KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Riki Waskito BANDUNG, KOMPAS — Riki Waskito (34) menyadari bahwa sekadar mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk menanggulangi banjir tahunan di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, adalah mimpi di tengah hari. Setiap kali banjir, warga selalu telat memperoleh informasi dan peringatan, sehingga rumah telanjur diterjang air bah berikut perabotnya. Setelah beberapa waktu banjir merendam, tim evakuasi pun baru datang.Kondisi itu membuat pemuda di Majalaya memutar otak. Beberapa elemen pemuda di sana sepakat untuk membuat operasi banjir menyelamatkan warga dan harta bendanya dari terjangan bah. Jika sebelumnya setiap pemuda sibuk sendiri menyelamatkan keluarga masing-masing, kini terpikirkan untuk membuat sebuah gerakan yang lebih massal dalam mitigasi dan evakuasi saat bencana.“Kami yang berlatar belakang pencinta lingkungan dan gemar naik gunung lalu sepakat bertemu. Saat itu kami masih tergabung dalam Sasak Kondang, kelompok pemuda di Kampung Kondang, Majalaya, yang menyukai kegiatan luar ruangan (outdoor),” katanya.Diberi nama Sasak (Sunda) yang artinya jembatan, karena puluhan pemuda itu tinggal di kampung yang berdekatan dengan Jembatan Majalaya. Jembatan itu melintas di atas Sungai Citarum. Kelompok yang didirikan tahun 2002 itu menjadi cikal bakal berdirinya Garda Caah. Caah (sunda) yang berarti banjir, sehingga Garda Caah artinya garda banjir.Pada 2007, pertemuan antarkelompok pemuda semakin intensif. Pemuda Majalaya Sasak Kondang lalu bergabung dengan Forum Komunikasi Pencinta Alam Kabupaten Bandung. “Saat itu semangat kami berapi-api setelah terinspirasi dari pelatihan Gladian Panji Geografi yang diadakan oleh Wanadri,” kata Riki yang merupakan salah satu pelopor berdirinya Garda Caah.Satu demi satu, kelompok lain di Majalaya dan Kabupaten Bandung ikut bergabung, seperti Komunitas Peduli Lingkungan, Generasi Muda Majalaya, dan Pencinta Alam Leuwidulang-Majalaya. Pada 1 November 2008, lahirlah operasi Garda Caah.Upaya SederhanaJalannya operasi itu sebenarnya relatif sederhana, yakni dengan basis perkuatan informasi. Jumlah relawan yang ketika itu mencapai 60 orang semua bersiap di rumah dan wilayah masing-masing. Jalur informasi yang dibangun ialah antara relawan yang berada di bagian hulu dan hilir Citarum. Yang termasuk kawasan hulu yakni Pacet dan Cibeureum, sedangkan di kawasan hilir ada Majalaya dan Ciparay.“Jika hujan deras di bagian hulu lebih dari dua jam, relawan yang di hulu segera menginformasikan hal itu kepada relawan di hilir. Artinya, banjir akan datang dan warga hilir diminta kesiapannya untuk mengungsi serta tidak lengah,” kata Riki.Informasi itu disampaikan melalui pesan singkat telepon selular. Penerima pesan di hilir segera menyebarkan kabar itu dan menetapkan status keamanan. “Jika di hulu waspada, kami di hilir menetapkan siaga. Status di hilir selalu dibuat lebih tinggi agar ada persiapan ekstra menghadapi kemungkinan terburuk dari banjir yang datang,” ujar Riki.Informasi akan datangnya banjir dari kawasan hulu kemungkinan kecil keliru, sebab relawan di sana juga berkoordinasi dengan petugas lapangan dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Kabupaten Bandung yang ditugaskan memantau ketinggian air Citarum di Majalaya. Adang Suhendar, nama petugas itu, selalu mengabari Garda Caah setiap kali permukaan air Sungai Citarum meninggi. Saat mengudara, Adang dikenal sebagai "Abah Uyut" dan berpasangan dengan istrinya, Ayuningsih, yang akrab dikenal sebagai "Mak Uyut".Dalam operasinya, para pemuda ini menggandeng Radio Antarpenduduk Indonesia Lokal IV Wilayah Majalaya. Sejumlah tokoh dan pengusaha lokal pun membantu dengan menyumbang 11 handy-talkie. Alat itu dibagikan kepada pemuda yang menempati empat desa yang rawan di Majalaya, yakni Majalaya, Majakerta, Majasetra, dan Sukamaju. Informasi soal banjir Majalaya bahkan terdengar sampai Karawang.Setelah relawan mengetahui kondisi lapangan, mereka menyebarkannya kepada tokoh kampung, RT dan RW. Semua warga diimbau bersiaga mengungsikan harta bendanya, atau memasang tanggul pasir di depan rumah. Warga yang sedang lelap di malam hari pun dibangunkan agar bersiap menghadapi banjir. Sering kali banjir datang tak terduga di malam hari.Pada beberapa kejadian, warga lanjut usia sering terlupakan saat mereka lelap tidur. Akibatnya, ada yang terjebak atau luka-luka saat berusaha keluar dari rumahnya yang terkepung air dan lumpur.