KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN Ratusan nelayan tangkap di perairan Waduk Ir H Djuanda atau Waduk Jatiluhur di Kecamatan Tegalwaru, Maniis, dan Sukasari, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, beralih profesi menjadi petani, dua bulan terakhir. PURWAKARTA, KOMPAS - Ratusan nelayan tangkap di perairan Waduk Ir H Djuanda atau Waduk Jatiluhur di Kecamatan Tegalwaru, Maniis, dan Sukasari, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, beralih profesi menjadi petani, dua bulan terakhir. Surutnya air waduk menyulitkan akses nelayan ke lokasi penangkapan serta menurunkan hasil tangkapan.Jarak dari pemukiman ke perairan bertambah dari hanya beberapa meter tahun lalu menjadi lebih dari satu kilometer saat ini karena muka air waduk turun. "Sulit mencari tempat menambatkan perahu karena bekas area genangan berlumpur. Jika diinjak kaki bisa terperosok hingga 0,5 meter," kata Acon Wiguna, Ketua Himpunan Nelayan Jatiluhur (Hinpujat), di Desa Galumpit, Kecamatan Tegalwaru, Jumat (29/4/2011).Hinpujat beranggotakan sekitar 400 nelayan dari sejumlah desa di tiga kecamatan, yakni Tegalwaru, Maniis, dan Sukasari. Tiga kecamatan itu berada di bagian selatan atau hulu Waduk Jatiluhur yang luasnya menc apai 8.300 hektar dan meliputi enam kecamatan di Kabupaten Purwakarta. Saat muka air waduk surut, area genangan di beberapa desa di tiga kecamatan itu yang pertama kali kering.Menurut Acon, sebagian besar nelayan beralih profesi menjadi petani padi, jagung, cabai, atau kacang panjang saat air surut. Mereka menanami sekitar 60 he ktar daerah genangan waduk saat surut seperti sekarang. Jika beruntung, mereka bisa panen dan meraup untung hingga jutaan rupiah. Tetapi, tak jarang tanaman tergenang sebelum panen tiba karena muka air waduk naik lagi.Jeje, salah satu nelayan di daerah itu, kini menggarap sekitar 400 meter persegi di tepian waduk Kampung Galumpit. Bersama Ara, istrinya, Jeje menanam padi yang kini usianya telah satu bulan. "Mudah-mudahan 2-3 bulan ke depan tanaman selamat (tak tergenang) dan bisa dipanen," ujarnya.Saat sebagian besar nelayan beraktivitas, anggota Hinpujat bisa menghasilkan tangkapan hingga ratusan kilogram ikan per hari. Ikan yang tertangkap jaring sebagian besar adalah nila, mas, dan patin yang banyak dibudidayakan pembudidaya keramba jaring apung. Tetapi, beberapa jenis ik an asli seperti gabus, hampal, kebogerang, dan beunteur. Oleh pengepul, ikan-ikan tangkapan nelayan itu dipasarkan ke pasar-pasar di Purwakarta, Bandung, dan Jakarta.Rendahnya curah dan intensitas hujan di daerah alira n sungai Citarum sejak awal tahun ini membuat tinggi muka air Waduk Saguling, Cirata, dan Ir H Djuanda terus turun mendekati titik kritis.Tinggi muka air ( TMA) Waduk Saguling, pada Rabu (9/3/2011 ), misalnya, berdasarkan catatan Perum Jasa Tirta (PJT) II, tercatat 630,23 meter atau 5,23 meter di atas titik terendah operasional waduk 625 meter. Sementara TMA Waduk Cirata 208,34 meter atau 2,34 meter di atas titik terendah yakni 206 meter.Volume air efektif ketiga waduk juga lebih rendah dari rencana operasi. Volume air Saguling tercatat 92,51 juta meter kubik atau hanya 28,09 persen dari rencana, sementara Cirata 99,94 juta meter kubik (24,13 persen), dan Ir H Djuanda 1.123,32 juta meter kubik (80,62 persen).Secara umum, rata-rata debit aliran Citarum selama Januari 140,44 meter kubik per detik atau 92,76 persen dari rencana dan Februari 131,15 meter kubik per detik (72,86 persen rencana).