BANDUNG, KOMPAS - Rohimah (45), tanpa khawatir menggosok giginya dari air yang mengalir melalui tong sebagai wadah penampungan. Seusai membilas mulutnya, Rohimah langsung mencuci tumpukan piring dan gelas yang bertumpuk di sebelahnya. Sementara, di dalam bilik semeter persegi di samping tempat Rohimah mencuci, seorang kakek mandi dengan air yang ditampung di bak kecil. Sumber air di tong maupun bak mandi itu sama, yakni sumur yang berada di tengah antara tong dan bak. Sumur itu dialiri air yang melewati sambungan pipa-pipa. Ujung pipa itu berasal dari Sungai Ciwalengke, salah satu anak sungai Citarum yang tercemar berbagai limbah.Rohimah dan keluarganya tak sendirian memanfaatkan aliran Sungai Citarum. Setidaknya 20 keluarga lain di RW 10 di Desa Sukamaju, Majalaya yang tinggal di sekitar sumur itu terpaksa berhadapan langsung dengan air yang telah tercemar sejak belasan tahun lalu.Tak ada sistem penyaring air yang mampu menjernihkan atau membunuh kuman. Hanya tumpukan ijuk sebelum masuk ke sumur ditambah kaus kaki bekas yang dipasang di ujung keran untuk menyaring air.Warga tahu betul air yang mereka gunakan tak baik untuk kesehatan. Kemiskinan yang membuat mereka tak mampu membeli air bersih. "Kita terpaksa, mau gimana lagi. Air bersih harganya Rp 3.000 per jeriken. Kita cuma mampu beli buat air minum aja," kata Jajang (40), warga RT 02 ketika ditemui Kompas.com beberapa waktu lalu.Jajang mengatakan, hampir semua warga mengalami gatal-gatal. Kondisi memprihatinkan dialami anak-anak. Di beberapa bagian tubuh mereka bentol-bentol dan meninggalkan bercak hitam. "Pakaian cepet kucel warnanya. Cuci piring, piringnya jadi kuning," kata Ali (30), warga lain. "Itu kalau kaus kaki dibuka, isinya numpuk kotoran semua," timpal Jajang sambil menunjuk arah keran.Warga yang memiliki sumur bor bernasib lebih baik lantaran bisa menikmati air Citarum yang layak. Seperti Agus Kusnadi (40), membuat kolam penampungan di halaman rumahnya. Kolam berukuran 1x3 meter itu dialiri air Sungai Ciwalengke melalui pipa. Air dalam kolam secara perlahan meresap ke dalam tanah. Kolam itu juga dijadikan tempat untuk ternak ikan lele. "Air itu nanti meresap ke bawah. Sampai di bawah sudah bersih, ngga bau. Air sungai bau sekali kalau lagi kemarau," kata pria yang telah 16 tahun memanfaatkan kolam penampungan itu. Limbah dibuang Pantauan Kompas.com, Sungai Citarum telah tercemar sejak di hulu. 700 meter dari sumber mata air di Situ Cisanti di Kecamatan Kertasari, Bandung Selatan, air langsung dicemari kotoran sapi perah. Kotoran dari 5.000-an sapi langsung dibuang peternak ke selokan yang mengalir ke sungai. Untuk diketahui, rata-rata setiap ekor mengeluarkan kotoran antara 10 kilogram sampai 20 kilogram.Belum lagi limbah rumah tangga mulai dari hulu. Pencemaran yang jauh lebih berbahaya yakni limbah industri tekstil di sekitar Majalaya. Pabrik terang-terangan membuang sisa celupan tekstil berbagai warna ke anak-anak Sungai Citarum. Aliran air tampak berwarna merah, kuning, hijau, cokelat, hingga hitam pekat.Fahtoni, aktivis LSM Elemen Lingkungan (Elingan), mengatakan, tak hanya limbah tekstil yang dibuang pabrik di Majalaya, limbah sisa bahan bakar batu bara ikut dibuang ke sungai. "Dulu pabrik masih pakai pewarna alami. Tapi sekarang sudah pake pewarna buatan. Akibatnya yah ke warga," kata dia.