“Tujuan awalnya memang pemberian informasi, sehingga ada kesiapan warga dan memperkecil jatuhnya korban,” ungkap Riki mengemukakan tujuan dasar garda banjir itu.Namun, pada praktiknya, relawan Garda Caah juga pontang-panting di lapangan. Seperti pekerja serabutan, mereka mengerjakan apapun yang bisa dilakukan saat bencana tiba. Mereka turut mengangkati bantuan, membersihkan rumah yang terendam lumpur, membersihkan selokan dari lumpur, membersihkan jalan, sampai membawakan barang-barang berharga milik warga. Peralatan yang digunakan pun seadanya, seperti sekop, cangkul, tambang dan pelampung pinjaman.Upaya Riki dan kawan-kawannya tak sia-sia. Pada banjir besar 12 November 2008, misalnya, tak ada korban jiwa dan warga yang terluka minim. Warga sudah banyak sedia karung pasir ataupun sudah keluar dari rumah saat banjir tiba. Hasilnya, 4.231 warga kecamatan itu selamat, sekalipun tinggi lumpur sampai satu meter di beberapa titik. Banjir lumpur itu merupakan yang terbesar di Majalaya setelah banjir tahun 1986.Giat SosialisasiMengetahui peran krusial generasi muda dalam mengantisipasi banjir, Riki dan kawan-kawannya di Garda Caah memasuki ranah pendidikan. Riki ikut menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian Citarum kepada anak-anak sekolah. Dalam setiap sosialisasi, ia membuat brosur atau pamflet yang berisi informasi singkat soal Citarum dan hal-hal sederhana yang bisa dilakukan oleh warga.“Kebiasaan membuang sampah, misalnya, masih banyak orang yang tidak disiplin dengan membuang sampah sembarangan ke dalam sungai. Tetangga saya sendiri pernah saya tegur, tetapi karena yang bersangkutan tidak terima lalu sampai mau memukul saya,” ujarnya mengenang.Untuk keperluan operasional dan sosialisasi kepada warga, Riki dan kawan-kawannya menggalang dana dari kantong pribadi. Latar belakang pekerjaan anggota Garda Caah beragam, ada yang menjadi pekerja pabrik, wiraswasta, pegawai negeri, atau pekerja swasta seperti Riki yang bekerja di sebuah tempat percetakan di Buah Batu, Kota Bandung. “Dengan keterbatasan dana dan waktu yang ada, operasi Garda Caah harus terus berjalan. Pembagian tugas di antara anggota menjadi kuncinya,” ungkap bapak satu anak tersebut.Saat tidak ada banjir, Garda Caah mendata penduduk sekali dalam setahun. Pendataan itu dilakukan secara detil, seperti berapa banyak warga yang sedang mengandung, memiliki anak kecil, merawat orang lanjut usia dan warga dengan keterbatasan fisik. Rumah masing-masing warga pun ditandai, seperti berapa banyak belokan menuju ke sana, belokasi pada ketinggian berapa meter, sampai jarak lokasinya dengan sungai. Data-data itu diperlukan untuk evakuasi warga. “Ada juga warga yang mengira pendataan itu untuk keperluan penyaluran bantuan, padahal tidak,” ungkapnya.Di sela-sela kesibukannya, Riki mesti bergulat dengan penyakit yang dideritanya. Sedari kecil, lelaki sederhana tamatan SMA ini menderita rasa panas di kedua kakinya. Dokter yang memeriksanya tidak bisa memberikan diagnosa yang pasti atas kasus Riki. Rasa panas yang dideritanya itu sampai membuat kedua kakinya merah dari bawah lutut sampai telapak kaki. Sejak di sekolah, ia pun tak bisa mengenakan celana panjang. Pada titik ekstrem, ia sampai tak bisa berjalan karena panas di kakinya. “Kemungkinan ada masalah dengan syaraf saya,” tuturnya.Namun, dengan segala keterbatasan fisik yang dialaminya, Riki tak kecil hati. Hingga kini, ia masih teguh memegang baiat sebagai “pengawal” banjir Majalaya...***Riki WaskitoTempat dan Tanggal Lahir: Majalaya, 15 Mei 1977Istri: Septi Susanti (25)Anak: Jati Guna (8 bulan)Pengalaman pelatihan: - Gladian Panji Geografi Wanadri (2007)- Pelatihan evakuasi bencana oleh Kopassus (2008)
Apa itu Progressive Web Apps?
8 years ago