juga mengawasi kahadiran PKL di tempat yang lain, meski untuk hal ini, pemkot sering berdalih kekurangan tenaga. Tentu saja hal itu tidak menjadi alasan untuk melakukan pembiaran. Di samping itu, sikap aparat Satpol PP pun tampaknya harus pengkuh pada tugasnya, sehingga tidak dimanfaatkan oleh pihak lain. Sebab sering beredar rumor, adanya oknum aparat yang menerima uang damai dari PKL agar mereka tidak diganggu atau setidaknya mereka aman.
Dalam hal penertiban PKL, sebenarnya ada beberapa kota yang sukses menata PKL. Misalnya kota Solo. Wali kota Solo, Jokowi, berhasil merelokasi lebih dari 1.000 pedagang kaki lima tanpa ada unjuk rasa, melalui pendekatan dialog, pemberian kios gratis, serta pemberian SIUP dan TDP cuma-cuma sehingga status PKL menjadi formal dan bisa mendapatkan kredit bank.
Sebagai hasilnya, pedagang tradisional ini tak lagi menjadi beban. Malah, selama empat tahun terakhir, retribusi dari pasar tradisional dan pedagang kaki lima (PKL) di Kota Surakarta tercatat sebagai penyumbang bagi pendapatan asli daerah (PAD) tertinggi dibandingkan sejumlah obyek retribusi lainnya. Sumbangan mereka lebih besar dibandingkan pendapatan dari perhotelan, reklame, parkir, dan restoran.
Jadi, tak ada salahnya Pemkot Bandung belajar ke Kota Solo untuk menata PKL. Wilujeng tepung taun Bandung! Apanjang apunjung. (Penulis pemerhati dan pencinta Bandung)**